PENETASAN KISTA
ARTEMIA
(Laporan Praktikum Teknologi Budidaya Pakan
Hidup)
Oleh
WIDI INDRA
KESUMA
1114111058
JURUSAN BUDIDAYA
PERAIRAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
2013
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pakan atau makanan merupakan salah satu komponen terpenting
untuk kehidupan suatu organisme atau makhluk hidup, dimana pakan atau makanan
tersebut merupakan salah satu penghasil energi untuk melakukan segala
aktifitas, dalam hal ini terhadap kelangsungan hidup organisme akuatik, salah
satunya yaitu ikan yang masih dalam tahap benih. Ukuran tubuh ikan yang masih
benih, tentunya untuk pakannya sendiri, harus sangat memerlukan tekstur pakan
yang sangat kecil dengan kata lain harus memerlukan pakan yang sesuai dengan
bukaan mulut ikan, baik itu pakan buatan seperti pelet maupun pakan hidup atau
alami seperti plankton dan organisme mikroskopis lainya.
Umumnya, khususnya dalam budidaya ikan, untuk pemberian
pakannya sendiri dalam hal ini terhadap benih ikan yaitu dengan menggunakan
pakan hidup, salah satu contohnya yaitu pakan Artemia. Artemia merupakan salah
satu makanan hidup yang sampai saat ini paling banyak digunakan dalam usaha
budidaya seperti udang dan ikan, khususnya dalam pengelolaan pembenihan, yang dikarenakan
sangat banyak memiliki kelebihan dibanding dengan jenis pakan lainya baik dari
mekanisme pengelolaanya maupun tingkat
kandungan nutrisinya seperti kaya akan protein.
Keunggulan Artemia tidak hanya pada nilai nutrisinya, tetapi
juga karena mempunyai kerangka luar (eksoskeleton) yang sanga tipis, sehingga
dapat dicerna seluruhnya oleh hewan pemangsa. Melihat keunggulan nutrisi
Artemia dibandingkan dengan jenis makanan lainnya, maka Artemia merupakan
makanan udang dan ikan yang sangat baik jika digunakan sebagai makanan hidup
maupun sumber protein utama makanan buatan. Untuk itulah kultur massal Artemia
memegang peranan sangat penting dan dapat dijadikan usaha industri tersendiri
dalam kaitannya dengan suplai makanan hidup maupun bahan dasar utama makanan
buatan.
Pada proses kultur Artemia,
kepadatan serta warna air menjadi indikator banyakanya cyst atau
cangkang yang menetas. Oleh karena itu para pembudidaya harus benar – benar
mengelolah dengan baik untuk hasil yang maksimal. Dalam proses penetasan
tersebut, ada yang dikatakan proses dekapsulasi dan non dekapsulasi. Proses
dekapsulasi yaitu merupakan proses dimana dalam mekanismenya menggunakan bahan
kimia sedangkan non dekapsulasi tidak menggunakan hal tersebut. Kepadatan yang
dihasilkan tentu pasti akan berbeda,
oleh karena itu perlu dilakukannya praktek mengenai penetasan Artemia
dengan mengunakan dua perlakuan berbeda agar praktikan dapat mengetahui secara
langsung tentang mekanisme serta hasilnya dalam hal ini kuantitas atau jumlah
Artemia yang menetas.
1.2
Tujuan
Praktikum
Tujuan praktikum
ini adalah untuk mengetahui cara menetaskan kista artemia dengan benar.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Artemia
Secara
taksonomi, klasifikasi sistematika Artemia adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Sud Fillum : Branchiata
Kelas : Crustacea
Subclass
: Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Famili : Artemiidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia sp.
Nama
Artemia salina Linnaeus 1758 secara taksonomis sudah tidak dipakai lagi.
Eksperimen persilangan antar Artemia dari berbagai populasi menunjukkan adanya
isolasi reproduksi dari beberapa kelompok dalam populasi dan menyebabkan adanya
pengakuan terhadap spesies sibling sehingga penamaan secara taksonomi harus
diberikan. Diantara strain biseksual atau zygogenetik Artemia (populasi yang
terdiri dari jantan dan betina) ada 6 jenis sibling yang diketahui sejauh ini,
yakni:
Artemia
salina : Lymington England
Artemia
tunisiana : Eropa
Artemia
fransiscana : Amerika
(Utara, Tengah dan Selatan)
Artemia
urmiana : Iran
Artemia
monica : Mono-Lake,
CA-USA
(Harefa, 1996).
2.2 Morfologi Artemia
Artemia salina diperdagangkan dalam bentuk telur istirahat yang dinamakan
kista. Kista ini berbentuk bulatan-bulatan kecil berwarna kelabu kecoklatan
dengan diameter 200-300 µm. Kista berkualitas baik apabila di inkubasikan dalam
air berkadar garam 5-70 permil akan menetas sekitar 18-24 jam. Artemia yang baru menetas disebut nauplius, berwarna orange,
berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron dan
berat 0,002 mg. Nauplius berangsur-angsur mengalami per-kembangan dan perubahan
morfologis dengan 15 kali pergantian kulit sehingga menjadi dewasa. Pada setiap
pergantian kulit disebut instar. Artemia dewasa
mempunyai ukuran panjang antara 8-10 mm, tubuhnya memanjang dan berbentuk daun
robek. Bila keadaan memungkinkan dapat bereproduksi selama 6 bulan/1 tahun
secara terus menenrus, setelah itu akan mati. Seekor Artemia betina dewasa
dapat menghasilkan 50-200 kista/nauplii, (Gusrina. 2008).
2.3 Siklus Hidup Artemia
Ada dua cara bagi artemia untuk dapat bereproduksi,
yaitu secara seksual dan dioecian (reproduksivterjadi tanpa partisipasi dari
spesies jantan dan sebagai perkembangan embrio dimulai segera setelah telur
tiba di rahim). Jika kondisi memungkinkan, seluruh siklus pengembangan terjadi
dalam rahim sebagai benih yang menetas. Jika kondisi hidup memburuk, lobster
yang bertelur - kista, yang memiliki cangkang keras dan kemampuan luar biasa
untuk bertahan hidup.
Siklus hidup Artemia dimulai oleh penetasan kista aktif
yang terbungkus embrio yang metabolik aktif. Kista dapat tetap dorman selama
bertahun-tahun asalkan mereka tetap kering. Bila kista ditempatkan kembali ke
dalam air garam mereka kembali terhidrasi dan melanjutkan perkembangan mereka.
Kista Artemia yang terbaik disimpan dalam wadah tertutup rapat di lingkungan
yang sejuk dan kering, biasanya disimpan di dalam kulkas. Setelah 15 sampai 20
jam pada 25 oC (77 F) semburan kista dan embrio daun shell. Untuk
beberapa jam pertama, embrio yang di bawah shell kista, masih tertutup dalam
membran menetas. Hal ini disebut tahap Payung, selama tahap ini nauplius
selesai pembangunan dan muncul sebagai nauplii berenang bebas. Pada tahap larva
pertama, nauplii memiliki warna oranye kecoklatan karena cadangan kuning telur,
artemia yang baru menetas tidak menyusui karena mulut mereka dan anus tidak
sepenuhnya dikembangkan. Sekitar 12 jam setelah menetas mereka meranggas ke
tahap larva kedua dan mereka mulai makan filter pada partikel dari berbagai
mikroalga, bakteri, dan detritus. Para nauplii akan tumbuh dan kemajuan melalui
15 molts (pengupasan) sebelum mencapai dewasa dalam waktu sekitar 8 hari.
Artemia dewasa meimiliki panjang rata-rata sekitar 8 mm, tetapi dapat mencapai
panjang sampai dengan 20 mm di lingkungan yang tepat. Pada tahap dewasa terjadi
peningkatan panjang 20 kali dan peningkatan 500 kali dalam biomassa dari tahap
nauplli.
Pada salinitas rendah dan tingkat yang optimal
makanan, artemia betina dibuahi biasanya menghasilkan nauplii berenang bebas
hingga 75 nauplii per hari. Dalam kondisi yang super ideal, suatu Artemia
dewasa bisa hidup selama tiga bulan dan menghasilkan hingga 300 nauplii atau
kista setiap 4 hari. Kista produksi diinduksi oleh kondisi salinitas tinggi,
dan kekurangan pangan kronis dengan fluktuasi oksigen yang tinggi antara siang
dan malam.
2.4 Habitat Artemia
Populasi
artemia ditemukan di sekitar 500 danau garam alami dan buatan manusia yang
tersebar di seluruh Salterns, zona tropis iklim subtropis dan sedang, serta di
sepanjang garis pantai dan juga daratan. Meskipun artemia berkembang sangat
baik di air laut alami, mereka tidak dapat bermigrasi dari satu biotope garam
yang lain melalui laut, karena mereka bergantung pada adaptasi fisiologis
mereka untuk salinitas tinggi untuk menghindari predasi dan persaingan dengan
pengumpan filter lainnya.
Artemia hidup secara planktonik
diperairan laut yang kadar garamnya (salinitas) bekisar antara 15-30 permill
dan suhunya berkisar antara 26-31oC serta nilai Ph-nya antara
7,3-8,4. Keistimewaan Artemia sebagai plankton adalah memiliki toleransi
(kemampuan beradaptasi dan mempertahankan diri) pada kisaran kadar garam yang
sangat luas. Pada kadar garam yang sangat tinggi di mana tidak ada satu pun
organism lain mampu bertahan hidup, ternyata Artemia mampu mentolerirnya,
(Kurniastuty dan Isnansetyo, 1995).
2.5 Kandungan gizi artemia
Kandungan
nutrisi artemia terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, air dan abu.
Protein
merupakan kandungan terbesar dalam jasad renik ini dan merupakan kunci rahasia sehingga
peranannya sebagai pakan sangat dibutuhkan. Kandungan protein inilah yang
menyebabkan artemia digunakan sebagai pakan alami yang sulit digantikan dengan
pakan yang lain. Menurut hasil penelitian Fakultas Peternakan IPB (1994),
kandungan protein di dalam artemia dapat mencapai 58,58%.
III. METODOLOGI
3.1
Waktu
dan Tempat Praktikum
Praktikum Teknologi Budidaya Pakan Hidup
dilaksanakan pada tanggal 09-10 November 2013 pukul 15.30-15.30 WIB di
Laboratorium Perikanan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
3.2
Alat
dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada
praktikum ini adalah botol sprite/coca cola yang dipotong bagian bawahnya,
penyangga, lampu 25 watt, kabel, aerator, selang, dan batu aerasi, pipet tetes,
cawan petri, refraktometer, dan alat tulis.
Adapun bahan yang digunakan dalam
praktikum ini adalah air laut buatan dan kista artemia.
3.3
Prosedur
Kerja
Cara kerja pada praktikum kali ini
adalah:
1. Buat
wadah penetasan Artemia dengan menggunakan botol spri8te/coca-cola lalu potong
bagian bawah botol.
2. Buat
penyangga botol dengan menggunakan kayu/triplek sehingga botol nantinya dapat
berdiri dengan baik dengan posisi terbalik.
3.
Tutup wadah penetasan dengan menggunakan plastik hitam
4. Atur
wadah dan aerasi sebelum digunakan, pastikan wadah dan aerasi dapat berfungsi
baik.
5. Buatlah
media penetasan dengan air bersalinitas 30 ppt dengan menggunakan air tawar
sebanyak 1 liter dan garam sampai bersalinitas 30 ppt.
6. Masukkan
air laut buatan yang telah disiapkan ke dalam wadah penetasan
7. Timbang
kista Artemia yang akan ditetaskan sebanyak 3 gram/liter
8. Lalu
masukkan ke dalam wadah dan media penetasan yang telah disiapkan dengan aerasi
kuat
9.
Amati dan catat perkembangan kista Artemia
setiap 1 jam
10. Hitung
jumlah artemia tiap fase (kista, umbrella, nauply)
11. Hitung
derajat penetasan (HR) Artemia
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
4.2
Pembahasan
Dari grafik
dapat dilihat bahwa kista artemia menetas menjadi nauply pada senin pukul 11.00
WIB. Hal tersebut dapat dilihat dari HR yang pada jam sebelumnya masih 0% sudah
meningkat menjadi sebesar 0,0077%, artinya pada saat itu artemia sudah
berkembang ke fase nauply. Pertumbuhan penetasan kista artemia relatif konstan.
Setelah 90 jam HR tertinggi adalah sebesar 9,569% = 10%.
Penetasan kista Artemia adalah
suatu proses inkubasi kista Artemia di media penetasan (air laut
ataupun air laut buatan) sampai menetas. Menurut Gusrina (2008) menyatakan
bahwa proses penetasan terdiri dari beberapa tahapan yaitu proses penyerapan
air, pemecahan dinding cyste oleh embrio, embrio terlihat jelas masih
diselimuti membran, menetas dimana nauplius berenang bebas yang membutuhkan
waktu sekitar 18-24 jam. Akan tetapi hal ini berbeda dengan hasil praktikum
kami dimana cyste artemia mulai menetas sekitar 12 jam setelah penebaran cyste
pada media.
Waktu penetasan cyste artemia
dipengaruhi oleh faktor kualitas air, yaitu : kadar salinitas pada media
penetasan, kepadatan cyste yang ditetaskan, intensitas cahaya dan aerasi.
Agar diperoleh hasil penetasan
yang baik maka oksigen terlarut di dalam air harus lebih dari 5 ppm. Untuk
mencapai nilai tersebut dapat dilakukan dengan pengaerasian yang kuat.
Disamping untuk meningkatkan oksigen, pengaerasian juga berguna agar cyste yang
sedang ditetaskan tidak mengendap. Suhu sangat mempengaruhi lamanya waktu
penetasan dan suhu optimal untuk penetasan Artemia adalah 26-29º C.
Pada suhu dibawah 25º C Artemia akan membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk menetas dan pada suhu diatas 33º C dapat menyebabkan kematian cyste.
Kadar salinitas optimal untuk penetasan adalah antara 5 – 35 ppt, namun untuk
keperluan praktis biasanya digunakan air laut (kadar garam antara 25–35 ppt).
Nilai pH air harus dipertahankan pada nilai 8 agar diperoleh penetasan yang
optimal. Adapun iluminasi pada saat penetasan sebaiknya 2000 lux.
Hal lain yang menentukan derajat
penetasan cyste adalah kepadatan cyste yang akan ditetaskan. Pada penetasan
skala kecil (volume < 20l) kepadatan cyste dapat mencapai 5 g per liter air.
Akan tetapi pada skala yang lebih besar agar diperoleh daya tetas yang baik
maka kepadatan harus diturunkan menjadi 2 g per liter air. Artemia yang
sudah menetas dapat diketahui secara sederhana yakni dengan melihat perubahan
warna di media penetasan. Artemia yang belum menetas pada umumnya
berwarna cokelat muda, akan tetapi setelah menetas warna media berubah menjadi
oranye. Warna oranye belum menjamin Artemia sudah menetas sempurna,
oleh karena itu untuk meyakinkan bahwa Artemia sudah menetas secara sempurna
disamping melihat perubahan warna juga dengan mengambil contoh Artemia dengan
menggunakan beaker glass. Jika seluruh nauplius Artemia sudah berenang
bebas maka itu menunjukkan penetasan selesai. Akan tetapi jika masih banyak
yang terbungkus membran, maka harus ditunggu 1-2 jam agar semua Artemia menetas
secara sempurna.
Kista menetas menjadi Artemia
stadia nauplius. Setelah menetas sempurna, secara visual dapat terlihat
terjadinya perubahan warna dari coklat muda menjadi oranye. Hal yang penting
yang perlu diperhatikan dalam pemanenan nauplius Artemia adalah jangan
sampai tercampur antara Artemia dan cangkang. Hal ini perlu dihindari
mengingat cangkang Artemia tersebut mengandung bahan organik yang
dapat menjadi substrat perkembangbiakan bakteri. Setelah 18 jam dimasukan dalam
bak penetasan maka pengecekan apakah Artemia dalam wadah penetasan
sudah menetas atau belum. Pengecekan dilakukan dengan cara mematikan aerasi.
Sesaat setelah aerasi dimatikan, jika secara kasat mata keseluruhan nauplius
sudah berenang bebas maka pemanenan dapat dilakukan dan aerasi tetap dimatikan.
Jika sebagian besar nauplius masih terbungkus membran dan belum berenang bebas
maka aerasi dihidupkan kembali. Selanjutnya 1 atau 2 jam kemudian dilakukan
pengecekan ulang. Langkah awal pemanenan Artemia yaitu dengan
mematikan aerasi serta menutup bagian atas wadah dengan bahan yang tidak tembus
cahaya. Hal ini dilakukan dengan tujuan memisahkan antara nauplius dan cangkang
Artemia. Cangkang Artemia akan mengambang dan berkumpul di
permukaan air. Nauplius Artemia akan berenang menuju ke arah cahaya.
Karena bagian bawah wadah tranparan dan ditembus cahaya maka nauplius Artemia
akan berkumpul di dasar wadah penetasan. Oleh karena itu pada saat
pemanenan nauplius, sebaiknya bagian dasar wadah disinari lampu dari arah
samping. Selain nauplius, didasar wadah juga akan terkumpul kista yang tidak
menetas. Aerasi tetap dimatikan selama 10 menit. Setelah semua cangkang
berkumpul di atas permukaan air dan terpisah dengan nauplius yang berada di
dasar wadah maka pemanenan dapat dilakukan dengan cara membuka kran pada dasar
wadah (jika ada) atau dengan cara menyipon dasar. Sebelum tutup dibuka atau
disipon, ujing selang kecil dibungkus saringan yang berukuran 125 mikron dan
dibawah saringan disimpan wadah agar nauplius Artemia tetap berada
dalam media air. Pada saat pemanenan hindarilah terbawanya cangkang. Artemia
yang tersaring kemudian dibilas dengan air laut bersih dan siap diberikan
ke larva ikan atau udang. Selanjutnya air dan cangkang yang tersisa di wadah
penetasan dibuang dan dibersihkan.
Dalam
penetasan artemia, salinitas dan suhu berpengaruh pada terhadap penetasan
artemia tersebut. Salinitas dan suhu yang sesuai untuk penetasan akan
mempengaruhi penetasan kista artemia. Apabila suhu dan salinitas tidak sesuai
maka kista artemia akan sulit untuk menetas. Kista artemia yang
kering dapat bertahan pada suhu -2730C dan 1000C, tetapi
untuk telur yang basah tidak demikian halnya. Temperatur optimal untuk
penetasan kista dan pertumbuhan adalah 25 - 30°C. Sedangkan Artemia sp.
menghendaki kadar salinitas antara 30 - 35 ppt, dan dapat hidup dalam air tawar
salama 5 jam sebelum akhirnya mati.
Ada beberapa
faktor yang memengaruhi keberhasilan dan kegagalan dalam penetasan artemia,
diantaranya:
1)
Suhu
Artemia tidak
dapat hidup pada suhu kurang dari 60C atau lebih dari 350C,
akan tetapi hal ini jelas sangat bergantung pada individunya dan kebiasaan
tempat hidup mereka. Misalnya saja Artemia
yang hidup di tambak garam di Thailand, walaupun dia berasal dari Macau
(Brazil), ternyata mereka dapat bertahan sampai beberapa minggu pada suhu 400C.
Sedangkan Artemia dari
Tuticorin (India) biasa hidup pada suhu antara 27-360C. Pertumbuhan Artemia yang baik suhu berkisar
antara 25-300C. Berbeda dengan Artemia dewasa, telurnya yang kering lebih tahan terhadap suhu.
Walaupun tidak pernah terjadi di alam, tetapi telah kita ketahui bahwa telur
yang kering dapat bertahan pada suhu -2730C dan 1000C,
tetapi untuk telur yang basah tidak demikian halnya (Mudjiman, 1989).
Artemia sp.
dewasa toleran terhadap selang suhu -18 hingga 40°C. Sedangkan temperatur
optimal untuk penetasan kista dan pertumbuhan adalah 25 - 30°C. Meskipun
demikian hal ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia sp.
2)
Salinitas
Salinitas merupakan
konsentrasi total dari semua ion
yang larut dalam air, dan dinyatakan
dalam bagian perseribu (ppt) yang setara dengan gram per liter. Salinitas
merupakan konsentrasi rata-rata seluruh garam yang terdapat di dalam air laut.
Salinitas diduga berpengaruh terhadap perkembangan Artemia sp., makanya perlu
dilakukan penelitian tentang hal tersebut yang menyakut dengan kandungan
protein dan lemak Artemia sp.
Salah satu keunggulan jasad renik ini
adalah kemampuannya dalam beradaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan,
khususnya terhadap salinitas. Hewan ini mampu hidup pada rentang salinitas 5
-150 ppt. Beberapa jenis bahkan mampu hidup di perairan dengan salinitas sampai
350 ppt. Namun menurut Mudjiman (2004) menyarankan menggunakan salinitas 30 ppt
saat penetasan untuk mendapatkan hasil yang optimum.
Artemia sp.
memiliki keunggulan yaitu mudah dalam penanganan, karena dapat bertahan dalam bentuk
kista untuk waktu yang lama. Selain itu, Artemia sp. juga beradaptasi
dalam kisaran salinitas lingkungan yang lebar, makan dengan cara menyaring
sehingga mempermudah dalam penyedian pakannya. Artemia sp. menghendaki
kadar salinitas antara 30 - 35 ppt, dan Artemia sp. dapat hidup dalam
air tawar salama 5 jam sebelum akhirnya mati.
3)
pH
pH sangat penting sebagai parameter
kualitas air karena pH dapat mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa
bahan di dalam air. Selain itu ikan dan mahluk-mahluk akuatik lainnya hidup
pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan
tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan organisme
yang kita budidayakan. Variable lain yang penting adalah pH dengan selang 8-9
merupakan selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi
dari 10 dapat membunuh Artemia sp.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum ini adalah
sebagai berikut:
1. Proses
perkembangan artemia terdiri dari kista, umbrella, dan naupli.
2. Proses
perkembangan kista artemia untuk menjadi naupli membutuhkan waktu yang lama
sekitas 12-24 jam.
3. Tidak
semua kista artemia mampu menetas dan menjadi naupli, hal tersebut juga
dipengaruhi oleh berbagai factor dari lingkungan.
5.2
Saran
Saran dari saya adalah agar sebaiknya
pada saat praktikum benar-benar diperhatikan prosedur penetasan artemia agar
tidak terjadi kesalahan dalam perhitungannya serta ada interaksi yang lebih
baik antara praktikan dan asisten.
DAFTAR
PUSTAKA
Gusrina.
2008. Budidaya Ikan Jilid 1, 2 dan 3 untuk SMK. Jakarta : Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Harefa
F, 1996. Permbudidayaan Artemia Untuk Pakan Udang Dan Ikan. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Kurniastuty
dan Isnansetyo. 1995. Artemia Pakan Alami
Berkualitas untuk Ikan dan Udang. Jakarta: Erlangga
Mudjiman, A. 1985. Makanan Ikan. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
LAMPIRAN
Tabel Data Penetasan Kista Artemia
No.
|
Hari/Tanggal
|
Jam
|
Nama Pengamat
|
Kista (C)
|
Umbrella (U)
|
Nauply (N)
|
Total
|
HR (%)
|
1
|
Sabtu/ 08 November 2013
|
17:30:00 PM
|
Rizky Alfiany
|
90
|
0
|
0
|
90
|
0
|
2
|
18:30:00 PM
|
Rizky Alfiany
|
120
|
0
|
0
|
120
|
0
|
|
3
|
19:30:00 PM
|
Rizky Alfiany
|
130
|
0
|
0
|
130
|
0
|
|
4
|
20:30:00 PM
|
Rizky Alfiany
|
170
|
0
|
0
|
170
|
0
|
|
5
|
21:30:00 PM
|
Rizky Alfiany
|
158
|
0
|
0
|
158
|
0
|
|
6
|
22:30:00 PM
|
Rizky Alfiany
|
128
|
2
|
0
|
130
|
0
|
|
7
|
23:30:00 PM
|
Dimas Risky
|
142
|
3
|
0
|
145
|
0
|
|
8
|
Minggu/ 09 November 2013
|
0:30
|
Dimas Risky
|
120
|
1
|
0
|
121
|
0
|
9
|
1:30
|
Dimas Risky
|
170
|
5
|
0
|
175
|
0
|
|
10
|
2:30
|
Dimas Risky
|
130
|
9
|
0
|
139
|
0
|
|
11
|
3:30
|
Dimas Risky
|
128
|
12
|
0
|
140
|
0
|
|
12
|
4:30
|
Rizky Alfiany
|
173
|
16
|
0
|
189
|
0
|
|
13
|
5:30
|
Rizky Alfiany
|
140
|
21
|
0
|
161
|
0
|
|
14
|
6:30
|
Widi Indra
|
152
|
17
|
0
|
169
|
0
|
|
15
|
7:30
|
Widi Indra
|
203
|
15
|
0
|
218
|
0
|
|
16
|
8:30
|
Widi Indra
|
135
|
9
|
0
|
144
|
0
|
|
17
|
9:30
|
Widi Indra
|
169
|
12
|
0
|
181
|
0
|
|
18
|
10:30
|
Widi Indra
|
192
|
14
|
0
|
206
|
0
|
|
19
|
11:30
|
Widi Indra
|
183
|
13
|
0
|
196
|
0
|
|
20
|
12:30
|
Hafsha
|
195
|
5
|
0
|
200
|
0
|
|
21
|
13:30
|
Hafsha
|
170
|
3
|
0
|
173
|
0
|
|
22
|
14:30
|
Widi Indra
|
187
|
9
|
0
|
196
|
0
|
|
23
|
15:30
|
Hafsha
|
200
|
1
|
0
|
201
|
0
|
|
24
|
16:30
|
Hafsha
|
215
|
3
|
0
|
218
|
0
|
|
25
|
17:30
|
Hafsha
|
222
|
2
|
0
|
224
|
0
|
|
26
|
Senin/ 10 November 2013
|
11:00:00 AM
|
Hafsha
|
250
|
5
|
2
|
257
|
0.0077
|
27
|
Selasa/ 11 November 2013
|
11:00:00 AM
|
Widi Indra
|
236
|
19
|
5
|
260
|
0.019
|
28
|
Rabu/ 12 November 2013
|
11:00:00 AM
|
Rizky Alfiany
|
150
|
39
|
20
|
209
|
10
|
Foto
Kegiatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar