TEKNIK
PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)
(Makalah
Teknologi Pembenihan Ikan)
Oleh:
Widi
Indra Kesuma
1114111058
JURUSAN
BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
2013
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ikan merupakan sumber daya perairan
yang dapat diproduksi dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan
sumber daya pertanian dan perternakan. Perikanan merupakan suatu upaya manusia
untuk menggali sumber daya hayati perairan yang digunakan bagi kepentingan
manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidup. Sumber daya perikanan merupakan salah satu sektor yang memegang peranan
penting didalam pemenuhan protein hewani.
Ikan patin (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah
satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, baik pada tahap
pembenihan maupun pembesaran. Ikan ini memiliki kandungan protein yang cukup
tinggi kadar kolesterol yang relatif rendah serta memiliki kandungan kalori
sehingga ikan ini baik untuk dikonsumsi ( Khairuman, 2002). Sebab dengan hal
tersebut penulis melakukan praktek magang di BBPBAT Sukabumi, Jawa Barat
tentang cara pemijahan ikan patin sehingga ilmu yang didapatkan nantinya dapat
diterapkan kepada masyarakat.
Dalam pembangunan usaha budidaya perikanan, maka penyediaan
benih yang bermutu tinggi dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau
oleh petani ikan sangat diperlukan, oleh karena itu tujuan mendirikan balai
benih ikan dalam skala kecil tidak saja dapat dilakukan oleh pemerintah tapi
juga pihak swasta (Dahril dalam Sarwisman, 2002).
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui tehnik pembenihan
Ikan Patin (Pangasius pangasius) .
Manfaat dari makalah ini diharapkan
dapat menambah pengetahuan, pengalaman dan keterampilan, sehinggah ilmu yang
diperoleh bisa dijadikan bekal ke masyarakat dalam menghadapi dunia kerja.
II. PEMBAHASAN
2.1. Biologi
dan Ekologi Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus)
Ikan patin merupakan salah satu dari 14
spesies pangasiid yang sudah cukup lama di Indonesia. Pangasius
hypopthalmus merupakan introduksi dari Thailand dan menjadi salah satu ikan
populer yang dibudidayakan di Indonesia (Slembrouck, J. et all., 2003).
Menurut Susanto dan Amri (2002), klasifikasi ikan patin
adalah sebagai berikut:
Ordo
: Ostariophysi
Subordo : Siluroide
Famili :
Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius
hypopthalmus
Djariah (2001) mengatakan, ikan patin memiliki warna tubuh
putih keperak - perakan dan punggung kebiru - biruan, bentuk tubuh memanjang,
kepala relatif kecil, pada ujung kepala terdapat mulut yang dilengkapi dua
pasang sungut yang pendek. Susanto dan Amri (2002) menambahkan, pada
sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang
bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sirip ekor membentuk cagak dan
bentuknya simetris. Ikan patin tidak mempunyai sisik, sirip dubur relatif
panjang yang terletak di atas lubang dubur terdiri dari 30-33 jari-jari lunak
sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Memiliki sirip dada
12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari - jari keras yang berubah menjadi senjata
yang dikenal dengan patil, di bagian permukaan punggung ikan patin terdapat
sirip lemak yang berukuran kecil.
2.2. Pembenihan
2.2.1. Seleksi Induk
Seleksi ini dilakukan terhadap stok
induk yang ada dengan tujuan untuk mendapatkan induk yang mempunyai
produktivitas tinggi dengan ciri morfologi yang dikehendaki dan dapat
diturunkan (Sutisna dan Sutarmanto, 2003). Selain itu seleksi juga untuk
mendapatkan induk yang telah matang gonad dan siap untuk dipijahkan.
Ketelitian saat seleksi induk merupakan
penentu keberhasilan dari kegiatan pemijahan karena induk yang berkualitas akan
menghasilkan telur dan larva yang berkualitas pula. Sebaliknya, induk yang
kurang berkualitas akan menghasilkan telur dan larva yang lemah yang berakibat
pada kelangsungan hidup yang rendah (Rustidja, 2004).
Induk
jantan dan betina
Kolam induk atau perawatan induk pada umumnya adalah
kolam tanah dan dapat pula menggunakan kolam dengan pematang tembok. Kolam ini
terdiri dari 2-4 unit atau 1 unit kolam yang dapat disekat dengan jaring
pembatas menjadi 2-4 bagian dengan luasan masing-masing 100-250 m2 (Foto 4.1).
Induk patin jantan
dan betina dapat dipelihara dalam kolam secara
bersamaan atau secara terpisah atau kolam yang sama yang diberi sekat secara
terpisah, dengan padat penebaran
sekitar 2-4 ekor/m2. Pemberian sekat pemisah bukan
hanya untuk memisahkan pemeliharaan induk patin jantan dan betina, tetapi untuk
mengurangi stress induk pada saat seleksi di kolam induk; pemeliharaan calon
induk dengan induk (indukan yang sudah dipijahkan dan indukan yang belum
dipijahkan), karena induk jantan dan betina digunakan hanya sekitar 3-4 kali
pemijahan dan setelah
itu dikategorikan
sebagai induk afkir.
Model Kolam Pemeliharan Induk
Wadah
isolasi/pemberokan induk yang telah diseleksi serta pemeliharan induk betina
yang sudah dilakukan penyuntikan merupakan kolam induk yang di sekat dengan
hapa (ukuran 3m x 2 m x 1 m atau disesuaikan) dan/atau bak dari kontruksi kayu
yang dilapisi plastik (Foto 4.3). Jumlah wadah isolasi/pemberokan
induk 2-3 unit untuk
memisahkan indukan jantan dan betina.
Model Kolam/Bak Pengolahan Air
Model Wadah Pemberokan Induk
Pengelolaan
induk
Pengelolaan induk
merupakan tahap awal untuk menghasilkan benih yang berkualitas baik sehingga
menentukan keberhasilan kegiatan pembenihan ikan. Mutu induk yang baik
ditunjang dengan pengelolaan yang tepat diharapkan dapat
menghasilkan benih
dengan kualitas yang baik dan jumlah yang mencukupi. Kriteria induk yang akan
digunakan, antara lain berdasarkan bentuk fisik, ukuran berat, umur, dan
kesehatan. Induk betina yang layak dipijahkan telah berumur 3 tahun dan
beratnya telah mencapai >3 kg/ekor. Sedangkan induk jantan yang siap
dipijahkan telah berumur 2 tahun dan beratnya mencapai >2 kg/ekor. Induk
yang akan dipijahkan harus sehat secara fisik, yaitu tidak terinfeksi oleh
penyakit, parasit, dan luka akibat benturan, pukulan, goresan, sayatan, dan lain-lain.
Induk jantan dan betina
dapat dipelihara bersama-sama pada satu kolam atau bisa terpisah dengan
kepadatan 2-4 ekor/m2. Induk sebaiknya dibuat dalam beberapa kelompok dan
dipelihara secara terpisah untuk dapat digunakan pada proses pemijahan secara
bergantian. Kolam pemeliharaan induk dapat berupa kolam tanah atau tembok dan
memiliki saluran pemasukan dan pengeluaran air. Manajemen induk adalah salah
satu mata rantai lain yang amat penting dalam proses produksi benih ikan patin,
selain menajemen air dan pemeliharaan larva serta benih. Jumlah indukan yang
dipelihara disesuaikan dengan skala usaha, karena harus memperhitungkan
kebutuhan jumlah dan luasan kolam indukan dan
biaya untuk pakan.
Disamping itu, perlu dihindari terjadi lonjakan jumlah induk yang matang gonad
dan siap dipijahkan harus dalam periode tertentu atau sebaliknya, sehingga
menjadi kendala dalam kontinuitas produksi atau sarana yang tersedia tidak
memadai baik jumlah dan kapasitasnya dalam produksi.
2.2.2. Pemijahan
Pemijahan adalah proses pertemuan antara ikan jantan dan
betina untuk melakukan pembuahan telur oleh spermatozoa yang terjadi diluar
tubuh atau secara eksternal. (Effendi, 1997) menyatakan bahwa pemijahan
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan ikan dalam upaya
mempertahankan kelangsungan hidup spesiesnya. Hal-hal yang perlu dilakukan pada
proses pembenihan antara lain, pengadaan induk yang meliputi karantina dan
perawatan induk. Hal itu bertujuan untuk memilih induk yang berkualitas baik.
Biasanya induk-induk yang berasal dari alam memiliki kualitas yang kurang baik
sehingga perlu dilakukan karantina dan perawatan untuk meningkatkan kualitas
induk.
Pemijahan ikan patin biasanya dilakukan dengan teknik kawin
suntik karena induk patin sulit terangsang untuk memijah bila dengan perlakuan
secara alami. Teknik pemijahan induksi (induce breeding) dengan
menyuntikkan larutan hipofisa dicampur dengan ovaprim. Biasanya, teknik ini
diikuti dengan teknik pengurutan (stripping) agar telur tidak berceceran
dan bisa ditetaskan di dalam akuarium (Heru, 2006).
Teknologi yang diterapkan dalam pembenihan patin
yaitu pemijahan buatan dan treatment air. Pemijahan buatan dilakukan karena
patin (siam, djambal, dan pasupati) dalam wadah budidaya sangat sulit untuk
melakukan pemijahan secara
alami. Pemijahan buatan dilakukan dengan 2 metode
yaitu sistem kering dan sistem basah dan di Kabupaten Kampar umumnya dilakukan
dengan sistem basah
atau kombinasi sistem basah dengan sistem kering.
Teknik metode pembuahan buatan yaitu:
a. Pembuahan sistem kering
Dalam sistem kering ini telur yang telah
dikeluarkan dan ditampung dalam wadah, kemudian dicampur dengan sperma yang
baru/langsung dikeluarkan dari induk jantan, kemudian dicampur dengan bulu ayam
selama kurang lebih 1 menit. Kemudian untuk aktifasi ditambahkan air yang kaya
oksigen sambil diaduk-aduk dengan bulu ayam. Selanjutnya dibilas dengan air
segar beberapa kali, kemudian ditetaskan.
b. Pembuahan sistem basah
Pada sistem basah ini, sebelum telur
dikeluarkan terlebih dahulu dikeluarkan
sperma dari induk jantan dan ditampung
dalam wadah dan diencerkan dengan
larutan NaCl fisiologis (larutan infus
NaCl). Larutan tersebut selain berfungsi
sebagai pengencer juga berfungsi sebagai
pengawet. Spermatozoa dapat tahan
hidup
dalam larutan tersebut selama 12 – 24 jam pada suhu 5 – 10 °C.
Proses
pemijahan ikan patin
2.2.3. Penetasan
Fertilisasi Merupakan proses masuknya
spermatozoa ke dalam telur ikan melalui lubang mikrofil yang terdapat pada chorion
dan selanjutnya akan terjadi perubahan pada telur dalam proses pembuahan. Telur
ikan dan sperma mempunyai zat kimia yang terbentuk dalam proses pembuahan. Zat
tersebut adalah gamone. Gamone yang dikeluarkan sel telur disebut
gynamone 1 dan gynamone 11 (Febriani dan Marlina , 2004). Setelah
telur dibuahi sampai dengan menetas maka akan terjadi proses embriologi (masa
pengeraman) yaitu mulai dari satu sel, dua sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel,
64 sel, 128 sel sampai pra blastula – gastula – neurola – embrio – penetasan
(Sutisna dan Sutarmanro , 2003).
Penetasan disebabkan oleh
gerakan-gerakan larva akibat peningkatan suhu, intensitas cahaya dan
pengurangan oksigen dalam cangkang (Sutisna dan Sutarmanto , 2003).
2.2.4. Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan larva pasca penetasan
telur dilakukan pada hapa penetasan telur yang dialiri air dan dilengkapi
dengan aerasi yang tidak terlalu kencang agar larva tidak teraduk. Pemeliharaan
larva dalam happa dilakukan selama 1 hari tanpa diberi pakan, karena larva pada
saat itu masih memanfaatkan kuning telur yang ada dalam tubuh larva itu
sendiri.
Larva ikan patin mulai membutuhkan
makan dari luar setelah cadangan makanannya yang berupa yolk suck telah
habis. Pada fase ini larva ikan patin bersifat kanibal (Slembrouck , et all ,
2003). Larva yang berumur 2 hari diberi pakan berupa artemia sampai berumur 7
hari kemudian dilanjutkan dengan pemberian cacing sutera hingga berumur 14 hari
(BBPBAT Sukabumi, 2003). Pada perkembangan larva membutuhkan lingkungan yang
kaya oksigen. Fluktuasi suhu yang besar perlu dihindari selama stadia larva
untuk mencegah terjadinya stress. Perubahan suhu yang besar dapat mematikan
larva.
Secara morfologi, benih telah memiliki kelengkapan organ
tubuh meskipun dalam ukuran yang sangat kecil dan berwarna agak putih. Benih
yang dipelihara belu
Pakan merupakan salah sam terlihat alat kelaminnya, sehingga
belum dapat dibedakan antara benih jantan dengan benih yang betina. Setelah
larva berumur 3 hari selanjutnya benih ditebar pada bak pemeliharaan. Benih yang
ditebar dalam kondisi sehat, hal ini dapat diketahui dari gerakannya yang
lincah dan bersifat agresif terhadap makanan
Model Bak Penetasan dan Pemeliharaan Larva
2.3. Pakan
Pakan merupakan faktor yang dapat menunjang dalam
pertumbuhan ikan, baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut.
Sedangkan pakan dibutuhkan oleh ikan sejak mulai hidup yaitu dari larva, dewasa
sampai ukuran induk.
Penggunaan pakan dalam pemeliharaan
larva berpengaruh secara dominan terhadap pertumbuhan ikan kerena pakan
berfungsi sebagai pemasok energi untuk memacu pertumbuhan dan mempertahankan
hidupnya (Huet, 1971 dalam Melianawati dan Suwirya, 2005).
Pakan yang diberikan berupa pakan buatan dengan kualitas
yang baik dan kuantitas yang mencukupi. Pakan harus memiliki kandungan protein
30 - 35%. Pemberian pakan dilakukan setiap hari sebanyak 3% bobot biomas/hari
dengan frekuensi pemberian pakan 2 - 3 kali/hari.
2.4. Kualitas
Air
Air merupakan media hidup bagi ikan
dimana di dalamnya mengandung berbagai bahan kimia lainnya, baik yang terlarut
dan dalam bentuk partikel. Kualitas air bagi perikanan didefenisikan sebagai
air yang sesuai untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhan ikan, dan biasanya
hanya ditentukan dari beberapa parameter. Unsur kualitas air yang paling berpengaruh
terhadap kehidupan ikan antara lain suhu, oksigen terlarut (DO), keasaman (pH) dan
kesadahan (Daelami, 2001).
2.5. Hama dan
Penyakit
Penyakit yang menyerang pada pemeliharaan induk Patin Siam (Pangasius
hypopthalamus) antara lain MAS (Motil Aeromonas Septicemia) yang
disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophilla. Gejala yang timbul pada
ikan yang terserang bakteri ini adalah terdapat bercak-bercak merah pada bagian
permukaan tubuh, kurangnya nafsu makan dan gerakan kurang agresif. Penyakit ini
timbul karena keadaan lingkungan yang kurang baik, nutrisi yang kurang
dan faktor genetik. Apabila kondisi induk terserang penyakit maka telur yang
dihasilkan akan kurang baik
(Sunarma, 2004).
DAFTAR
PUSTAKA
Cahyono, B. 2000. Budidaya Ikan Air
Tawar. Penerbit Kansius. Yogyakarta.
Daelami,
D.A.S. 2001. Usaha Pembenihan Ikan Air Tawar. Penebar Swadaya (Anggota IKAPI).
Jakarta. 166 hal.
Djariah, A.S. 2001. Budi Daya Ikan
Patin. Kanisius. Yogyakarta. 87 hal.
Efendi.
1997. Metode Penelitian Survey. Jakarta : PT. Pustaka LP3S Indonesia
Effendi, H., 2003 Telah Kualitas
Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan Peraiaran. Kanasius. Yogyakarta.
257 hal.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan.
Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rieka Cipta, Jakarta. 179 hal.
Hardjamulia, A.R. Djajadireja, S.
Atmawinata dan D. Idris. 1985. Pembenihan Ikan Jambal Siam (Pangasius sutchi)
dengan Suntikan Ekstrak Hipofisa Ikan Mas (Cyprinus carpio). Buletin
Penelitian Perikanan I. (2) : 183 - 190
Heckling, C.F. 1971. Fish Cultur
Feber and Faber. London 317 P.
Heru. 2006. Budidaya Ikan di
Pekarangan. Penebar Swadaya. Jakarta
Khairuman. 2007. Budidaya Patin
Super. Agro Media. Jakarta.
Melianawati, R. dan K. Suwirya.
2005. Pengaruh Dosis Pakan Terhadap Pertumbuhan Juvenil Kakap Merah (L.
argentimaculatus). Buku Perikanan Budidaya Berkelanjutan. 135-142 p.
Miswanto. 2002. Pembenihan
Ikan Mas (Cyprinus Carpo L). Laporan Magang Fakultas Perikanan
UNRI. 59 hal (tidak diterbitkan).
Mudjiman, A. 2001. Makanan Ikan. cetakan ke-15. Jakarta: PT Penebar
Swadaya. 190 hal.
Nurhasanah.1997.Petunjuk teknis
pembenihan ikan patin indonesia Pangasius djambal. IRD dan Pusat Riset
Perikanan Budidaya Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Karya Pratama. Jakarta.
Rustidja.
2004. Pembenihan Ikan-Ikan Tropis, Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya.
Malang.
Sarwisman. 2002. Pembenihan
Ikan Jambal Siam. Laporan Magang Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNRI. 52
hal (tidak diterbitkan).
Slembrouck,
Stef . 2003. Explanation, Interperation and Critique in the Analysis Of
Discourse. Critique of Anthropology, 21:33-57
Subandiyah,
Yogyakarta: Faculty of Agriculture GMU, 1990 8 hal.
Sumandinata, K. 1983.
Pengembangbiakan Ikan-Ikan Peliharaan di Indondesia. PT. Sastra Hudaya. Bogor.
Sunarma, A. 2004. Teknik
Pembenihan Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus). BBPBAT.
Sukabumi.
Susanto, H. dan Khairul Amri. 2002.
Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta.90 hal
. 2001. Budidaya Ikan Patin,
Jakarta: Penebar Swadaya
Sutisna
P.H. dan Sutarmanto. 2003. Pengembangbiakan Ikan-Ikan Pemeliharaan di
Indonesia.
Umri, 2005. Pendederan Benih Ikan Jambal Siam
(Pangasius pangasius) Dengan Sistem Resirkulasi Filter Sphon. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Riau. Pekanbaru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar