Minggu, 10 Mei 2015

PENERAPAN INTEGRATED MULTI-TROPHIC AQUACULTURE (IMTA) PADA PEMBESARAN IKAN LELE (Clarias sp.) DI KOLAM TERPAL



LAPORAN PRAKTIKUM
REKAYASA DAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PERAIRAN
 










Oleh :
Widi Indra Kesuma
1114111058

 



JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014
 

 

RINGKASAN
Ketersediaan lahan dan air untuk proses akuakultur semakin terbatas dengan pertambahan penduduk dan pembangunan. Budidaya ikan juga tidak terlepas dari limbah yang dihasilkan,  yaitu sisa pakan, feses, dan hasil aktivitas metabolisme ikan. Inovasi teknologi diperlukan untuk mengantisipasi penurunan produksi akuakultur akibat penyusutan lahan budidaya dan penurunan kualitas perairan. Inovasi teknologi yang diterapkan yaitu budidaya ikan terintegrasi dengan tanaman melalui sistem FIMTA. FIMTA memanfaatkan organism trofik tingkat rendah seperti kerang dan tanaman untuk mereduksi limbah dari hewan trofik tingkat tinggi seperti ikan. Sistem ini digunakan organisme filter dan pemanfaat limbah hasil buangan yaitu kijing dan tanamannya yaitu kangkung, sedangkan untuk komoditas utamanya yaitu ikan lele.

Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 22 September 2013- 13 Januari 2014 bertempat di belakang Gedung K Budidaya Perairan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Hasilnya yaitu pertumbuhan rata-rata tiap Kelompok hampir merata, tingkat kelangsungan hidup ikan tertinggi yaitu pada Kelompok 1 sebesar 83%, sedangkan untuk kerang yang paling tinggi yaitu pada kelompok 5 sebesar 80%. Pada bobot mutlak terbesar yaitu pada Kelompok 2 sebesar 23 sedangkan yang terendah yaitu pada Kelompok 4. FCR tertinggi ada pada Kelompok 1 sebesar 2 sedangkan yang terendah yaitu pada Kelompok 3. Dan pada produksi ikan terbesar yaitu Kelompok 2 dan tanaman terbesar yaitu pada Kelompok 6.

Dengan hal tersebut terbukti bahwa teknologi budidaya terintegrasi seluruh buangan bahan organik dapat dikurangi bahkan dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas lahan perairan marjinal dan menjaga stabilitas lingkungan perairan habitatnya. Sehingga selain mendapatkan hasil budidaya yang meningkat juga memperoleh keuntungan dari kangkung dan kerang dari hasil budidaya.

PENDAHULUAN
Ketersediaan lahan dan air untuk proses akuakultur semakin terbatas seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan pembangunan. Pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meningkatnya kegiatan industri, pertanian, dan pemukiman telah menggusur lahan budidaya, sehingga dari tahun ke tahun luasnya semakin berkurang (Boyd & Linchtkoppler, 1982).
Aktivitas budidaya ikan tidak terlepas dari limbah yang dihasilkan, terutama dari sisa pakan, feses, dan hasil aktivitas metabolisme ikan. Pada sistem budidaya tanpa pergantian air (zero water exchange) seperti pada kolam air tenang, konsentrasi limbah budidaya seperti amonia (NH3), nitrit (NO2), dan CO2 akan meningkat sangat cepat dan bersifat toksik bagi organisme budidaya (Surawidjaja, 2006).
Limbah budidaya ikan yang merupakan hasil aktivitas metabolisme banyak mengandung amonia (Effendi, 2003). Ikan mengeluarkan 80- 90% amonia (N-anorganik) melalui proses osmoregulasi, sedangkan dari feses dan urine sekitar 10-20% dari total nitrogen (Rakocy et al., 1992 dalam Sumoharjo, 2010). Akumulasi amonia pada media budidaya merupakan salah satu penyebab penurunan kualitas perairan yang dapat berakibat pada kegagalan produksi budidaya ikan.
Inovasi teknologi diperlukan untuk mengantisipasi penurunan produksi akuakultur akibat penyusutan lahan budidaya dan penurunan kualitas perairan. Inovasi teknologi tersebut diharapkan mampu mengurangi limbah dan meningkatkan produktifitas persatuan luas lahan budidaya. Salah satu inovasi teknologi yang dapat diterapkan yaitu budidaya ikan yang terintegrasi dengan tanaman melalui sistem FIMTA.
IMTA adalah salah satu bentuk dari budidaya Laut dengan memanfaatkan penyediaan pelayanan ekosistem oleh organisme trofik rendah (seperti kerang dan rumput laut) yang disesuaikan sebagai mitigasi terhadap limbah dari organisme tingkat trofik tinggi (seperti ikan) (White, 2007 dalam Jianguang et al, 2009).
IMTA dapat digunakan hamper seluruh wadah budidaya baik laut maupun darat karena konsep keseimbangan ekosistem yang diterapkan. IMTA pertama kali diterapkan di Norwegia dengan memanfaatkan salmon, kelp dan kerang (Coppin. 2006 dalam Jinguang et al, 2009). IMTA telah ditetapkan diberbagai Negara salah satunya di Kanada. IMTA di Kanada memanfaatkan remis, salmon dan rumput laut ( Jinguang et al. 2009).
Pemilihan komoditas memegang peranan penting dalam merencanakan dan mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang diinginkan. Ikan lele merupakan komoditas perikanan darat yang memiliki nilai jual baik serta pertumbuhan cepat (Sasongko, 2012). Sedangkan untuk tanaman yang bisa dimanfaatkan sebaiknya mempunyai nilai ekonomis, misalnya bayam hijau, bayam merah, kangkung, dan selada. Tanaman yang umumnya digunakan yaitu kangkung, karena harga jual dan permintaan yang cukup tinggi. Kangkung merupakan tanaman dengan akar yang tidak terlalu kuat dan dalam pemeliharaanya memerlukan air secara terus menerus (Nugroho dan Sutrisno, 2008). Selain itu, kangkung juga mudah dibudidayakan dengan waktu panen yang cukup singkat. Sedangkan untuk limbah dalam bentuk suspense atau small POM dimanfaatkan oleh hewan biofilter seperti kerang-kerangan dalam hal ini menggunakan kijing ( Jinguang et al. 2009).
Oleh karena itu, untuk mengetahui secara pasti keefektifan system FIMTA pada produksi budidaya perairan maka dilakukanlah praktikum ini.
MATERI DAN METODE
Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 22 September 2013- 13 Januari 2014 bertempat di belakang Gedung K Budidaya Perairan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Adapun alat dan bahan yang digunakan  yaitu: cangkul, cutter, 30 buah karung bekas, terpal 4 x 6m, streofom 4x1,5 m, gelas air mineral, keranjang buah, timbangan digital, penggaris, ember, perokan ikan, bibit ikan lele 600 ekor, 300 ekor kijing air tawar, 20 ikat kangkung, pakan ikan PF-1000 (7 kg) dan H-1 (5kg), pupuk kotoran hewan. Dalam praktikum ini kolam dibuat dengan luas 2x3m diberi perlakuan dengan menebarkan bibit ikan lele sebanyak 600 ekor serta diletakkan 300 ekor kijing air tawar didalam keranjang buah dan permukaan kolam ditutupi oleh 20 ikat kangkung yang diletakkan pada streofom.
Tahapan proses pada praktikum ini yaitu yang pertama membuat desain kolam. Kolam didesain dengan ukuran 3x2x1m, kolam dibuat dengan kolam tanah yang dilapisi dengan terpal, pada permukaan diletakkan tanaman dengan menutupi 40% luas permukaan kolam, selanjutnya pada bagian dasar kolam diletakkan keranjang berisi kijing 300 ekor. Setelah pembutan desain maka dilakukan pembuatan kolam dengan terlebih dahulu melakukan penggalian tanah, lalu kolam tanah dilapisi dengan terpal. Kemudian kolam diisi dengan air hingga ¾ volume kolam. Selanjutnya dilakukan pemupukan selama satu minggu. Baru setelah itu benih lele dimasukkan, setelah satu minggu kemudian kijing dan tanaman air ditempatkan dalam kolam. . Lalu beri pakan pelet pada pagi dan sore hari serta amati pertumbuhan ikan (berat dan panjang) setiap 3hari sekali.
Pada praktikum ini dilakukan pengamatan parameter biologi ikan yang meliputi kelangsungan hidup (SR), laju pertumbuhan spesifik (SGR), rasio konversi pakan (FCR), pertumbuhan bobot mutlak dan hasil produksi dihitung dari jumlah pakan dan bobot selama pemeliharaan, serta biomasa tanaman.
Pengukuran biologi ikan dilakukan setiap 10 hari sekali dengan jumlah sampel 25 ekor dari setiap kolam, terdiri dari kelangsungan hidup (SR), laju pertumbuhan spesifik (SGR), konversi pakan (FCR) dan pertumbuhan bobot mutlak sedangkan parameter hasil produksi dilakukan pada akhir penelitian.
Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup ikan yang dibudidayakan  (survivalrate/SR) digunakan Persamaan (Effendi, 2004):
Keterangan: SR                    : Kelangsungan hidup/Survival Rate (%) Nt     : Jumlah benih ikan akhir/panen (ekor)
No                    : Jumlah benih ikan awal/penebaran (ekor).
Pertumbuhan  bobot mutlak adalah selisih bobot total tubuh ikan pada akhir pemeliharaan dan awal pemeliharaan, dirumuskan sebagai berikut (Effendi, 2004):
Keterangan:
Wm
:Bobot mutlak ikan(g)

Wt
W0
:Bobot rata-rata ikan pada saat akhir (g)
:Bobot rata-rata ikan pada saat awal (g)
Menurut Effendy (2004), Feed Convertion Ratio adalah suatu ukuran yang menyatakan ratio jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg ikan kultur, dirumuskan sebagai berikut:
FCR : Food Convertion Ratio.
Bo   : Biomassa ikan pada saat awal (g)
Bt    :Biomassa ikan pada saat akhir (g)
Bd   :Biomassa ikan mati (g)
F      :Jumlah pakan yang dikonsumsi
Untuk  mengetahui laju   pertumbuhan spesifik digunakan persamaan (Huisman, 1979):
Keterangan:
SGR                            : Laju pertumbuhan spesifik (Spesific Growth Rate) (%/hari) Wt          : Bobot rata-rata ikan pada saat akhir (g)
W0                                         : Bobot rata-rata ikan pada saat awal (g)
t                                   : Masa pemeliharaan (hari)
Hasil produksi biomass ikan  dan kerang yang dipanen dihitung dengan menggunakan rumus Effendi (2004) :
Keterangan:  P        : Produksi
W        :Bobot rata-rata
N         :Jumlah populasi
                Sedangkan produksi biomasa tanaman dihitung dengan persamaan:
Keterangan:  P  : Produksi Tanaman
Wp         :Berat Biomasa Tanaman setiap panen
N            :JumlahPemanenan selama pemeliharaan
Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian ditabulasi dan dianalisis menggunakan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2007.

HASIL DAN PEMBAHASAN
            Telah dilakukan  praktikum rekayasa dan teknologi budidaya perairan. Adapun praktikum ini yaitu menerapkan system budidaya perairan yang terintegrasi antara ikan, kerang, dan tanaman dalam satu wadah budidaya. Komoditas yang digunakan dalam praktikum ini yaitu ikan lele (Clarias sp), kijing, dan kangkung. Hasil yang diperoleh yaitu sebagai berikut:
Grafik 1. Pertumbuhan rata-rata ikan.
Dari grafik diketahui bahwa pertumbuhan rata-rata tiap Kelompok hamper merata. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peretumbuhan ikan setiap Kelompok tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Pada pertumbuhan, banyak factor yang mempengaruhinya, Ariandhana (2010) menekankan salah satu faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan adalah cahaya yang meliputi spektrum warna, intensitas dan fotoperiode. Al Jerian dan Younis (1998) mengemukakan bahwa fotoperiode  bertindak sebagai rangsangan endogen  nafsu makan dan pertumbuhan. Ikan nokturnal seperti lele  dumbo  (Khairuman, 2010) akan bergerak cenderung menjauhi sumber cahaya dan aktif bergerak mencari makan pada saat kondisi lingkungan gelap (Sudirman dan Malawa, 2004) sehingga tingkat keaktifan ikan dalam  mencari makan menjadi lebih tinggi,  dan asupan pakan meningkat.  Meningkatnya asupan pakan memicu peningkatan pertumbuhan berat, semakin banyak pakan yang dikonsumsi maka pertumbuhan semakin tinggi (Meshella, 2013).
Gravik 2. Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan dan Kerang
Dari grafik tersebut diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan lebih tinggi dibandingkan dengan kerang. Tingkat kelangsungan hidup ikan tertinggi yaitu pada Kelompok 1 sebesar 83%, sedangkan untuk kerang yang paling tinggi yaitu pada Kelompok 5 sebesar 80%. Effendie (1997) menyatakan bahwa survival rate dipengaruhi oleh faktor biotik yaitu persaingan, parasit, umur, predator, kepadatan dan penanganan manusia, sedangkan faktor abiotik adalah sifat fisika dan kimia dalam perairan yang meliputi kealitas air (Medinawati, dkk. 2011). Sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan kijing adalah suhu, pH,10 oksigen, endapan lumpur, dan fluktuasi permukaan air (Prihartini 1999).
Grafik 3. Bobot mutlak Ikan.
Bobot mutlak ikan setiap Kelompok berbeda, dari grafik diketahui bahwa bobot mutlak terbesar yaitu pada Kelompok 2 sebesar 22 sedangkan yang terendah yaitu pada Kelompok 4. Menurut Effendie (1979), pengukuran pertumbuhan bobot mutlak dilakukan secara periodik dari awal hingga akhir penelitian dengan menimbang bobot biomassa ikan.
Grafik 4. Feed Convertion Ratio
FCR merupakan rasio ikan dalam mengkonsumsi pakan. Dari grafik diketahui FCR tertinggi ada pada Kelompok 1 sebesar 3.4 sedangkan yang terendah yaitu pada Kelompok 3 sebesar 1.1. Keadaan lingkungan, kualitas dan kuantitas pakan serta kondisi ikan itu sendiri mempengaruhi pertumbuhan ikan, dan memiliki kaitan dengan tinggi rendahnya konversi pakan yang dihasilkan (Niagara, 1994). Semakin rendah nilai konversi pakan, semakin sedikit yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg daging ikan. Artinya, semakin efisien pakan tersebut diubah menjadi daging, (Effendie, 1979).
Grafik 5. Spesific Growth Rate
Laju Pertumbuhan Spesifik menunjukkan tingkat pertumbuhan ikan dalam kolam selama budidaya. SGR tertinggi yaitu pada Kelompok 5 sebesar 109%, sedangkan yang terendah yaitu pada Kelompok 4 sebesar 99%.

Grafik 6. Produksi Biomassa Ikan dan tanaman
Produksi biomassa ikan lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman. Produksi ikan tertinggi ada pada Kelompok 2 yaitu sebesar 2300 dan untuk tanaman yaitu pada Kelompok 6 sebesar 6000. Banyak factor yang mempengaruhi produksi, sedangkan dalam system ini antar komoditas memiliki kaitan yang penting yang mempengaruhi produksi komoditas lainnya. Salah satu kendala penyebab kegagalan budidaya ikan lele adalah penyakit akibat pathogen. Salah satu penyebab utama peningkatan populasi patogen adalah adanya pencemaran air oleh penumpukan sisa pakan dan kotoran yang membusuk pada dasar kolam (Sasongko, 2012). Ikan mengeluarkan 80- 90% amonia (N-anorganik) melalui proses osmoregulasi, sedangkan dari feses dan urine sekitar 10-20% dari total nitrogen (Rakocy et al., 1992 dalam Sumoharjo, 2010).
Menurut Pillay (1992) Produksi ammonia pada ikan terutama tergantung pada protein yang masuk dan efisiensi metabolisme dari ikan, dan dipengaruhi oleh tingkat kelarutan ammonia dalam air. Namun dalam system ini digunakan tanaman air yang menurut Dwiyanti (2008) dan Reed (2005) bahwa tanaman air mempunyai kemampuan untuk menyerap bahan organic yaitu terjadi proses penyaringan dan penyerapan oleh akar dan batang tanaman air, pertukaran dan penyerapan ion, menstabilkan pengaruh iklim, angin, cahaya matahari dan suhu (Stowel, 2000). Kangkung akan menyerap zat-zat beracun yang terdapat di lingkungan sekitarnya (Nazaruddin, 1999) sehingga mampu mereduksi limbah nitrogen budidaya ikan hingga 58% (Setijaningsih, 2009). Selain itu juga digunakan kerang kijing, Kijing bersifat filter feeder yaitu Volume air yang dapat disaring oleh kerang adalah 1,44 liter/individu dewasa/jam.
SIMPULAN
Adapun kesimpulan dari praktikum ini yaitu dalam teknologi budidaya terintegrasi seluruh buangan bahan organik dapat dikurangi bahkan dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas lahan perairan marjinal dan menjaga stabilitas lingkungan perairan habitatnya. Hal ini sudah terbukti pada kolam dimana spesimen yang dipeliharan secara terintegrasi telah memanfaatkan buangan limbah organik dalam perairan dimana bahan organik sisa pakan dan kotoran dari ikan dapat larutan inorganiknya dimanfaatkan untuk pertumbuahan kangkung sebagai pupuk dan limbah organiknya dimanfaatkan kerang (kijing). Keberadaan kangkung juga telah menambah kadar oksigen di siang hari. Demikian halnya dengan limbah organik yang dimanfaatkan kerang selain menjadikan kolam lebih jernih juga produktivitas kolam dapat meningkat dengan adanya tambahan pendapatan dari kerang.

PUSTAKA
Boyd & Linchtkoppler. 1982. Water Quality Development Series no 22. International Center for Aquaculture. Aquaculture Experiment Station, Auburn. Alabama.
Dewi, Putri aurena. 2008. Jurnal: Peran metabolism pada ikan terhadap kadar ammonia pada perairan. Universitas Brawijaya. Malang.
Diver S. 2006. Aquaponic-integration hydroponic with aquaculture. National Centre of Appropriate Technology. Department of Agriculture’s Rural Bussiness Cooperative Service. P. 28.
Dwiyanti, devi. 2008. Jurnal:Efektifitas Biofilter dengan Tanaman Air dalam Sister Resirkulasi Tertutup. Widya Graha LIPI. Jakarta.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Jogjakarta.
_______ . 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Bogor.
Effendie, ,M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Guntur, Yusuf. 2008. Jurnal:Bioremidasi Limbah Dengan Tanaman Air. Universotas Islam Makasar. Makasar.
Jinguang,. et al. 2009. Development IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) in Sungo Bay, China. Yellow Sea Fisheries Research Institute, Qingdao. China.
Khairuman., Amri, K.. dan Sihombing,T. 2008. Budidaya Lele Dumbo di Kolam Terpal. Agromedia Pustaka. Jakarta
Lingga, Ruri. 2009. Jurnal. Pengaruh perbedaan spesies ikan terhadap kelarutan ammonia pada satu perairan. Media Litbang. Suawesi Tengah.
Maeshella, Belly. 2013. e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan : Pengaruh Photoperiod terhadap Pertumbuhan Lele (Clarias gariepinus). Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Medinawati, dkk. 2011. Jurnal: Pengaruh Pemberian Pakan Berbeda terhadap Pertumbuhan Lele Dumbo(Clarias gariepinus). Media Litbang. Sulawesi Tengah.
Nazaruddin. 1999. Budi Daya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah. Jakarta. Penebar Swadaya.
Nugroho E. & Sutrisno. 2008. Budidaya Ikan dan Sayuran dengan Sistem Akuaponik. Jakarta. Penebar swadaya.
Pillay, T.V.R. 1992. Aquaculture and The Environment. Fishing News Book. England. 189p.
Rakocy J.E., Masser M.P., & Losordo T.M. 2006. Recirculating aquaculture tank production systems: aquaponics—integrating fish and plant culture. Southern Regional Aquaculture Center, United States Department of Agriculture, Cooperative State Research, Education, and Extension Service.
Ratananada, Ruly. 2011. Jurnal: Penentuan Waktu Resistensi Akuaponik Pada Budiday ikan Nila (Oreochromis sp).IPB. Bogor.
Reed, S.C., E.J. Midlebrooks and R.W Crites. 2005. Natural System of Waste Management and Treatment McGraw Hill Book Company. New York
Sasongko, Bayu. 2012. Jurnal: Pengaruh pemberian karagenan melalui pakan terhadap imunitas ikan lele. IPB. Bogor
Schwartz, M.F. and Boyd, C.E. 1994. Effluent Quality During harvest of Channel Catfish from Watershed Ponds. Prog. Fish-Cult. 56: 25-32.
Setijaningsih L. 2009. Peningkatan produktivitas kolam melalui perbedaan jarak tanam tanaman akuaponik pada pemeliharaan ikan mas (cyprinus carpio). Laporan Hasil Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor Tahun 2009.
Sugiharto. 2003. Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah. Universitas Indonesia. Jakarta
Suhendar, Soechomor. 2010. Jurnal: Pengembangan Prototipe Teknologi Budidaya Ikan Nila Unggul Terintegrasi "Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA)" Hemat Air di Lahan Tambak. Pusat Teknologi Produksi Pertanian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jakarta. Jakarta
Sulastri. 2011. Jurnal: Pengaruh Kijing terhadap biofilter perairan pada budidaya ikan darat. IPB. Bogor.
Surawidjaja E.H. 2006. Akuakultur berbasis ―trophic level‖: revitalisasi untuk ketahanan pangan, daya saing ekspor, dan kelestarian lingkungan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Akuakultur.
Triana, Dewi. 2012. Jurnal: Penngaruh budidaya terpadu antar kerang air tawar dengan ikan nila terhadap kualitas air. IPB. Bogor.
Tyson R.V. 2007. Reconciling pH for ammonia biofiltration in a cucumber/tilapia aquaponics system using a perlite medium. [Disertasi]. University of Florida.
Untung, O. 2003. Hidroponik Sayuran Sistem NFT (Nutrtient Film Technique). Penebar Swadaya. Jakarta.
Wibowo, Tri. 2009. Jurnal: pengaruh jenis pakan terhadap jumlah protein pada ammonia ikan. IPB. Bogor.

Tidak ada komentar: