Rabu, 30 Oktober 2013

PERHITUNGAN NILAI HEMATOKRIT PADA IKAN (Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Air)








PERHITUNGAN NILAI HEMATOKRIT PADA IKAN
(Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Air)
















Oleh:
Widi Indra Kesuma
1114111058















JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013

I.       PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Secara umum, sistem peredaran darah pada semua vertebrata adalah sama, meskipun tetap ada perbedaan-perbedaan diantara setiap kelompok hewan. Hal tersebut tergantung kepada anatomi, fisiologi dan kondisi lingkungannya. Komponen penyusun sistem peredaran darah adalah jantung, darah, saluran darah, dan limpa. Saluran pembuluh darah utama dalam tubuh ikan adalah arteri dan vena yang terdapat di sepanjang tubuh. Sistem peredaran darah ikan bersifat tunggal, artinya hanya terdapat  satu jalur sirkulasi darah  (Fujaya, 2004).

Sistem peredaran darah pada semua organisme merupakan proses fisiologis yang sangat penting. Untuk melakukan aktivitas, sel jaringan, maupun organ membutuhkan nutrisi dan oksigen. Bahan-bahan ini dapat disuplai hanya bila peredaran darah berjalan normal. Karananya, semua semua fungsi dari setiap organ dalam tubuh kadang-kadang dapat dilihat pada darah.

Berdasarkan praktikum, penentuan hematokrit dilakukan dengan mengisi tabung hematokrit dengan darah yang sebelumnya telah diberi zat EDTA (natrium ethylen diamin tetra acetic acid) yang berfungsi mencegah penggumpalan darah. Berhubungan dengan fungsinya serbagai alat transpor nutrisi dan oksigen, darah merupakan parameter penting dalam pendugaan kesehatan ikan. Sistem peredaran darah ikan akan terganggu bila kondisi internal atau eksternal tubuhnya terganggu. Pengetahuan mengenai hematologi ikan perlu diketahui guna mengetahui pertumbuhan  dan tingkat kesehatan ikan. Karenanya perlu diadakan praktikum mengenai perhitungan nilai hematorit pada ikan.

B.   Tujuan
Tujuan praktikum yaitu untuk bisa menghitung nilai hematokrit ikan.


II.      TINJAUAN PUSTAKA

A.     Biologis Ikan
Ikan nila (Oreochromis niloticus).
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang berasal dari sungai nila dan danau-danau yang menghubungkan sungai tersebut. Ikan nila didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969, bibit ikan nila yang ada di Indonesia berasal dari Taiwan adapun dengan ciri berwarna gelap dengan garis-garis vertikal seanyak 6-8 buah dan Filipina yang berwarna merah (Suyanto 1998).

Menurut Saanin (1982), klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah sebagai berikut:
Kingdom     : Animalia
Filum           : Chordata
Sub Filum    : Vertebrata
Kelas           : Osteichtes
Sub Kelas    : Acanthoptherigii
Ordo            : Percomorphii
Sub Ordo     : Percoidae
Famili           : Cichlidae
Genus          : Oreochromis
Spesies        : Oreochromis niloticus

Ikan nila pada umumnya mempunyai bentuk tubuh panjang dan ramping, perbandingan antara panjang dan tinggi badan rata-rata 3 : 1. Sisik-sisik ikan nila berukuran besar dan kasar. Ikan nila berjari sirip keras, sirip perut torasik, letak mulut subterminal dan berbentuk meruncing. Selain itu, tanda lainnya yang dapat dilihat adalah dari ikan nila adalah warna tubuhnya yang hitam dan agak keputihan. Bagian bawah tutup insang berwarna putih, sedangkan pada nila lokal putih agak kehitaman bahkan ada yang kuning. Sisik ikan nila besar, kasar, dan tersusun rapi. Sepertiga sisik belakang menutupi sisi bagian depan. Tubuhnya memiliki garis linea lateralis yang terputus antara bagian atas dan bawahnya. Linea lateralis bagian atas memanjang mulai dari tutup insang hingga belakang sirip punggung sampai pangkal sirip ekor. Ukuran kepalanya relatif kecil dengan mulut berada di ujung kepala serta mempunyai mata yang besar (Merantica 2007).

Ikan nila memiliki karakteristik sebagai ikan parental care yang merawat anaknya dengan menggunakan mulut (mouth breeder) (Effendie 1997 dalam Prasetiyo 2009). Ikan ini dicirikan dengan garis vertikal yang berwarna gelap pada sirip ekornya sebanyak 6 buah. Selain pada sirip ekor, garis tersebut juga terdapat pada sirip punggung dan sirip anal (Suyanto 1994 dalam Saputra 2007 dalam Prasetiyo 2009).

Seperti halnya ikan nila yang lain, jenis kelamin ikan nila yang masih kecil, belum tampak dengan jelas. Perbedaannya dapat diamati dengan jelas setelah bobot badannya mencapai 50 gram. Ikan nila yang berumur 4-5 bulan (100-150 g) sudah mulai kawin dan bertelur Tanda-tanda ikan nila jantan adalah warna badan lebih gelap dari ikan betina, alat kelamin berupa tonjolan (papila) di belakang lubang anus, dan tulang rahang melebar ke belakang. Sedangkan tanda-tanda ikan nila betina adalah alat kelamin berupa tonjolan di belakang anus, dimana terdapat 2 lubang. Lubang yang di depan untuk mengeluarkan telur, sedang yang di belakang untuk mengeluarkan air seni dan bila telah mengandung telur yang masak,dan perutnya tampak membesar (Suyanto, 2003).

Ikan nila merupakan ikan omnivora yang memakan fitoplankton, perifiton, tanaman air, avertebrata kecil, fauna bentik, detritus, dan bakteri yang berasosiasi dengan detritus. Ikan nila dapat menyaring makanannya dengan menangkap partikel tersuspensi, termasuk fitoplankton dan bakteri, pada mukus yang terletak pada rongga buccal. Tetapi sumber nutrisi utama ikan nila diperoleh dengan cara memakan makanan pada lapisan perifiton (FAO, 2006).

Ikan nila merupakan ikan tropis yang menyukai perairan yang dangkal. Ikan nila dikenal sebagai ikan yang tahan terhadap perubahan lingkungan tempat hidupnya. Nila hidup di lingkungan air tawar, air payau, dan air asin. Kadar garam air yang disukai antara 0-35 ppt. Ikan nila air tawar dapat dipindahkan ke air asin dengan proses adaptasi bertahap. Kadar garam air dinaikkan sedikit demi sedikit. Pemindahan ikan nila secara mendadak ke dalam air yang kadar garamnya sangat berbeda dapat mengakibatkan stress dan kematian ikan (Suyanto, 2004).

Tempat hidup Ikan nila biasanya berada pada perairan yang dangkal dengan arus yang tidak begitu deras, ikan ini tidak suka hidup di perairan yang bergerak (mengalir),akan tetapi jika dilakukan perlakuan terhadap ikan nila seperti pengadaptasian terhadap lingkungan air yang mengalir maka ikan nila juga bisa hidup baik pada perairan yang mengalir. (Djarijah, 2002).

Lingkungan tumbuh (habitat) yang paling ideal adalah perairan air tawar yang memiliki suhu antara 14oC – 38 oC, atau suhu optimal 25oC – 30oC. Keadaan suhu yang rendah yaitu suhu kurang dari 140C ataupun suhu yang terlalu tinggi di atas 300C akan menghambat pertumbuhan nila. Ikan nila memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan hidup. Batas bawah dan batas atas suhu yang mematikan ikan nila berturut-turut adalah 11-12oC dan 42oC. Keadaan pH air antara 5 – 11 dapat ditoleransi oleh ikan nila, tetapi pH yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan ikan ini adalah 7- 8. Ikan nila masih dapat tumbuh dalam keadaan air asin pada salinitas 0-35 ppt. Oleh karena itu, ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan laut, terutama untuk tujuan usaha pembesaran (Rukmana, 1997).

Ikan Mas (Cyprinus Carpio)
Ikan mas merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan memanjang pipih kesamping dan lunak, yang termsuk dalam golongan teleostei. Tubuhnya terbungkus oleh kulit yang bersisik, berenang dengan menggunakan sirip dan bernafas dengan menggunakan insang. Ikan mas sudah dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di Cina. Di Indonesia ikan mas mulai dipelihara sekitar tahun 1920. Ikan mas yang terdapat di Indonesia merupakan merupakan ikan mas yang dibawa dari Cina, Eropa, Taiwan dan Jepang. Ikan mas Punten dan Majalaya merupakan hasil seleksi di Indonesia. Sampai saat ini sudah terdapat 10 ikan mas yang dapat diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologisnya.

Klasifikasi Ikan Mas menurut saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum : Chodata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub Ordo : Cyprinoidea
Famili : Cyprinidea
Genus : Cyprinus
Spesies : Cyprinus caprio L

Daerah yang sesuai untuk mengusahakan pemeliharaan ikan ini yaitu daerah yang berada antara 150 – 600 meter di atas permukaan laut, pH perairan berkisar antara 7-8 dan suhu optimum 20-25 oC. Ikan Mas hidup di tempat-tempat yang dangkal dengan arus air yang tidak deras, baik di sungai danau maupun di genangan air lainnya ( Asmawi, 1986).

Ikan Mas mempunyai ciri-ciri badan memanjang, agak pipih, lipatan mulut dengan bibir yang halus, dua pasang kumis (babels), ukuran dan warna badan sangat beragam (Sumantadinata, 1983).

Ikan Mas dikenal sebagai ikan pemakan segala (omnivora) yang antaralain memakan serangga kecil, siput cacing, sampah dapur, potongan ikan, dan lain-lain (Asmawi,1986).

Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) dapat digunakan sebagai hewan uji hayati karena sangat peka terhadap perubahan lingkungan (Brinley cit. Sudarmadi, 1993). Di Indonesia ikan yang termasuk famili Cyprinidae ini termasuk ikan yang populer dan paling banyak dipelihara rakyat, serta mempunyai nilai ekonomis. Ikan mas sangat peka terhadap faktor lingkungan pada umur lebih kurang tiga bulan dengan ukuran 8 – 12 cm. Disamping itu ikan mas di kolam biasa (Stagnan water) kecepatan tumbuh 3 cm setiap bulannya (Arsyad dan Hadirini cit. Sudarmadi, 1993).

Ikan mas berbadan panjang dengan perbandingan antara panjang total dengan tinggi badan 3 : 1 (tergantung varitas). Bila dipotong di bagian tengah badan memilki perbandingan antara tinggi badan dan lebar badan 3 : 2 (tergantung varitas). Warna tubuh ikan mas juga tergantung dari varitas, ada merah, kuning, abu-abu, kehijauan, dan ada juga yang belang. Tubuh ikan mas terbagi tiga bagian, yaitu kepala, badan, dan ekor. Mulut, sepasang mata, hidung, dan tutup insang terletak di kepala. Seluruh bagian tubuh ikan mas ditutupi dengan sisik yang besar, dan berjenis ctenoid. Pada bagian itu terlihat ada garis linea lateralis, memanjang mulai dari belakang tutup insang sampai pangkal ekor.
Mulut kecil, membelah bagian depan kepala. Sepasang mata bisa dibilang cukup besar terletak di bagian tengah kepala di kiri, dan kanan. Sepasang lubang hidung terletak di bagian kepala. Sepasang tutup insang terletak di bagian belakang kepala. Selain itu, pada bagian bawah kepala memiliki dua pasang kumis sungut yang pendek. Ikan mas memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung, sirip dada, sirip perut, sirip dubur, dan sirip ekor. Sirip punggung panjang terletak di bagian punggung. Sirip dada sepasang terletak di belakang tutup insang, dengan satu jari-jari keras, dan yang lainnya berjari-jari lemah. Sirip perut hanya satu terletak pada perut. Sirip dubur hanya terletak di belakang dubur. Sirip ekor juga hanya satu, terletak di belakang, dengan bentuk cagak


B.     Hematokrit pada Ikan

Hematokrit adalah istilah yang menunjukan besarnya volume sel-sel eritrosit seluruhnya didalam 100 mm3 darah dan dinyatakan dalam persen (%) (Hoffbrand dan Pettit, 1987). Nilai hematokrit atau “volume sel packed” adalah suatu istilah yang artinya prosentase berdasarkan volume dari darah, yang terdiri dari sel-sel darah merah. Mengukur kadar hematokrit darah hewan uji digunakan tabung mikrohematokrit yang berupa pipa kapiler berlapiskan EDTA (Etil Diamin Tetra Acetat) yang berfungsi sebagai bahan anti pembekuan darah. Nilai hematokrit standar adalah sekitar 45%, namun nilai ini dapat berbeda-beda tergantung species. Nilai hematokrit biasanya dianggap sama manfaatnya dengan hitungan sel darah merah total (Frandson, 1992).

Darah ikan tersusun atas cairan plasma dan sel-sel darah yang terdiri dari sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit). Volume darah dari ikan teleostey, heleostey dan chondrostei adalah sekitar 3% dari bobot tubuh, sedangkan ikan chondrocthyes memiliki darah sebanyak 6,6% dari berat tubuhnya (Randall, 1970 dalam Affandi, 1999).


C.     Nilai Hematokrit Normal Ikan

Pengukuran hematokrit dapat dijadikan sebagai salah satu parameter untuk mengetahui kesahatan ikan. Kuswardani (2006) mengungkapkan bahwa kadar hematokrit ini dapat bervariasi tergantung pada faktor nutrisi, umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan masa pemijahan. Nilai hematokrit yang kurang dari 22% akan mnunjukan terjadinya anemia, dibandingkan dengan data yang diperoleh dari praktikum maka untuk kelompok 6 dan 7 dengan presentase 16.10% positif menunjukan terjadinya anemia pada ikan. Sedangkan nilai hematokrit ikan – ikan teleost yang normal berkisar antara 20 – 30 % dan untuk beberapa spesies laut berkisar 42 % (Bond, 1979).


III.    METODELOGI

A.     Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 04 Mei 2013 pukul 10.00 WIB bertempat di Laboratorium Perikanan Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

B.   Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pipet bulir merah, haemocytometer, mikroskop, gelas objek, cover glass, jarum suntik, tabung mikro hematokrit, tabung eppendorf. Sedangkan bahan yang digunakan adalah larutan hayem, larutan turk, giemsa, larutan antikoagulan, metanol, cristoseal, dan ikan lele.

C.   Metode Kerja
Adapun cara kerja yang dilakukan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
1.    Ikan diletakkan dengan kepala menghadap ke kiri, alat suntik dibilas dengan Na-sitrat dan disisakan isinya 1/20 bagian.
2.    Darah diambil dari vena kaudal dengan cara jarum ditusukkan di atas antara anus dan sirip anal, tusukan horizontal kearah kranial sampai mengenai tulang vertebrate.
3.    Kemudian, jarum ditarik sedikit setelah itu penghisap jarum suntik ditarik sampai darah terhisap sebatas yang diinginkan.
4.    Setelah darah diambil, jarum dan alat suntik dicabut serta luka bekas suntikan ditutup dengan kapas beralkohol. Kemudian jarum dilepas dari spuit dan darah dimasukkan ke dalam tabung ependorf yang telah dibilas dengan Na sitrat 3.8%.
5.    Salah satu ujung tabung mikrohematokrit dicelupkan kedalam tabung yang berisi darah sehingga darah akan merambat secara kapiler sampai volume ¾ bagian (sambil ditutup/dibuka).
6.    Kemudian ujung tabung tersebut ditutup dengan crytoseal dengan cara ujung tabung ditancapkan kira-kira sedalam 1 mm.
7.    kemudian tabung mikrohematokrit tersebut disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit dengan posisi tabung yang bervolume sama berhadapan dan yang bersumbat disebelah luar dan posisi tabung diatur hingga seimbang.
8.    Setelah itu, diukur panjang bagian endapan serta panjang total endapan cairan dan dipersentasekan panjang endapan dibanding panjang total endapan dan cairan dalam persen (%).

IV.    HASIL DAN PEMBAHASAN
A.   Hasil


Kelompok
a
b
Ha
1
-
-
-
2
-
-
-
3
0.25
0.45
35.7%
4
-
-
-
5
0.9
3
23%
6
-
-
-

B.   Pembahasan
Telah dilakukan praktikum mengenai perhitungan nilai hematokrit pada ikan.  
Hematokrit adalah perbandingan antara volume sel darah dengan plasma darah (Sasradipraja et al, 1989 dalam Abdullah, 2008).

Alat dan bahan yang digunakan yaitu:
a.    Timbangan, untuk menimbang bobot tubuh ikan uji,
b.    Dissecting kit, untuk membedah ikan uji,
c.    Talenan kayu, sebagai alas bedah ikan
d.    Pipa kapiler heparinized, untuk menampung sampel darah segar,
e.    Sentrifuge hematorit, untuk mensentrifuge sampel darah,
f.     Wax/malam lilin, untuk menyumbat salah satu ujung pipa kapiler yang telah berisi darah segar,
g.    Hematocrit reading chart, untuk membaca nila hematokrit (Tim, 2013).

Abdullah (2008) menyatakan bahwa kisaran nilai hematokrit ikan pada kondisi normal sebesar 30,8 - 45,5. Dari hasil praktikum didapatkan hanya dua Kelompok yang berhasil dalam praktikum tersebut dengan hasil nila Ha sebesar 35,7% dan 23%. Nilai 35,7% merupakan normal sedangkan 23% menunjukkan ikan tidak normal, hal tersebut bisa terjadi karena ikan stress atau terserang penyakit.

Pengukuran hematokrit dapat dijadikan sebagai salah satu parameter untuk mengetahui kesahatan ikan. Kuswardani (2006) mengungkapkan bahwa kadar hematokrit ini dapatbervariasi tergantung pada faktor nutrisi, umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan masa pemijahan. Nilai hematokrit yang kurang dari 22% akan mnunjukan terjadinya anemia. Sedangkan nilai hematokrit ikan – ikan teleost yang normal berkisar antara 20 – 30 % dan untuk beberapa spesies laut berkisar 42 % (Bond, 1979).

Nilai hematokrit yang kurang dari 22% menunjukan ikan mengalami anemia (Gallaugher et al, 1995 dalam Abdullah, 2008), sedangkan menurut Nabib dan Pasaribu (1989) dalam  Prasetyo (2008) bahwa nilai hematokrit darah ikan berkisar 5 – 60%, hematokrit di bawah 30% menunjukan defisiensi eritrosit. Apabila ikan terkena penyakit atau nafsu makan menurun maka nilai hematokrit darah menjadi lebih rendah (Delman and Brown, 1989 dalam Prasetyo 2008). maka dapat dinyatakan bahwa ikan lele kelompok 6 terserang anemia dan defisiensi eritrosit sesuai pernyataan diatas.

Robert (1978) dalam Mulyani (2006) mengungkapkan bahwa darah merupakan cairan yang membawa nutrien, transportasi oksigen dan karbondioksida, menjaga keseimbangan suhu tubuh dan berperan penting dalam sistem pertahanan tubuh dan berperan penting dalam sistem pertahanan tubuh. Darah ada yang beruba padatan maupun cairan, yang termasuk kedalam padatan adalah sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit) sedangkan yang berbentuk cairan ialah plasma darah. Jumlah sel darah merah sangat menentukan fungsi peredaran oksigen. Jumlah sel darah ikan pada ikan teleost berkisar antara 1.05×106 sel/mm3 dan 3.0x 106 sel/mm3. Jika dibandingkan dengan hasil dari praktikum maka Sel darah merah secara keseluruhan termasuk dalam kisaran normal. Sel darah merah sering disebut juga eritrosit. Eritrosit yang terlalu rendah akan menimbulkan terjadinya anemia, sedangkan jika terlalu tinggi menandakan ikan tersebut dalam keaadaan yang stres (Wademeyer dan Yasutake, 1977 dalam Purwanto, 2006).

Kadar hematokrit ini bervariasi tergantung pada faktor nutrisi, umur ikan, jenis kelamin, ukuran tubuh dan masa pemijahan . Pada hematokrit, kadar eritrosit yang rendah menunjukkan terjadinya anemia. Sedangkan kadar tinggi menandakan bahwa ikan dalam keadaan stress. Peningkatan hemotokrit dapat disebabkan sel membengkak pada keadaan ikan yang mengalami hipoksia.

Adapun faktor yang mempengaruhi lainnya ialah jumlah eritrosit; apabila jumlah eritrosit dalam keadaan banyak, maka nilai hematokrit akan meningkat. Ukuran eritrosit pun berpengaruh pada viskositas darah. Semakin tinggi viskositas darah maka akan semakin tinggi nilai hematokrit. Kelainan bentuk pada eritrosit juga berpengaruh; apabila terjadi kelainan bentuk (poikilositosis) maka akan terjadi trapped plasma (plasma terperangkap) sehingga nilai hematokrit akan meningkat.

Factor yang mempengaruhi kegagalan dalam perhitungan nilai hematokrit diantaranya tidak sempurnanya penutupan ujung pipa kapiler dengan malam/wax sehingga terjadi hilangnya dari pipa kapiler setelah dilakukan sentrifugasi.


V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, maka dapat disimpulkan bahwa gambaran darah ikan yang diperoleh dapat menunjukan kesehatan ikan. Nilai hematokrit yang berhasil di dapat yaitu nilai Ha sebesar 35,7% dan 23%.
Jika komponen darah pada ikan tidak berada pada jumlah yang normal, maka dapat diduga bahwa ikan tersebut sedang terserang penyakit, sperti anemia atau pun stres. Nilai hematokrit ini berhubungan dengan laju metabolisme, cara hidup ikan, jenis kelamin ikan dan spesies ikan tersebut. Semakin tinggi nilai hematokrit semakin tinggi pula jumlah sel darah merahnya. Ada korelasi yang kuat antara hematokrit dan jumlah hemoglobin darah, semakin rendah jumlah sel-sel darah merah maka semakin rendah pula kandungan hemolobin darah.

B. Saran
Ada baiknya jika praktikum selanjutnya dilakukan dengan menggunakan beberapa spesies ikan, dengan berbagai ukuran bobot  sehinga dapat di jadikan perbandingan antara spesies yang satu dengan spesies yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi R dan Tang U.M. 2002.Fisiologi Hewan Air. Unri Press. Pekanbaru.
Alamanda et al, 2007. Penggunaan metode hematologi dan pengamatan endoparasit darah untuk penetapan kesehatan ikan lele dumbo ( Clarias gariepinus) di kolam budidaya desa mangkubumen boyolali. Jurnal Boidiversitas. 8 : 34 – 38.
Anonim. 2011. http://www.duniakam pus.co.cc/11/. Diakses pada April  2013.
Bond, C.E. 1979. Biology of Fishes. Saunders College Publishing. Philadelphia. 514 p. http//:www.fishpathology.com.
Djarijah, AS. 1995. Nila Merah Pembenihan dan Pembesaran Secara Intensif. Kanisius. Yogyakarta.
Effendie, M. I. 1997. Biologi perkanan. Yayasan Pustaka nusantara. Yogyakarta. 163 hal.
Fujaya, Y. 1999. Bahan Pengajaran Fisiologi Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Rineka Cipta. Jakarta.
Kuswardani, Y. 2006. Pengaruh pemberian Resin Lebah Terhadap Gambarab Darah Maskoki Carassius auratus Yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila. Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Mulyani, S. 2006. Gambaran Darah Ikan Gurame Osphronemus gouramy Yang Terinfeksi Cendawan Achlya sp. pada Kepadatan 320 dan 720 Sppora per mL. Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Purwanto, A. 2006. Gambaran Darah Ikan Mas Cyprinus carpio Yang Terinfeksi Koi Herpes Virus. Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Rukmana R.1997.Ikan Nila. Budidaya dan Prospek Agribisnis. Kanisius. Yogyakarta.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta. Bandung.
Suyanto, SR. 1994. Nila. penebar swadaya. jakarta.
Tim Penyusun. 2013. Panduan Praktikum Fisiologi Hewan Air. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Wulangi. S kartolo. 1998. Prinsip-prinsip fisiologi Hewan. DepDikBud : Bandung.














LAMPIRAN

Tidak ada komentar: