Rabu, 30 Oktober 2013







PENGAMATAN PARAMETER KUALITAS AIR PADA AKUARIUM
(Laporan Praktikum Menejemen Kualitas Air)













Oleh
Widi Indra Kesuma
1114111058
(Kelompok 8)





















JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013



I.                   PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Kualitas air merupakan salah satu mata kuliah yang sangat penting untuk dipelajari karena ini akan berlangsung  dalam proses budidaya kedepannya, berbicara tentang kualitas air tentu tidak terlepas dari tiga aspek penting yaitu: aspek fisika, aspek kimia, dan aspek biologi ketiga aspek ini sangat menunjang kedepannya dalam keberhasilan budidaya tentu ketiga aspek penting ini harus betul-betul dipahami dan dimengerti oleh setiap orang budidaya oleh karena itu maka dilakukanlah praktikum manajemen kualitas air yang berlangsung selama 14 hari dengan pengamatan dilapangan maupun di laboratorium.

Studi perkuliahan merupakan hal yang sangat penting dalam ilmu perikanan terutama dalam praktikum lapangan maupun laboratorium yang dimana hampir semua kegiatan tidak terlepas dari  kondisi lingkungan dengan kehidupan suatu organisme-organisme di perairan, kehidupan sehari-hari yang sering kita jumpai adalah permasalan kualitas air manusia membutuhkan air yang bersih, sehat, dan terjamin begitupula dengan organisme sangat membutuhkan air yang bebas dari pencemaran lingkungan, industry rumah tangga, dan zat-zat kimia lainnya yang dapat mengganggu kehidupannya apalagi kita ketahui habitat organisme itu sendiri memang diperairan.

Adapun praktikum kualitas air kali ini berlokasi di akuariukm yang bertempat dalam laboratorium perikanan, hal ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui kondisi perairan akuarium yang bagus digunakan, apakah kondisi akuarium layak sebagai media budidaya atau tidak. Seperti kita ketahui bersama bahwa kondisi perairan sangat mempengaruhi keberhasilan budidaya.

Jadi dari uraian latar belakang diatas maka mahasiswa perikanan jurusan budidaya perairan perlu melakukan praktikum lapangan serta laboratorium, dengan melakukan pengukuran terhadapat kualitas air budidaya perikanan.

Adapun pengukuran yang akan dilakukan yaitu ada beberapa parameter baik parameter fisika, kimia, dan biologi.

B.       Tujuan
Tujuan dilaksanakannya praktikum Manajemen Kualitas Air ini adalah untuk mengetahui parameter kualitas air baik secara fisika, kimia dan biologi berdasarkan pola diurnal serta jumlah dan jenis organisme didalamya dan juga menentukan kesuburan perairan pada jenis akuarium yang berbeda.























II.                TINJAUAN PUSTAKA


A.      Kualitas Air
Didalam manajemen kualitas air adalah merupakan suatu upaya memanipulasi kondisi lingkungan sehingga mereka berada dalam kisaran yang sesuai untuk kehidupan dan pertumbuhan ikan. Di dalam usaha perikanan, diperlukan untuk mencegah aktivitas manusia yang mempunyai pengaruh merugikan terhadap kualitas air dan produksi ikan (Widjanarko, 2005).

Kualitas Air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau kecocokan air untuk penggunaan tertentu, misalnya: air minum, perikanan, pengairan/irigasi, industri, rekreasi dan sebagainya. Peduli kualitas air adalah mengetahui kondisi air untuk menjamin keamanan dan kelestarian dalam penggunaannya. Kualitas air dapat diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air tersebut. Pengujian yang biasa dilakukan adalah uji kimia, fisik, biologi, atau uji kenampakan (bau dan warna) (ICRF,2010).

Kualitas air yaitu sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat energi atau komponen lain di dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter yaitu parameter fisika (suhu, kekeruhan, padatan terlarut dan sebagainya), parameter kimia (pH, oksigen terlarut, BOD, kadar logam dan sebagainya), dan parameter biologi (keberadaan plankton, bakteri, dan sebagainya) (Effendi, 2003).

Pengukuran kualitas air dapat dilakukan dengan dua cara, yang pertama adalah pengukuran kualitas air dengan parameter fisika dan kimia (suhu, O2 terlarut, CO2 bebas, pH, konduktivitas, kecerahan, alkalinitas ), sedangkan yang kedua adalah pengukuran kualitas air dengan parameter biologi (plankton dan benthos) (Sihotang, 2006).

Dalam pengukuran kualitas air secara umum, menggunakan metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan dengaan memperhatikan berbagai pertimbangan kondisi serta keadaan daerah pengamatan (Fajri, 2013).

Lima syarat utama kualitas air bagi kehidupan ikan adalah (O-fish, 2009):
1.         Rendah kadar amonia dan nitrit
2.         Bersih secara kimiawi
3.         Memiliki pH, kesadahan, dan temperatur yang sesuai.
4.         Rendah kadar cemaran organik, dan,
5.         Stabil

B.       Ph
PH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air, besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. Besaran pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH =7 disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005 ).

Derajat keasaman atau pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air. Besaran pH dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. Besaran pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang asam sedangkan nilai pH di atas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH =7 disebut sebagai netral (Effendy, 2003).

PH air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak efektifnya pemupukan air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti NH3 dan H2S. pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan memiliki pola hubungan terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung garam CaCO3 (Cholik et al., 2005 ).

Derajat keasaman (pH) adalah suatu ukuran dari konsentrasi ion H+ dan menunjukkan suasana air tersebut apakah dalam keadaan asam atau basa. Secara alamiah oH- perairan dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan senyawa-senyawa bersifat asam (Hasibuan, 2001 ).

Perubahan pH berkaitan dengan kandungan oksigen dan karbondioksida dalam air. Pada siang hari jika oksigen naik akibat fotosintesa fitoplankton, maka pH juga naik. Pada pagi jika pH kurang dari 7, hal ini menunjukan bahwa tambak atau kolam banyak mengandung bahan organik. Kestabilan pH perlu dipertahankan karena pH dapat mempengaruhi pertumbuhan organisme air, mempengaruhi ketersediaan unsur P dalam air dan mempengaruhi daya racun amoniak dan H2S dalam air (Subarijanti, 2005).

C.      Suhu
Hardjojo dan Djokosetiyanto ( 2005 ) menyatakan bahwa suhu air normal adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan metabolisme dan berkembangbiak. Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di air, karena bersama- sama dengan zat/unsur yang terkandung didalamnya akan menentukan massa jenis air, dan bersama-sama dengan tekanan dapat digunakan untuk menentukan densitas air. Selanjutnya, densitas air dapat digunakan untuk menentukan kejenuhan air. Suhu air sangat bergantung pada tempat dimana air tersebut berada. Kenaikan suhu air di badan air penerima, saluran air, sungai, danau dan lain sebagainya akan menimbulkan akibat sebagai berikut: 1) Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun; 2) Kecepatan reaksi kimia meningkat; 3) Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, maka akan menyebabkan ikan dan hewan air lainnya mati. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton.

Suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan  kesehatan untuk jangka panjang, misalnya stres yang ditandai dengan tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal. Pada suhu rendah, akibat yang ditimbulkan antara lain ikan menjadi lebih rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya sistem imun. Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah menyebabkan menurunnya laju pernafasan dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen (Irianto, 2005).

Pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggihan geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Di samping itu pola temperatur perairan dapat di pengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor yang di akibatkan oleh aktivitas manusia) seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan DAS yang menyebabkan hilangnya perlindungan, sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung (Barus, 2003).

D.      Dixolved Oksigen (DO)
Oksigen adalah unsur fital yang di perlukan oleh semua organisme untuk respirasi dan sebagai zat pembakar dalam proses metabolisme. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara, dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui kegiatan respirasi dari semua organisme (Barus, 2003).

Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke dalam air (Effendi, 2003).

Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen / DO) Kandungan oksigen terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 – 8 mg/l (Mayunar et al., 1995 ; Akbar, 2001 ). Oksigen dapat merupakan faktor pembatas dalam penentuan kehadiran makhluk hidup di dalam air. Penentuan oksigen terlarut harus dilakukan berkali-kali di berbagai lokasi dengan tingkat kedalaman yang berbeda pada waktu yang tidak sama (Sastrawijaya, 2000 ). Oksigen terlarut adalah jumlah gas oksigen yang terlarut dalam air yang berasal dari hasil fotosintesa oleh fitoplankton atau tanaman air lainnya atau difusi dari udara (Penuntun Pratikum Ekologi Perairan, 2011 ).

E.       Bobot
Bobot merupakan suatu perpaduan antara panjang dan berat pada ikan yang dinyatakan pada satuan yang dapat diukur. Pengukuran berat dari berbagai penimbangan ikan yang paling tepat adalah dengan menggunakan timbangan duduk dan timbangan gantung, adapan keuntungan yang dimiliki dari kedua timbangan ini adalah bekerjanya lebih teliti, pengaruh dari luar seperti angin dapat dikurangi, serta pendugaan pertama terhadap berat ikan yang ditimbang tidak perlu dilakukan, karena secara langsung dapat menunjukkan beratnya. (Abdul, 1985)

F.       Amoniak
Amonia (NH3-N) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Terdapat dua bentuk amonia di perairan, yaitu amonium yang dapat terionisasi (NH4+) dan amonia bebas yang tidak dapat terionisasi (NH3). Amonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi (unionized) bersifat toksik bagi organisme akuatik. Kesetimbangan reaksi kimia antara keduanya tergantung pada kondisi pH (keasaman dan alkalinitas) serta temperatur (Lloyd 1992).
NH4+ + OH- ↔ NH3 + H2O

Amonia di perairan bersumber dari hasil metabolisme organisme akuatik dan dekomposisi bahan organik oleh bakteri (Boyd 1989). Selain itu, amonia dapat berasal dari nitrogen organik yang masuk ke perairan (urea), respirasi bakteri, organisme mati, dan sel yang pecah (Painter 1970 in Novotny & Olem 1994). Meskipun amonia bersumber dari hasil ekskresi hewan akuatik, namun proporsinya terhitung kecil jika dibandingkan dengan pembentukan amonia dari dekomposisi oleh bakteri (Wetzel 2001).

G.      Kepadatan
Padat penebaran ikan adalah jumlah ikan yang ditebar persatuan luas atau volume kolam atau wadah pemeliharaan (Hepher dan Pruginin, 1981). Pada kondisi padat penebaran ikan makin tinggi, oksigen terlarut makin berkurang Stickney, 1979; Sarah, 2002), begitu pula dengan ketersediaan pakan sedangkan akumulasi bahan buangan metabolik ikan akan makin tinggi. Jika faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan, maka peningkatan padat penebaran dapat dilakukan tanpa menurunkan laju pertumbuhan ikan (Hepher dan Pruginin, 1981).

Padat penebaran ikan adalah jumlah ikan per satuan volume air. Padat penebaran erat sekali hubungannya dengan produksi dan pertumbuhan ikan (Hickling, 1971). Padat penebaran ikan yang terlalu tinggi dapat menurunkan mutu air, pertumbuhan ikan yang lambat, tingkat kelangsungan hidup ikan yang rendah serta tingkat keragaman ukuran ikan yang tinggi. Padat penebaran yang rendah dalam kegiatan budidaya dapat mengakibatkan produksi rendah (Slembrouck et al., 2005).

Wedemeyer (1996) menyatakan bahwa peningkatan padat penebaran akan mengganggu proses fisiologi dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatan dan fisiologis sehingga pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup mengalami penurunan. Respon stres terjadi dalam tiga tahap yaitu tanda adanya stres, bertahan, dan kelelahan. Ketika ada stres dari luar ikan mulai mengeluarkan energinya untuk bertahan dari stres. Selama proses bertahan ini pertumbuhan menurun. Stres meningkat cepat ketika batas daya tahan ikan telah tercapai atau terlewati. Dampak stres ini mengakibatkan daya tahan tubuh ikan menurun dan selanjutnya terjadi kematian. Gejala ikan sebelum mati yaitu warna tubuh menghitam, gerakan tidak berorientasi, dan mengeluarkan lendir pada permukaan kulitnya.






























III.             METODELOGI


A.      Waktu dan Tempat
Praktikum  manajemen kualitas air ini dilaksanakan setiap hari selama 14 hari, 22 Mei-05 Juni 2013. Bertempat di laboratorium perikanan Universitas Lampung.

B.       Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:
·         Akuarium
·         Aerator
·         Heater
·         Filter
·         DO meter
·         pH
·         thermometer
·         tetra kit
·         timbangan
·         tabung reaksi
·         spektrofotometer
·         ikan gurame
·         pakan

C.      Cara Kerja
Adapun cara kerja yang dilakukan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
1.     Persiapan akuarium dan ikan
a.       Akuarium
·         Menyiapkan akuarium sebanyak 9 buah
·         Meletakkan akuarium pada kondisi yang samam diruang tertutup
·         Mengisi air dengan volume air 5 cm dari atas akuarium
·         Membagi akuarium sebanyak tiga Kelompok
o   Menggunakan aerasi
o   Menggunakan filter
o   Menggunakan filter dan heater
b.      Ikan
·         Menghitung jumlah ikan yang akan digunakan disesuaikan dengan volume akuarium
·         Volume ikan dibagi menjadi tiga Kelompok
o   Kepadatan 25/m
o   Kepadatan 50/m
o   Kepadatan 100/m
·         Menyiapkan ikan dengan jenis, umur, dan ukuran yang seragam
·         Menempatkan ikan yang akan digunakan pada satu bak selama 3 hari (diberi pakan dan disifon)
·         Memasukkan ikan kedalam akuarium yang sudah diberi label sesuai Kelompok
c.       Pemeliharaan ikan
·         Dilakukan selama 14 hari
·         Pemberian pakan 3% dari rata-rata bobot ikan sebanyak 3x sehari
d.      Pengamtan Kualitas Air
Parameter yang akan diamati:
o   DO (setiap hari)
o   pH (setiap Hari)
o   suhu (setiap hari)
o   Amoniak (3 sehari sekali)
o   Biomassa (3 hari sekali)
o   SR (akhir praktikum)







IV.             HASIL DAN PEMBAHASAN


A.      Hasil Pengamatan

Suhu
No
Perlakuan
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
1
27
28
28
29
29
29
36
31
34
2
27.5
27
27,5
30
29.5
29
29
34.5
34
3
27.5
27.5
27,5
30.6
29.5
29.5
34.5
34.5
34
4
27.5
28
30
30.5
30
29.5
32.5
34.5
34.5
5
27
26.5
27
28.5
29.5
29.5
32
33
34
6
27
28
26,5
27.5
29.5
29
32.5
32
-
7
26
27
25,5
28.5
29
28.5
35
34
35
8
25
26
25,5
27.5
29.5
28
36
34
34
9
25
27
26
26.5
28.5
29.5
33
34
33.5
10
25
28
26
30.5
30
29
35
34
34
11

26
27
27
29
29.5
34
33.5
35
12

27.5
26

28.5

32.5
35
34.5
13

27


29

35
33.5
34.5
14






34

34

pH
No
Perlakuan
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
1
6
6
6
6
6
6
6
6
6
2
6
6
6
6
6
6,5
6
6
6
3
6
6
6
6
6
6
6
6
6
4
6
6
7
6
6
6
6
6
6
5
6
6
7
6
6
6,5
6
6
6
6
6
6
7
6
6
6
6
6
6
7
6
6
7
6
6
5,5
6
6,5
6
8
6
6
7
6
6,5
5,5
6
6
6
9
6
6

6
6
6
6
6
6
10
6
6
7
6
6,5
5,5
5,25
5,5
5,5
11

6

6
6
5,5

6
6
12

6


6

6

6
13

7


6



6
14










DO
No
Perlakuan
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
1





5.33



2
5.5

8.48
5.65
5.35
5.57

5.4
5.77
3
5.2
6.75
5.46
5.77
5.25
5.6
6.27
5.32
5.42
4
5.3
5.54
5.46
5.08
5.65
6.6
8.09
5.26
5.33
5
8.2
5.4
4.77
3.37
5.36
5.4
4.72
5.16
5.81
6
7.7
4.84
7.91
4.29
5.18
8.49
7.84
6.74
5.73
7
8,75
5.3
8.67
3.98
9.41
8.92
9.53
8.86
7.93
8
9.3
7.23
9.5
6.16
10.55
8.87
9.87
9.88
10.35
9
8.4
9.83
9.77
7.26
9.02
8.78
7.48
7.86
9.24
10

9.04
8.24
5.42
8.98
8.77
9.06
9.57
9.25
11

8.78
9
3.73
8.84

9.63
7.25
7.78
12

9.75
18.33

10.68

10.73
7.96
9.82
13

9.51
9.72



10.42
9.42
8.37
14

10.4








Biomassa
No
Perlakuan
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
1
0.87
2.5
0.4
3
4.3
2.54
5.3
5.3
2
2
5
4.2
0.52
3
5.5
4.63
5.67
5.12
6.7
3

3
8
2
3
7.5
6
4.94
3
4





6


4
5










Ammonia
No
Perlakuan
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
1
0.5
0.13
0.127
0.123
0.045
0.128
0.151
0.017
0.142
2

0.83
0.52
0.081
0.031
0.107
0.95
0.0124
0.074
3

0.85
0.7
0.98
0.026
0.085
 0.083
0.018
0.089
4









5










B.       Pembahasan
1.      Perbandingan Parameter Kualitas Air
a.      pH
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa pH dalam kolam normal permanent ini cukup normal bagi kegiatan budidaya, yaitu 6. Besarnya pH kolam ini dipengaruhi oleh banyaknya CO2 yang terlarut di perairan tersebut. Kordi K. dan Tancung (2007) mengatakan bahwa semakin banyak CO2 yang dihasilkan dari hasil respirasi, reaksi bergerak ke kanan dan secara bertahap melepaskan ion H+ yang menyebabkan pH air turun. Reaksi sebaliknya terjadi dengan aktivitas fotosintesis yang membutuhkan banyak ion CO2, menyebabkan pH air naik.

Nilai pH mempngaruhui kandungan amoniak yang terlarut dalam perairan. Menurut Boyd, 1990 dalam Syawal et al., 2008  dengan meningkatnya pH maka kadar amoniak juga meningkat. Dri nialai rata – rata pH pada masing – masing perlakuan, adalah pH yang sesuai untuk dilakukannya pengamatan pH tersebut berkisar antara 6 sampai mendekati 8. Menurut cahyono (2001), kualitas air pada media untuk budi daya ikan seperti PH air yang harus berada pada kisaran 6-8. Kelompok ikan ini tidak dapat mentolerir pH air dibawah 5 dan diatas 10 .
Adapun dari hasil pengukuran pH menunjukan nilai pH berkisar 6,0 – 7,0 hal ini menunjukan pH perairan masih dalam kondisi stabil atau netral. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Boyd, 1982 ; Nybakken, 1992 )  pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 6,7 – 8,4. pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya.

Jika pH rendah (keasaman tinggi) akan menyebabkan penurunan oksigen terlarut, konsumsi oksigen menurun, peningkatan aktivitas pernapasan, dan penurunan selera makan. Rentang toleransi pH : 6.5 –9.0. pH optimal: 7.0 –8.5 Fotosintesis (siang hari) menggunakan CO2 dan respirasi (siang –malam) menghasilkan CO2 dan apabila CO2 terlarut tinggi pada malam hari maka pH cenderung rendah.

Semakin banyak CO2 yang dihasilkan dari respirasi, makan reaksi akan bergerak ke kanan dan  pelepasan ion H+ sehingga pH air turun (cenderung asam). Sedangkan Penurunan/penggunaan CO2 dalam fotosintesis oleh fitoplankton maka pH air naik (cenderung basa).

Jadi kesimpulannya adalah semakin rendah pH (keasaman tinggi) maka akan menyebabkan penurunan oksigen terlarut dalam air. apabila CO2 terlarut tinggi pada maka pH cenderung rendah dan kandungan oksigen juga rendah.

b.      Suhu
Pengukuran suhu, dari hasil pengukuran yang telah dilakukan suhu perairan mengalami fluktuasi mulai dari suhu terendah 25o C sampai dengan suhu tertinggi yaitu 35o C. Nontji ( 1979 ) menyatakan bahwa suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi yakni curah hujan, penguapan , kelembapan udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intesitas radiasi matahari. Oleh sebab itu suhu di permukaan biasanya mengikuti pada musiman. Suhu perairan biasanya akan meningkat apabila intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan dalam jumlah yang besar. Pernyataan ini didukung oleh Dahuri et el ( 1996 ) suhu perairan dipengaruhi oleh radiasi dan posisi matahari , letak geografis, musim, kondisi awan, proses interaksi air dengan udara seperti kenaikan panas, penguapan, dan hembusan angin. Pola temparatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Di samping itu pola temperatur perairan dapat di pengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor yang di akibatkan oleh aktivitas manusia) seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan DAS yang menyebabkan hilangnya perlindungan, sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.

Tetapi dalam praktikum ini yaitu pada akuarium dalam ruang yang berarati tidak ada factor dari luar yang mempengaruhi suhu. Suhu tersebut terjadi karena suhu air dalam ruangan tersebut dan juga karena pemasangan heater.
Temperatur yang tinggi mengakibatkan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan temperatur juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O2, CO2, N2, CH4 (Hamzah, 2003). Selain itu, meningkatan kecepatan metabolism dan respirasi organisme air serta meningkatnya konsumsi oksigen dalam perairan. Peningkatan temperatur juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organic oleh mikroba.

Menurut Chua dan Teng (1978), kualitas perairan yang optimal untuk pertumbuhan ikan , seperti temperatur berkisar 24-31oC. Sementara itu, Suprakto dan Fahlivi (2007), mengatakan temperatur air pada lokasi budidaya, berkisar 27-29C.

Suhu berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan, mulai dari telur, benih sampai ukuran dewasa. Rentang toleransi serta suhu optimum tempat pemeliharaan ikan berbeda untuk setiap jenis/spesies ikan, hingga stadia pertumbuhan yang berbeda. Suhu memberikan dampak sebagai berikut terhadap ikan :
a)    Suhu dapat mempengaruhi aktivitas makan ikan peningkatan suhu
b)    Peningkatan aktivitas metabolisme ikan
c)    Penurunan gas (oksigen) terlarut
d)    Efek pada proses reproduksi ikan
e)    Suhu ekstrim bisa menyebabkan kematian ikan. (Anonim, 2009. SITH ITB)

c.       DO
Oksigen  terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari fotosintesa dan absorbsi atmosfer/udara. Oksigen terlarut di suatu perairan sangat berperan dalam keberlangsungan hidup suatu organisme perairan.

Seperti yang diungkapkan dalam Effendie (2003), bahwa peningkatan suhu perairan C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen°sebesar 10 akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi.

Pada praktikum ini, oksigen sepenuhnya berasal dari aerator dan air yang berdifusi dengan udara lewan air yang jatuh dari aerator. Sehingga dari hal tersebut oksigen yang masuk dapat dikontrol dengan baik.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Barus (2002), bahwa sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak langsung dengan air dan dari proses fotosintesis selanjutnya DO berkurang melalui aktifitas respirasi yang dilakukan oleh organisme perairan. Menurut Effendi (2003) bahwa pada perairan tawar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/L pada suhu 00C dan 18 mg/L pada suhu 250C, kadar oksigen pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/L

Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke dalam air (Effendi, 2003).

Hubungan antara suhu dengan oksigen terlarut yaitu Peningkatan temperatur sebesar 1oC akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10% (Boyd, 1988). Dekomposisi bahan organic dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob).

Hubungan antara kadar oksigen terlarut jenuh dan temperatur menggambarkan bahwa semakin tinggi temperatur, kelarutan oksigen semakin berkurang. Daya larut oksigen dalam air pada temperatur 25o C berbeda.




2.      Pengaruh Parameter Kualitas Air terhadap SR

Dari hasil pengamatan tersebut nilai SR pada masing – masing perlakuan berbeda . untuk kontro SR dari minngu 1 sekitar 63% sedangkan untuk minngu ke 2 adalah sekitar 90%. Nilai tersebut berbeda – beda karena terdapat faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal di antaranya seperti umur, daya tahan tubuh ikan, gen, dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan di mana spesies itu berada yaitu seperti adanya virus, bakteri yang menyebabkan kematian pada ikan tersebut, suhu, pH, DO, dan lain-lain.

Tingkat kelangsungan hidup ikan adalah nilai persentase jumlah yang hidup selama masa pemeliharaan tertentu. Padat penebaran ikan yang tinggi dapat mempengaruhi lingkungan budidaya dan interaksi ikan. Penyakit dan kekurangan oksigen akan mengurangi jumlah ikan secara drastis, terutama ikan yang berukuran kecil (Hepher dan Pruginin, 1981). Tingkat kelangsungan hidup ikan akan menentukan produksi yang akan diperoleh.

Hepher dan Pruginin (1981) menyatakan bahwa hasil panen persatuan luas (yield) merupakan fungsi dari laju pertumbuhan ikan dan tingkat padat penebaran ikan. Peningkatan padat tebar dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan ikan, tetapi selama penurunannya tidak terlalu besar dibandingkan peningkatan padat tebar maka produksi akan tetap meningkat. Ketika penurunan pertumbuhan yang terjadi semakin besar maka penurunan produksi akan terjadi hingga mencapai tingkat pertumbuhan nol. Ini berarti bahwa hasil ikan yang ditebar telah mencapai nilai carrying capacity atau daya dukung maksimum wadah budidaya.

Peningkatan padat penebaran ikan tanpa disertai dengan peningkatan jumlah pakan yang diberikan dan kualitas air terkontrol akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ikan (critical standing crop) dan jika telah sampai pada batas tertentu (carrying capacity) maka pertumbuhannya akan berhenti sama sekali (Hepher dan Pruginin, 1981).

Wedemeyer (1996) menyatakan bahwa peningkatan padat penebaran akan mengganggu proses fisiologi dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatan dan fisiologis sehingga pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup mengalami penurunan. Respon stres terjadi dalam tiga tahap yaitu tanda adanya stres, bertahan, dan kelelahan. Ketika ada stres dari luar ikan mulai mengeluarkan energinya untuk bertahan dari stres. Selama proses bertahan ini pertumbuhan menurun. Stres meningkat cepat ketika batas daya tahan ikan telah tercapai atau terlewati. Dampak stres ini mengakibatkan daya tahan tubuh ikan menurun dan selanjutnya terjadi kematian. Gejala ikan sebelum mati yaitu warna tubuh menghitam, gerakan tidak berorientasi, dan mengeluarkan lendir pada permukaan kulitnya.

Faktor yang mempengaruhi stres adalah kondisi kualitas air, khususnya oksigen dan amoniak. Kandungan oksigen yang rendah dapat menurunkan tingkat konsumsi pakan ikan (nafsu makan), karena oksigen sangat dibutuhkan untuk respirasi, proses metabolisme di dalam tubuh, aktivitas pergerakan dan aktivitas pengelolaan makanan. Menurunnya nafsu makan ikan dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan. Selain itu, konsentrasi amoniak hasil metabolisme yang meningkat pada media pemeliharaan juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan karena menurunkan konsumsi oksigen akibat kerusakan pada insang, penggunaan energi yang lebih akibat stres yang ditimbulkan, dan mengganggu proses pengikatan oksigen dalam darah (Boyd, 1990) yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.

3.      Pengaruh Parameter Kualitas Air terhadap Amoniak
pH dan suhu
Komposisi amonia di perairan bergantung pada parameter pH dan suhu. Proporsi amonia yang tidak terionisasi (NH3) lebih besar dibandingkan dengan amonium (NH4+) saat pH meningkat (Boyd 1989). Peningkatan suhu perairan juga berperan serta meningkatkan proporsi NH3, tetapi pengaruhnya lebih rendah dibandingkan pengaruh pH (Llyod 1992).

Nilai pH mempngaruhui kandungan amoniak yang terlarut dalam perairan. Menurut Boyd, 1990 dalam Syawal et al., 2008  dengan meningkatnya pH maka kadar amoniak juga meningkat.

Oksigen terlarut (O2)
Keberadaan oksigen terlarut juga mempengaruhi keberadaan amonia di perairan. Konsentrasi amonia lebih besar pada kedalaman perairan yang lebih dalam. Hal ini terjadi berkaitan dengan konsentrasi oksigen terlarut yang berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman, sehingga proses oksidasi amonia atau proses dekomposisi bahan organik akan terhambat dan mengakibatkan akumulasi amonia (Simarmata 2007).

Berdasarkan hasil penelitian Amalia (2010), perairan yang memiliki kesuburan eutrofik ditandai dengan terjadinya penurunan kecerahan, meningkatnya tanaman air, dan munculnya kondisi oksigen terlarut yang sangat rendah bahkan mencapai nol di daerah hipolimnion (Suryono et al. 2006 in Amalia 2010). Aerasi hipolimnion yang dilakukan oleh Nursandi (2011) mampu meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Akan tetapi, distribusinya tergantung dari jaraknya dari titik outlet aerasi. Semakin dekat dengan titik outlet aerasi, konsentrasi oksigen terlarut di perairan akan semakin tinggi.

Bahan organik
Jumlah bahan organik yang masuk ke perairan turut mempengaruhi keberadaan amonia. Peningkatan sisa pakan yang jatuh ke dasar akuarium, akan berpotensi meningkatkan konsentrasi amonia. Hal ini dapat diketahui dengan mengukur nilai COD (Chemical Oxygen Demand), yaitu jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) (Boyd 1979).

Keberadaan bahan organik dapat diindikasikan melalui kekeruhan perairan. Kekeruhan  meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Kekeruhan yang tinggi diakibatkan oleh partikel-partikel tersuspensi yang masuk ke dalam perairan. Partikel tersebut memiliki massa jenis yang lebih besar dari air, sehingga akan menuju kolom air yang lebih dalam dan mengendap di dasar perairan.

Tingginya kandungan bahan organik di lapisan kompensasi tanpa disertai keberadaan oksigen terlarut mampu memicu proses dekomposisi bahan organik secara anaerob menghasilkan bahan toksik. Kandungan bahan organik di perairan dapat dikurangi dengan menerapkan aerasi pada lapisan hipolimnion seperti yang terjadi pada Situ Bojongsari (Hartoto 1995). Penurunan konsentrasi COD mengindikasikan telah terjadinya proses perombakan bahan organik secara aerob oleh mikroba dekomposer akibat peningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Uhlmann 1977 in Sudaryanti 1991).

Nitrit (NO2-N)
Keberadaan nitrit di perairan sangat sedikit dibandingkan nitrat. Nitrit bersifat tidak stabil, berkaitan dengan keberadaan oksigen. Nitrit mudah dioksidasi menjadi nitrat saat kondisi aerob. Pada air limbah, konsentrasi nitrit jarang melebihi 1,0 mg/l dan pada perairan alami jarang melebihi 0,1 mg/l (Irfim et al. 2008).

Berdasarkan hasil penelitian Amalia (2010), konsentrasi nitrit pada sebesar 0,032 mg/l pada lapisan permukaan dan 0,021 mg/l pada lapisan kompensasi (4,3-7,4 m). Konsentrasi nitrit meningkat pada lapisan hipolimnion yang anaerob serta pada perairan yang menerima beban pencemaran bahan organik berat (Brezonik & Lee 1968; Overbeck 1968 in Wetzel 2001). Konsentrasi nitrit umumnya rendah pada kondisi perairan yang teroksigenasi, maksimum sebesar 10 μg/L pada bagian atas hipolimnion (Mortonson & Brooks 1980 in Wetzel 2001).



Nitrat (NO3-N)

Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi fotosintesis oleh organisme autotrof di perairan. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar amonium. Kadar nitrat di perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Kadar nitrat yang lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Konsentrasi nitrat akan mengalami penurunan sejalan dengan bertambahnya kedalaman, karena tidak tersedianya oksigen terlarut di dasar perairan yang menyebabkan nitrifikasi tidak berjalan dengan baik (Simarmata 2007).

Toksisitas amonia meningkat pada saat kelarutan oksigen rendah dan pengaruh racunnya menurun ketika terjadi peningkatan konsentrasi CO2, sehingga amonia jarang dijumpai pada perairan dengan kelarutan oksigen yang cukup.

Amonia bersifat toksik bagi biota perairan karena mengganggu proses pengikatan
oksigen oleh darah. Konsentrasi amonia yang bersifat toksik bagi sebagian besar biota perairan berkisar antara 0,60 – 2,00 mg/l (The Europen Inland Fisheries Advisory Commission, 1973). Ammonia yang tidak terionisasi bersifat akut pada organisme perairan dan tingkat keracunannya sangat tergantung pada salinitas, suhu dan pH, sementara nitrat dan nitrit secara signifikan tidak bersifat toksik bagi
ikan, tetapi sebagai penyebab terjadinya blooming alga di perairan (Handy dan Poxton, 1993). Amonia hasil pengukuran yang dilakukan di perairan teluk berkisar antara 0,019 – 0,288 mg/l. Berdasarkan literatur sebelumnya, maka dapat
dikatakan bahwa kandungan ammonia di perairan Teluk Pelabuhan Ratu tidak bersifat toksik bagi organisme yang akan dipelihara di dalam keramba apung.

Menurut Colt dan Amstrong (1979) bahwa begitu kadar amonia meningkat dalam air, maka ekskresi ammonia oleh ikan akan menurun dan kadar ammonia dalam darah dan jaringan meningkat. Hasilnya adalah meningkatnya pH darah dan berpengaruh buruk terhadap reaksi katalis enzim dan stabilitas membran. Ammonia juga meningkatkan konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Perubahan histology terjadi di dalam ginjal, empedu, kelenjar thyroid dan darah ikan yang terkena konsentrasi sublethal ammonia.

4.      Pengaruh Kepadatan terhadap Amoniak

Padat penebaran ikan adalah jumlah ikan yang ditebar persatuan luas atau volume kolam atau wadah pemeliharaan (Hepher dan Pruginin, 1981). Pada kondisi padat penebaran ikan makin tinggi, oksigen terlarut makin berkurang (Stickney, 1979; Sarah, 2002), begitu pula dengan ketersediaan pakan sedangkan akumulasi bahan buangan metabolik ikan akan makin tinggi. Jika faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan, maka peningkatan padat penebaran dapat dilakukan tanpa menurunkan laju pertumbuhan ikan (Hepher dan Pruginin, 1981).

Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa meningkatnya kebutuhan oksigen seiring dengan peningkatan padat penebaran dan ukuran ikan, akibatnya jumlah kelarutan oksigen dalam media pemeliharaan semakin berkurang karena oksigen dimanfaatkan ikan untuk respirasi dan juga untuk metabolisme. Pada Tabel , dapat dilihat bahwa terjadi penurunan konsentrasi oksigen terlarut akibat dari peningkatan padat penebaran. Menurut Stickney (1979), suplai oksigen di wadah produksi akuakultur sebaiknya berbanding lurus dengan padat penebaran ikan dan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan. Oksigen yang semakin berkurang dapat ditingkatkan dengan pergantian air dan aerasi (Goddard, 1996).

Ikan memerlukan oksigen terlarut yang cukup bagi kehidupannya. Kandungan oksigen yang rendah menyebabkan nafsu makan menurun, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ikan. Kisaran nilai optimum oksigen terlarut bagi pertumbuhan ikan menurut Boyd (1982) adalah di atas 5 ppm. Meskipun demikian kandungan oksigen terlarut 4,21-5,43 ppm masih dapat memberikan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang baik bagi benih ikan gurame dengan bobot individu sekitar 10 mg atau berumur 10 hari (Affiati dan Lim, 1986).

Laju oksidasi, laju oksidasi nitrit dan laju nitrifikasi juga meningkat dengan meningkatnya padat penebaran yang secara tidak langsung berkaitan dengan meningkatnya buangan metabolit dan sisa pakan di dalam sistem budidaya. Dekomposisi metabolit dan sisa pakan yang meningkat akan meningkatkan konsentrasi amoniak di dalam sistem, sehingga mendorong meningkatnya laju oksidasi amoniak, laju oksidasi nitrit dan laju nitrifikasi. Kandungan amonia antara 0,0-0,12 ppm masih menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang baik bagi benih ikan gurame (Affiati dan Lim, 1986).

Bardach et al. (1972) menambahkan bahwa padat penebaran juga akan mempengaruhi keagresifan ikan. Ikan yang dipelihara dalam padat penebaran yang rendah lebih agresif dibanding yang dipelihara dalam padat penebaran lebih tinggi. Ikan yang dipelihara dalam padat penebaran yang tinggi akan lambat pertumbuhannya karena tingginya tingkat kompetisi dan banyaknya sisa-sisa metabolisme yang tertimbun di dalam air.

5.      Permasalahan dalam Praktikum ini.
Pada praktikum ini terdapat beberapa permasalahan yaitu menurunnya kualitas air akibat buangan metabolisme dan sisa pakan ikan. Hal ini dapat menurunkan kualitas air dengan cepat karena menyebabkan menurunnya pH dan oksigen terlarut, meningkatnya amoniak karbondioksida, dan kekeruhan pada air, dan sebagainya. Akibat menurunnya kualitas air ikan dapat terserang penyakit dengan cepat.

Selain itu, pada praktikum ini mengalami masalah saat awal praktikum yaitu ikan yang digunakan pada praktikum telah terjangkit penyakit seperti jamur yang menempel pada tubuh ikan. Sehingga dirasa karena penyakit yang diderita sebelum praktikum tersebut menyebabbkan ikan sulit bertahan hidup pada proses berjalannya praktikum.
































V.                PENUTUP


A.      Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1.      Semakin rendah pH (keasaman tinggi) maka akan menyebabkan penurunan oksigen terlarut dalam air. apabila CO2 terlarut tinggi pada maka pH cenderung rendah dan kandungan oksigen juga rendah
2.      Semakin tinggi temperatur, kelarutan oksigen semakin berkurang
3.      Peningkatan padat penebaran ikan tanpa disertai dengan peningkatan jumlah pakan yang diberikan dan kualitas air terkontrol akan mempengaruhi kelangsungan hidup ikan.
4.      Peningkatnya pH, suhu, dan bahan organic di perairan akan meningkatkan kadar amoniak di perairan tersebut.
5.      Kualitas air yang baik bagi suatu perairan yaitu suatu keadaan diamana parameter yang ada dalam perairan tersebut dapat terjaga dan terkontrol dengan baik serta tetap stabil setiap saat sehingga tercapainya keadaan yang optimal bagi kegiatan budidaya dan tempat hidup ikan.

B.       Saran
Adapun saran yang dapat diberikan pada praktikum ini yaitu perlu digunakannya peralatan penunjang praktikum yang lebih baik lagi, agar praktikan dapat bekerja dengan maksimal.

Selain itu dalam manajemen kualitas air, agar didapatkan hasil yang maksimal dari budidaya ikan maka diperlukan manajemen yang baik pada kolam budidaya ikan terutama dalam hal manajemen kualitas air yang merupakan faktor penting karena air merupakan media hidup bagi organisme yang dibudidayakan.




DAFTAR PUSTAKA


Affiati NA, Lim. 1986. Pengaruh saat awal pemberian pakan alami terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan gurami Osphronemus goramy. Bull. Penel. Perik. Darat. 5(1) : hlm 66-69.
Bardach JE, Ryther JH, McLarney WO. 1972. Aquaculture : The Farming and Husbandry of Fresh Water and Marine Organism. John Wiley and Sons. New York. hlm 868.
Barus, T. A, 2002. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi FMIPA USU. Medan
Boyd, C. E., 1982.  Water Quality in Ponds for Aquaculture.  Birmingham Publishing Co.  Birmingham, Alabama.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta
Fajri, Nur El dan Agustina. 2013. Penuntun Praktikum dan Lembar Kerja Praktikum Ekologi Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UR. Pekanbaru.
Goddard S. 1996. Feed Management in Intensive Aquaculture. Chapman and Hall. New York. hlm 194.
Hepher B, Pruginin Y. 1981. Commercial Fish Farming with Special Reference to Fish Culture in Israel. John Willey and Sons, New York. hlm 261.
Hickling CF. 1971. Fish Culture. Faber and Faber, London. hlm 348.
iCLEAN, 2007. pH.http://www.mysaltz.net. Diakses tanggal 15 Juni 2013.
Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Lloyd 1992
Painter 1970 in Novotny & Olem 1994
Sarah S. 2002. Pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan gurame (Osphronemus goramy Lac.). [Skripsi]. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Institut Pertanian Bogor. hlm 39.
Sihotang,C. dan Efawani. 2006. Penuntun Praktikum Limnologi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UR. Pekanbaru.
Slembrouck J, Komarudin O, Maskur, Legendre M. 2005. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Patin Indonesia, Pangasius djambal. IRD-PRPB, Jakarta. hlm 143.
Subarijanti, H. U. 2005. Pemupukan dan Kesuburan Perairan. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang
Tim Praktikum Limnologi. 2008. Petunjuk Praktikum Limnologi Analisis Air. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Malang
Wardoyo, S.T.H., 1981, Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan, Makalah Training AMDAL, Kerjasama PPLH-UNDEP-PUSDL¬PSL, 19-31, Januari, 1981, Bogor.
Wetzel 2001
Wedemeyer GA. 1996. Physiology of Fish in Intensive Culture Systems. Northwest Biological Science Center National Biological Service U. S Departement of the Interior. Chapman ang Hall. hlm 232.
Wijanarko, P. 2005. Catatan Kuliah Manajemen Kualitas Air. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang
Wiryanto dan Pitoyo. 2001. Produktifitas Primer Perairan Waduk Cengklik Boyolali. Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta 57126. Diterima: 20 Pebruari 2001


















LAMPIRAN
















A.      Data Kelas

Suhu
No
Perlakuan
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
1
27
28
28
29
29
29
36
31
34
2
27.5
27
27,5
30
29.5
29
29
34.5
34
3
27.5
27.5
27,5
30.6
29.5
29.5
34.5
34.5
34
4
27.5
28
30
30.5
30
29.5
32.5
34.5
34.5
5
27
26.5
27
28.5
29.5
29.5
32
33
34
6
27
28
26,5
27.5
29.5
29
32.5
32
-
7
26
27
25,5
28.5
29
28.5
35
34
35
8
25
26
25,5
27.5
29.5
28
36
34
34
9
25
27
26
26.5
28.5
29.5
33
34
33.5
10
25
28
26
30.5
30
29
35
34
34
11

26
27
27
29
29.5
34
33.5
35
12

27.5
26

28.5

32.5
35
34.5
13

27


29

35
33.5
34.5
14






34

34

pH
No
Perlakuan
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
1
6
6
6
6
6
6
6
6
6
2
6
6
6
6
6
6,5
6
6
6
3
6
6
6
6
6
6
6
6
6
4
6
6
7
6
6
6
6
6
6
5
6
6
7
6
6
6,5
6
6
6
6
6
6
7
6
6
6
6
6
6
7
6
6
7
6
6
5,5
6
6,5
6
8
6
6
7
6
6,5
5,5
6
6
6
9
6
6

6
6
6
6
6
6
10
6
6
7
6
6,5
5,5
5,25
5,5
5,5
11

6

6
6
5,5

6
6
12

6


6

6

6
13

7


6



6
14










DO
No
Perlakuan
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
1





5.33



2
5.5

8.48
5.65
5.35
5.57

5.4
5.77
3
5.2
6.75
5.46
5.77
5.25
5.6
6.27
5.32
5.42
4
5.3
5.54
5.46
5.08
5.65
6.6
8.09
5.26
5.33
5
8.2
5.4
4.77
3.37
5.36
5.4
4.72
5.16
5.81
6
7.7
4.84
7.91
4.29
5.18
8.49
7.84
6.74
5.73
7
8,75
5.3
8.67
3.98
9.41
8.92
9.53
8.86
7.93
8
9.3
7.23
9.5
6.16
10.55
8.87
9.87
9.88
10.35
9
8.4
9.83
9.77
7.26
9.02
8.78
7.48
7.86
9.24
10

9.04
8.24
5.42
8.98
8.77
9.06
9.57
9.25
11

8.78
9
3.73
8.84

9.63
7.25
7.78
12

9.75
18.33

10.68

10.73
7.96
9.82
13

9.51
9.72



10.42
9.42
8.37
14

10.4








Biomassa
No
Perlakuan
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
1
0.87
2.5
0.4
3
4.3
2.54
5.3
5.3
2
2
5
4.2
0.52
3
5.5
4.63
5.67
5.12
6.7
3

3
8
2
3
7.5
6
4.94
3
4





6


4
5










Ammonia
No
Perlakuan
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
1
0.5
0.13
0.127
0.123
0.045
0.128
0.151
0.017
0.142
2

0.83
0.52
0.081
0.031
0.107
0.95
0.0124
0.074
3

0.85
0.7
0.98
0.026
0.085
 0.083
0.018
0.089
4









5










B.       Foto Praktikum
C.      Format Laporan

Tidak ada komentar: