MANAJEMEN
KESEHATAN UDANG
(Laporan
Praktikum Manajemen Budidaya Laut dan Payau)
Oleh :
WIDI
INDRA KESUMA
1114111058
JURUSAN
BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
2014
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan laporan
praktikum ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga laporan
praktikum ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca dalam mengetahui manajemen kesehatan udang.
Harapan
saya semoga laporan praktikum ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi laporan
praktikum ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Laporan
praktikum ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan laporan
praktikum ini.
Bandar
Lampung,18 Juni 2014
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR
ISI........................................................................................................ ii
I.
PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2
Tujuan.................................................................................................... 2
II.
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 3
III.
METODELOGI............................................................................................ 8
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 12
3.1
Hasil....................................................................................................... 12
3.2
Pembahasan........................................................................................... 13
V.
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 18
4.1 Kesimpulan............................................................................................. 18
4.2 Saran....................................................................................................... 18
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perairan payau
merupakan salah satu tempat yang sangat bagus untuk membudidayakan organisme
perairan. Tempat ini sangat strategis, berada di antara dua perairan yang lain,
yaitu perairan darat dan peraiaran laut. Organisme yang hidup di tempat ini
juga beragam dan rata-rata memiliki sifat khusus, yaitu bersifat eurihalin.
Salah satu dari
organisme yang hidup di tempat ini adalah udang vaname. Menurut Kordi (2008),
udang ini memiliki kemampuan hidup di salinitas dan temperatur yang sangat
beragam, baik salinitas maupaun temperatur, udang ini dapat tumbuh pada
salinitas 0.1-60 ppt (tumbuh dengan baik pada pada salinitas 10-30 ppt dan
tumbuh ideal pada salinitas 15-25 ppt) dan pada suhu 12-370 C (tumbuh dengan
baik pada suhu 24-340 C dan tumbuh ideal pada suhu 28-310 C). Udang ini sudah
banyak dibudidayakan di beberapa negara maju, seperti Amerika Selatan, Amerika
Tengah, dan China. Udang vaname juga dipelihara di lingkungan air tawar dan
menunjukan perbedaan produktivitas yang tidak signifikan dengan yang dipelihara
di habitatnya.
Udang Vannamei (Litopaneus
vannamei) merupakan udang asli perairan amerika latin, sejak 4 dekade
terakhir budidaya udang ini mulai merebak dengan cepat kekawasan asia seperti
Taiwan, cina, dan malaysia,
bahkan kini di Indonesia (Hilman 2006). Udang vannamei masuk
keindonesia pada tahun 2001. Pada Mei
2002 pemerintah memberi izin kepada dua perusahaan swasta salah satunya PT. Central Pertiwi Bahari (CPB) desa Suak
Kec. Sidomulyo Kalianda Lampung Selatan Indonesia untuk
mengimpor induk udang vannamei sebanyak 2000 ekor,
selain itu juga mengimpor benur sebanyak lima juta ekor dari Hawaii serta
300.000 ekor dari Amerika
latin. Induk dan benur tersebut kemudian dikembangkan oleh hatchery pemula,
sekarang usaha tersebut telah dikomersialkan dan berkembang pesat karena
peminat udang vannamei semakin meningkat (Hilman 2006).
Sampai saat ini, benur yang diproduksi hatchery belum
dapat memenuhi kebutuhan yang ada. Kendalanya adalah kurang stok induk udang,
makanan yang kurang cocok, serta teknik pemeliharaan larva dan pengelolaan yang
belum memadai, hal ini menyebabkan produksi rendah.
Masalah besar yang dihadapi dalam melakukan usaha
pemeliharaan larva udang vannameii adalah keterbatasan pengalaman dan teknologi
yang dapat menjamin benih yang dihasilkan akan berkualitas baik. Salah satu
upaya guna mendapatkan benur berkualitas baik yaitu selalu mengupayakan
agar media pemeliharaan selalu optimal untuk pemeliharaan larva, misalnya
dengan melakukan pengelolaan air media larva, pengelolaan pakan dan pengendalian
penyakit sebaik mungkin.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari
praktikum ini yaitu sebagai berikut:
a.
Untuk mengetahui ciri-ciri benur udang
vaname yang sehat
b.
Agar mahasiswa mampu dan terampil
membedakan cirri benur udang vaname yang baik dan tidak
c.
Mampu membedakan benur udang vaname yang
sehat atau tidak pada satu tambak dan tambak yang lain.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Deskripsi udang vannamei (Litopenaeus
vannamei)
Udang Vannamei (Litopenaeus
vannamei) merupakan salah satu jenis udang yang memiliki pertumbuhan cepat
dan nafsu makan tinggi, namun ukuran yang dicapai pada saat dewasa lebih kecil
dibandingkan udang windu (Paneus monodon), habitat aslinya adalah di
perairan Amerika, tetapi spesies ini hidup dan tumbuh dengan baik di Indonesia.
Di pilihnya udang Vannamei ini di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu
(1) sangat diminati dipasar Amerika, (2) lebih tahan terhadap penyakit
dibanding udang putih lainnya, (3) pertumbuhan lebih cepat dalam budidaya, (4)
mempunyai toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan (Ditjenkan, 2006).
Udang Vannamei termasuk genus
paneus, namun yang membedakan dengan genus paneus lain adalah mempunyai sub
genus litopenaeus yang dicirikan oleh bentuk thelicum terbuka tetapi
tidak ada tempat untuk penyimpanan sperma (Ditjenkan, 2006). Ada dua spesies
yang termasuk sub genus Litopenaeus yakni Litopenaeus vannamei dan Litopenaeus
stylirostris (wiban dan sweeney, 1991).
2.2.
Taksonomi dan anatomi udang vannamei
Menurut Wiban dan Sweeney (1991),
taksonomi udang Vannamei sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Crutacea
Sub class : Malacostraca
Series :
Eumalacostraca
Super ordo : Eucarida
Ordo :
Decapoda
Sub ordo : Dendrobrachiata
Infra ordo : Penaeidea
Super famili : Penaeioidea
Famili : Pemaeidae
Genus : Peneaeus
Sub genus : Litopenaeus
Species : Litopenaeus Vannamei
Udang Vannamei termasuk crustacea, ordo decapoda seperti halnya
udang lainnya, lobster dan kepiting. Dengan kata lain decapoda dicirikan
mempunyai 10 kaki, carapace berkembang baik menutup seluruh kepala.
Udang paneid berbeda dengan decapoda lainnya. Dimana perkembangan larva dimulai
dari stadia nauplis dan betina menyimpan telur didalan tubuhnya (Ditjenkan,
2006).
Udang vaname termasuk genus penaeus dicirikan oleh adanya gigi pada rostrum
bagian atas dan bawah, mempunyai dua gigi dibagian ventral dari rostrum
dan gigi 8-9 di bagian dorsal serta mempunyai antena panjang (Elovaara, 2001).
2.3.
Morfologi udang vannamei
Udang putih vaname sama halnya
seperti udang penaid lainnya, binatang air yang ruas-ruas dimana pada tiap
ruasnya terdapat sepasang anggota badan. Anggota ini pada umumnya bercabang dua
atau biramus. Tubuh udang secara morfologis dapat dibedakan menjadi dua
bagian yaitu cepalothorax atau bagian kepala dan dada serta bagian abdomen
atau perut. Bagian cephalothorax terlindungi oleh kulit chitin
yang tebal yang disebut carapace. Secara anatomi cephalotorax dan
abdomen, terdiri dari segmen-segmen atau ruas-ruas. Masing-masing segmen
memiliki anggota badan yang mempunyai fungsi sendiri-sendiri (Elovaara, 2001).
Kulit chitin pada udang
penaidae akan mengelupas (ganti kulit) setiap kali tubuhnya akan membesar,
setelah itu kulitnya mengeras kembali (Martosudarmo dan Ranumiharjo, 1980;
Tricahyo, 1995; Suyanto dan Mujiman,1990). Menurut Martosudarmo et al.,
(1983), tubuh udang penaeid terdiri dari tiga bagian yaitu:
a. Kepala
b. Dada
c. Perut
2.4.
Habitat dan daur hidup udang vannamei
Habitat udang
berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari
tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Pada umumnya udang bersifat bentis
dan hidup pada permukaan dasar laut. Adapun habitat yang disukai oleh udang
adalah dasar laut yang lumer (soft) yang biasanya campuran lumpur dan
pasir. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa induk udang putih ditemukan diperairan
lepas pantai dengan kedalaman berkisar antara 70-72 meter (235 kaki). Menyukai
daerah yang dasar perairannya berlumpur. Sifat hidup dari udang putih adalah catadromous
atau dua lingkungan, dimana udang dewasa akan memijah di laut terbuka. Setelah
menetas, larva dan yuwana udang putih akan bermigrasi kedaerah pesisir pantai
atau mangrove yang biasa disebut daerah estuarine tempat nurseri groundnya,
dan setelah dewasa akan bermigrasi kembali ke laut untuk melakukan kegiatan
pemijahan seperti pematangan gonad (maturasi) dan perkawinan (Wyban dan
Sweeney, 1991). Hal ini sama seperti pola hidup udang penaeid lainnya, dimana
mangrove merupakan tempat berlindung dan mencari makanan setelah dewasa akan
kembali ke laut (Elovaara, 2001).
Pada udang
putih, ciri-ciri telur yang telah matang adalah dimana telur akan terlihat
berwarna coklat keemasan (Wyban dan Sweeney,1991). Udang putih mempunyai carapace
yang transparan, sehingga warna dari perkembangan ovarinya jelas terlihat. Pada
udang betina, gonad pada awal perkembangannya berwarna keputih-putihan, berubah
menjadi coklat keemasan atau hijau kecoklatan pada saat hari pemijahan
(Lightner et al., 1996).
Telur jenis
udang ini tergantung dari ukuran individu, untuk udang dengan berat 30 gram
sampai dengan 45 gram telur yang di hasilkan 100.000 sampai 250.000 butir
telur. Telur yang mempunyai diameter 0,22 mm, cleaveage pada tingkat
nauplis terjadi kira-kira 14 jam setelah proses bertelur (Anonymous, 1979).
Menurut Lim et
al., dalam Lestari (2009),
perkembangan larva udang penaeid terdiri dari beberapa stadia yaitu:
a. Stadia nauplius
Nauplius bersifat planktonik dan
phototaxis positif. Dalam stadia ini masih memiliki kuning telur sehingga belum
memerlukan makanan. Perkembangan stadia nauplius terdiri dari enam sub stadium.
Nauplius memiliki 3 pasang organ tubuh yaitu antena pertama, antena kedua dan mandible.
Antena pertama uniramous, sedangkan 2 alat lainnya biramous.
b. Stadia Zoea
Perubahan bentuk dari nauplius
menjadi zoea memerlukan waktu kira-kira 40 jam setelah penetasan. Pada stadia
ini larva dengan cepat bertambah besar. Tambahan makanan yang diberikan sangat
berperan dan mereka aktif memakan phytoplankton. Stadia akhir zoea juga memakan
zooplankton. Zoea sangat sensitif terhadap cahaya yang kuat dan ada juga yang
lemah diantara tingkat stadia zoea tersebut.
Zoea terdiri dari tiga substadia
secara kasar tubuhnya di bagi kedalam tiga bagian, yaitu carapace, thorax
dan abdomen. Tiga substadia tersebut dapat dibedakan berdasarkan
segmentasi abdomen dan perkembangan dari lateral dan dorsal pada setiap segmen.
c. Stadia mysis
Larva mencapai stadia mysis pada
hari ke lima setelah penetasan. Larva pada stadia ini kelihatan lebih dewasa
dari dua stadia sebelumnya. Stadia mysis
lebih kuat dari stadia zoea dan dapat bertahan dalam penanganan. Stadia mysis
memakan phytoplankton dan zooplankton, akan tetapi lebih menyukai zooplankton
menjelang stadia mysis akhir (M3). Mysis memilki tiga sub stadia dimana satu
dengan lainnya dapat dibedakan dari perkembangan bagian dada dan kaki renang.
d. Stadia post larva
Perubahan bentuk dari mysis menjadi
post larva terjadi pada hari kesembilan. Stadia post larva mirip dengan udang
dewasa, dimana lebih kuat dan lebih dapat bertahan dalam penanganan. Kaki
renang pada stadia post larva bertambah menjadi tiga segmen yang lebih
lengkung. Post larva bersifat planktonik,
dimana mulai mencari jasad hidup sebagai makanan.
2.5.
Pakan dan kebiasaan makanan udang vannamei
Makanan udang penaeid terdiri dari
crustacea dan molusca yang terdapat 85 % didalam pencernaan makanan dan 15 %
terdiri dari invertebrata benthis kecil, mikroorganisme penyusun detritus,
udang putih demikian juga di alam merupakan omnivora dan scavenger
(pemakan bangkai). Makanannya biasanya berupa crustacea kecil, amphipouda
dan plychacetes atau cacing laut (Wyban dan Sweeney, 1991). Lebih
lanjut dikatakan dalam pemeliharaan induk udang putih, pemberian pakan udang
putih 16 % dari berat total adalah cumi, 9 % cacing dengan pemberian pakan
empat kali perhari.
Udang mempunyai pergerakan yang
hanya terbatas dalam mencari makanan dan mempunyai sifat dapat menyesuaikan
diri terhadap makanan yang tersedia lingkungannya. Di alam larva udang biasanya
memakan zooplankton yang terdiri dari trochophora, balanos, veliger, copepoda,
dan larva polychaeta (Tricahyo, 1995).Udang putih termasuk golongan udang
penaeid. Maka sifatnya antara lain bersifat nocturnal artinya aktif mencari
makan pada malam hari atau apabila intensitas cahaya berkurang. Sedangkan pada
siang hari yang cerah lebih banyak pasif, diam pada rumpon yang terdapat dalam
air tambak atau membenamkan diri dalam Lumpur (Nurdjana et al., 1989).
III.
METODELOGI
3.1
Tempat dan Waktu
Dalam melakukan praktikum
ini dibutuhkan tempat dan waktu yang sesuai, yaitu bertempat di Gedung K,
Jurusan Budidaya Perairan, Fakutas Pertania Universitas Lampung pada hari rabu
– kamis / 21-22 Mei 2014, pukul 17:00 – 05.00 WIB.
3.2
Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang
digunakan dalam praktikum ini, seperti cawan petri, pipet tetes, saringan,
akuarium, senter/lampu, mikroskop, cover glass, objek glass, aerator, benur
dari 5 lokasi yaitu Kalianda Alam Asri, Karya Windu Way Muli, Arjuna Windu,
Putra Jaya Manunggal, Berkah Jaya Vannamei, air laut.
3.3
Cara Kerja :
Adapun prosedur ataupun
cara kerja yang diamati dalam praktikum, diantara lain:
1.
Pengamatan
Aktivitas
· Diletakkan
baeker glass yang telah diisi sampel larva/post larva di bawah lampu.
· Dibiarkan
hingga 1-2 menit dan kemudian diamati secara visual aktivitasnya.
· Diamati
sampel dibawah lampu dan dihitung prosentase larva/post larva yang lemah dan
yang aktif.
· Dihitung
prevalensi larva/post larva yang lemah dengan rumus:
2.
Penentuan
Stadia Larva/ Post Larva
· Diamati
sampel sebanyak minimal 30 ekor dengan
menggunakan pipet tetes atau disaring ke dalam wadah, diletakkan pada objek
glass dan ditempatkan pada bidang periksa mikroskop.
· Diamati
perkembangan stadia larva/post larva dengan menggunakan perbesaran 40-100 kali.
· Diamati
dan ditulis perkembangan stadia yang ada dibawah mikroskop
3.
Pengamatan
Feeding Rate
· Diambil
sampel sebanyak minimal 30ekor dengan menggunakan pipet tetes atau disaring
kedalam wadah/cawan petri, lalu diletakkan pada objek glass.
· Diamati
sampel pst larva dengan menggunakan mikroskop hingga seluruh pencernaan
terlihat jelas dengan menggunakan perbesaran 100 kali.
· Diperkirakan
panjang saluran pencernaan yang terisi yaitu full, setengah, atau kosong.
· Dilakukan
pengamatan sampel maksimal 1 jam setelah sampel diambil.
4.
Pengamatan
Pigmentasi
· Diambil
sampel sebanyak minimal 30 ekor dengan menggunakan pipet tetes atau disaring ke
dalam cawan petri dan diletakkan pada objek glass.
· Diamati
penampakan warna tubuh post larva terutama pada bagian mata, abdomen, dan ekor
dengan menggunakan mikroskop perbesaran 40-100 kali.
· Dihitung
prevelensi benur yang pigmennya tidak normal dengan rumus:
5.
Pengamatan
Penyakit (Parasit)
· Diamati
sampel sebanyak minimal 30 ekor dengan
menggunakan pipet tetes atau disaring ke dalam cawan petri dan diletakkan pada
objek glass.
· Dibasahi
sampel dan ditutup dengan cover glass.
· Diamati
sampel dibawah mikroskop dengan perbesaran 100-400 kali pada seluruh bagian
tubuh luar dan dalam post larva untuk mendeteksi adanya parasit.
· Dihitung
prevelensi benur yang terinfeksi parasit dengan rumus:
f.
Pengamatan Abnormalitas
· Diamati
sampel sebanyak minimal 30 ekor dengan
menggunakan pipet tetes atau disaring ke dalam cawan petri dan diletakkan pada
objek glass.
· Dibasahi
sampel dan ditutup dengan cover glass.
· Diamati
seluruh bagian tubuh sampel dibawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali.
· Dicatat
hasil pengamatan dengan membedakan jenis abnormalitas yang ditemukan.
· Dihitung
tingkat prevelensi dengan rumus:
g.
Pengamatan
Hepatopankreas
· Diamati
sampel sebanyak minimal 30 ekor dengan
menggunakan pipet tetes atau disaring ke dalam cawan petri dan diletakkan pada
objek glass.
· Dibasahi
sampel dan ditutup dengan cover glass.
· Diamati
sampel dibawah mikroskop dengan perbesaran 40-100 kali pada seluruh bagian
tubuh diamati keadaan normal, sedang, dan tidak normal.
· Dihitung
prevelensi benur dengan rumus:
h.
Pengamatan
Lipid
· Diamati
sampel sebanyak minimal 30 ekor dengan
menggunakan pipet tetes atau disaring ke dalam cawan petri dan diletakkan pada
objek glass.
· Dibasahi
sampel dan ditutup dengan cover glass.
· Diamati
sampel dibawah mikroskop dengan perbesaran 40-100 kali pada seluruh bagian
tubuh diamati keadaan tinggi, sedang, dan rendah.
· Dihitung
prevelensi benur dengan rumus:
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Asal Sampel
|
Fase Benur
|
(%) Respon Cahaya
|
(%) Aktivitas Berenang
|
(%) Abnormal
|
% Pigmentasi
|
penyakit
|
% kandungan isi perut
|
|
Lipid Droplet
|
Hp condition
|
||||||||||
aktif
|
lemah
|
aktif
|
lemah
|
bersih
|
kusam
|
parasit
|
bakteri
|
virus
|
penuh
|
setengah
|
kosong
|
Low
|
med
|
high
|
good
|
med
|
bad
|
|||
Kalianda Alam Asri
|
PL 8
|
30
|
70
|
90
|
10
|
3.33
|
100
|
0
|
0
|
|
|
23.33
|
50
|
26.67
|
83.33
|
6.7
|
6.7
|
96.7
|
3.33
|
0
|
Karya Windu Way Muli
|
PL 1
|
93.33
|
6.67
|
26.67
|
73.33
|
0
|
86.67
|
13.34
|
2
|
|
|
20
|
33.34
|
46.67
|
56.67
|
23.34
|
20
|
30
|
63.34
|
6.67
|
Arjuna Windu
|
PL 4
|
36.67
|
63.33
|
30
|
70
|
6.7
|
90
|
10
|
9
|
|
|
43.33
|
40
|
16.67
|
13.33
|
40
|
46.67
|
56.67
|
33.33
|
10
|
Putra Jaya Manunggal
|
PL 8
|
33.33
|
67.67
|
63.33
|
36.67
|
0
|
90
|
10
|
0
|
|
|
6.67
|
36.67
|
56.67
|
30
|
63.33
|
6.67
|
86.67
|
13.33
|
0
|
Berkah Jaya Vannamei
|
PL 8
|
20
|
80
|
60
|
40
|
0
|
100
|
0
|
4
|
|
|
23.33
|
90
|
13.33
|
80
|
16.67
|
3.33
|
13.33
|
80
|
3.33
|
4.2 Pembahasan
Prosedur untuk
mengamati kesehatan larva perlu dilakukan dengan pengamatan makroskopis dan mikroskopis.
Pada praktikum ini sample benur udang didapat dari berbagai
tambakdi Lampung yaitu tambak Berkah Jaya Vanamei, tambak Putra jaya Manunggal,
dan Kalianda Alam Asri yaitu benur ada pada stadia Post Larva (PL) 8. Sedangkan
yang lainnya yaitu pada Karya Windu Way Muli pada stadia Post Larva (PL) 1 dan
tambak Arjuna Windu pada stadia Post Larva (PL) 4.
Pengujian kesehatan
yang dilakukan terhadap benur udang vanamei yaitu meliputi:
a. Respon terhadap cahaya
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa respon terhadap cahaya
yaitu 20% aktif dan 80 % lemah pada tambak Berkah Jaya Vanamei, 30% aktif dan
70% lemah pada tambak Kalianda Alam Asri, 93,3% aktif dan 6,67% lemah pada
tambak Karya Windu Way Muli, 36,67% aktif dan 63,33% lemah.
b. Aktivitas berenang
Aktivitas berenang benur udang menunjukkan sehat atau
tidaknya udang. Pada hasil pengamatan diketahui bahwa aktivitas berenang benur
udang yang paling baik yaitu pada tambak Kalianda Alam Asri sebesar 90% aktif
sedangkan yang paling buruk yaitu pada tambak Karya Windu Way
Muli yang hanya sebesar 26,67% yang aktif berenang.
c. Ke abnormalan
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa persentase abnormal
benur udang tertinggi yaitu pada tambak arjuna Windu sebesar 6,7 %, sedangkan
terendah yaitu pada tambak Karya Windu, Putra jaya, dan Berkah Jaya yang
sebesar 0% yang berarti kondisi seluruh benur dalam keadaan normal semua.
d. Persentase pigmentasi
Dari pengamatan diketahui bahwa sample udang yang palng
sehat yaitu pada Kalianda Alam asri dan tambak berkah Jaya sebesar 100% bersih
(pigmen baik) sedangkan yang buruk yaitu pada tambak Karaya Windu Way Muli
sebesar 13% pigmennya kusam yang menandakan benur udang kurang sehat ataupun
kurang nutrisi pada pakannya.
e. Penyakit
Dari pengamatan
diketahui penyakit yang terjadi yaitu berasal dari jenis parasit. Pada tambak
yang memiliki parasit terbanyak yaitu pada Arjuna Windu sebesar 9% terkena
parasit sedangkan yang tidak terdapat parasit sama sekali yaitu pada tambak
Kalianda Alam Asri dan Putra jaya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi udang
baik dan kondisi tambak tempat pengambilan sample memiliki kualitas sanitasi
dan manajemen kbersihan yang bagus.
f. Kandungan isi perut
Isi perut juga
menandakan indikator kesehatan larva. Pada
hasil pengamatan diketahui bahwa kandungan isi yang paling penuh yaitu pada
tambak Arjuna Windu sebesar 43% sedangkan udang yang memiliki isi perut kosong
yaitu pada tambak Putra Jaya sebesar 56%. Jadi udang yang memungkinkan sehat
yaitu pada tambak Arjuna Windu, namun isi perut juga dipengaruhi oleh kebiasaan
makan dan fase pemberian pakan yang terapkan pada masing-masing tambak.
g. Lipid Droplet
Pada hasil pengamatan yaitu lipid droplet yang dimiliki
udang terbanyak dalam jumlah tinggi yaitu pada benur tambak Arjuna Windu
sebesar 46% sedangkan terendah yaitu pada tambak Karya Windu Way Muli sebesar
56% memiliki lipid droplet yang rendah. Lipid droplet juga dipengaruhi oleh
pakan yang diberikan serta hepatopankreas yang bekerja.
h. HP condition
Dari pengamatan
diketahui bahwa kondisi udang yang paling baik yaitu pada benur udang dari
tambak Kalianda Alam asri sebesar 96% baik sedangkan yang paling buruk yaitu
pada benur udang dari tambak Karya Windu Way Muli yang memiliki hepatopankreas
dengan persentasi keadaan BAD paling tinggi sebesar 6%.
V.
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang
didapat dari praktikum ini yaitu sebagai berikut:
a.
Metode pengujian kesehatan benur udang
dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya yaitu respon cahaya, aktivitas
berenang, abnormal, pigmentasi, penyakit, kandungan isi perut, lipid droplet,
dan kondisi hepatopankreas.
b. Benur
udang yang paling baik atau sehat yaitu bersala dari tambak Kalianda Alam Asri sedangkan
benur udang yang paling buruk dan tidak sehat yaitu pada tambak Arjuna Windu.
5.2
Saran
Adapun saran yang dapat
diberikan yaitu sebaiknya labiratorium dapat memberikan peralatan yang lebih
baik lagi dan juga praktikan sebakinya lebih aktif dan memperkaya materi
sebelum praktikum.
DAFTAR
PUSTAKA
Badan
Standarisasi Internasional. 2000. SNI Udang Galah. Jakarta.
Edhy, W.A, Januar, P dan Kurniawan.
2003. Plankton di Lingkungan PT. Central Pertiwi Bahari. PT Central
Pertiwi Bahari. Tulangbawang.
Elovaara, A.K. 2001. Shrimp
Farming Manual : Practical Technology for Intensive Shrimp Production.
United States of America (USA)
Haliman, R.W. dan Adijaya, S.D.
2005. Udang Vannamei. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kordi, K.M.G.H. 2010. Pakan Udang. Akademia. Jakarta.
Kungvankij, P., L.B. Tiro, B.J.
Pudarera, Jr., I.O. Potestas, K.G. Corre, E. Borlongan, G.A. Talean, L.F.
Bustilo, E.T. Tech, A. Unggui, T.E. Chua. 1985. Training Manual : Shrimp
Hathery Design, Operation, and Management. FAO. Bangkok
Lestari,
A. 2009. Manajemen Risiko dalam Usaha
Pembenihan Udang vaname (Litopenaeus vannamei), Studi Kasus di PT. Suri Tani Pemuka,
Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Departemen Agribisnis. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
SNI 01-7252-2006. 2006. Benih
Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Kelas Benih Sebar.
Soleh, M. 2006. Biologi Udang
Vannamei Litopenaeus vannamei. BBPBAP Jepara. Jepara
Subaidah, S. dkk. 2006. Pembenihan
Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Balai Budidaya Air Payau
Situbondo. Situbondo
Lampiran
1. Foto Kegiatan Praktikum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar