Rabu, 30 Oktober 2013

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Air)








RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN
(Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Air)
















Oleh:
Widi Indra Kesuma
1114111058















JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013

I.       PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Ikan merupakan organisme akuatik yang sebagian atau seluruh hidupnya di lingkungan perairan, baik ait tawar, payau maupun laut. Organisme akuatik akan sering sekali menghadapi kondisi lingkungan yang sering sekali berfluktuasi, baik karena faktor alam, maupun karena aktivitas manusia. Perubahan lingkungan inilah yang harus dihadapi dan disiasati oleh organisme akuatik agar mampu bertahan hidup. Organisme akuatik akan memberikan respon yang bermacam-macam, tergatung pada jenis atau kondisi perubahan lingkungan yang dihadapi.

Secara umum, habitat ikan terdiri dari faktor biotik dan abiotik, yang semuanya saling berinteraksi satu sama lain membentuk suatu ekosistem perairan yang seimbang. Ketika salah satu faktor diganggu, maka faktor yang lain juga mengalami gangguan. Sehingga otomatis, ketika habitat perairan tempat ikan hidup diberi pelakuan, maka ikan yang berada di perairann tersebut akan melakukan perubahan-perubahan sistem dan perubahan fisiologis di dalam tubuh masing masing individu agar mampu menyesuaikan diri dengan kondisi perairan yang baru agar mampu bertahan hidup. Besarnya upaya untuk mempertahankan kondisi yang stabil tentunya membutuhkan energi.

Respon yang terjadi dalam tubuh organisme akuatik sehubungan dengan adanya perubahan lingkungan dapat berupa respon biokimia, respon struktur sel, respon fisiologis dan tingkah laku. Melalui praktikum ini, maka akan diketahui jenis respon yang diberikan oleh organisme akuatik ketika diberikan berbagai macam perlakuan lingkungan perairan yang berbeda-beda.

B.   Tujuan

Tujuan praktikum yaitu untuk mengetahui respon organisme akuatik (ikan) terhadap vatiabel lingkungan (suhu, pH,dan kekeruhan) serta untuk mengetahui kisaran toleransi organisme akuatik terhadap variabel tersebut.


II.      TINJAUAN PUSTAKA

A.     Biologis Ikan
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang berasal dari sungai nila dan danau-danau yang menghubungkan sungai tersebut. Ikan nila didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969, bibit ikan nila yang ada di Indonesia berasal dari Taiwan adapun dengan ciri berwarna gelap dengan garis-garis vertikal seanyak 6-8 buah dan Filipina yang berwarna merah (Suyanto 1998).

Menurut Saanin (1982), klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah sebagai berikut:
Kingdom     : Animalia
Filum           : Chordata
Sub Filum    : Vertebrata
Kelas           : Osteichtes
Sub Kelas    : Acanthoptherigii
Ordo            : Percomorphii
Sub Ordo     : Percoidae
Famili           : Cichlidae
Genus          : Oreochromis
Spesies        : Oreochromis niloticus

Ikan nila pada umumnya mempunyai bentuk tubuh panjang dan ramping, perbandingan antara panjang dan tinggi badan rata-rata 3 : 1. Sisik-sisik ikan nila berukuran besar dan kasar. Ikan nila berjari sirip keras, sirip perut torasik, letak mulut subterminal dan berbentuk meruncing. Selain itu, tanda lainnya yang dapat dilihat adalah dari ikan nila adalah warna tubuhnya yang hitam dan agak keputihan. Bagian bawah tutup insang berwarna putih, sedangkan pada nila lokal putih agak kehitaman bahkan ada yang kuning. Sisik ikan nila besar, kasar, dan tersusun rapi. Sepertiga sisik belakang menutupi sisi bagian depan. Tubuhnya memiliki garis linea lateralis yang terputus antara bagian atas dan bawahnya. Linea lateralis bagian atas memanjang mulai dari tutup insang hingga belakang sirip punggung sampai pangkal sirip ekor. Ukuran kepalanya relatif kecil dengan mulut berada di ujung kepala serta mempunyai mata yang besar (Merantica 2007).

Ikan nila memiliki karakteristik sebagai ikan parental care yang merawat anaknya dengan menggunakan mulut (mouth breeder) (Effendie 1997 dalam Prasetiyo 2009). Ikan ini dicirikan dengan garis vertikal yang berwarna gelap pada sirip ekornya sebanyak 6 buah. Selain pada sirip ekor, garis tersebut juga terdapat pada sirip punggung dan sirip anal (Suyanto 1994 dalam Saputra 2007 dalam Prasetiyo 2009).

Seperti halnya ikan nila yang lain, jenis kelamin ikan nila yang masih kecil, belum tampak dengan jelas. Perbedaannya dapat diamati dengan jelas setelah bobot badannya mencapai 50 gram. Ikan nila yang berumur 4-5 bulan (100-150 g) sudah mulai kawin dan bertelur Tanda-tanda ikan nila jantan adalah warna badan lebih gelap dari ikan betina, alat kelamin berupa tonjolan (papila) di belakang lubang anus, dan tulang rahang melebar ke belakang. Sedangkan tanda-tanda ikan nila betina adalah alat kelamin berupa tonjolan di belakang anus, dimana terdapat 2 lubang. Lubang yang di depan untuk mengeluarkan telur, sedang yang di belakang untuk mengeluarkan air seni dan bila telah mengandung telur yang masak,dan perutnya tampak membesar (Suyanto, 2003).

Ikan nila merupakan ikan omnivora yang memakan fitoplankton, perifiton, tanaman air, avertebrata kecil, fauna bentik, detritus, dan bakteri yang berasosiasi dengan detritus. Ikan nila dapat menyaring makanannya dengan menangkap partikel tersuspensi, termasuk fitoplankton dan bakteri, pada mukus yang terletak pada rongga buccal. Tetapi sumber nutrisi utama ikan nila diperoleh dengan cara memakan makanan pada lapisan perifiton (FAO, 2006).

Ikan nila merupakan ikan tropis yang menyukai perairan yang dangkal. Ikan nila dikenal sebagai ikan yang tahan terhadap perubahan lingkungan tempat hidupnya. Nila hidup di lingkungan air tawar, air payau, dan air asin. Kadar garam air yang disukai antara 0-35 ppt. Ikan nila air tawar dapat dipindahkan ke air asin dengan proses adaptasi bertahap. Kadar garam air dinaikkan sedikit demi sedikit. Pemindahan ikan nila secara mendadak ke dalam air yang kadar garamnya sangat berbeda dapat mengakibatkan stress dan kematian ikan (Suyanto, 2004).

Tempat hidup Ikan nila biasanya berada pada perairan yang dangkal dengan arus yang tidak begitu deras, ikan ini tidak suka hidup di perairan yang bergerak (mengalir),akan tetapi jika dilakukan perlakuan terhadap ikan nila seperti pengadaptasian terhadap lingkungan air yang mengalir maka ikan nila juga bisa hidup baik pada perairan yang mengalir. (Djarijah, 2002).

Lingkungan tumbuh (habitat) yang paling ideal adalah perairan air tawar yang memiliki suhu antara 14oC – 38 oC, atau suhu optimal 25oC – 30oC. Keadaan suhu yang rendah yaitu suhu kurang dari 140C ataupun suhu yang terlalu tinggi di atas 300C akan menghambat pertumbuhan nila. Ikan nila memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan hidup. Batas bawah dan batas atas suhu yang mematikan ikan nila berturut-turut adalah 11-12oC dan 42oC. Keadaan pH air antara 5 – 11 dapat ditoleransi oleh ikan nila, tetapi pH yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan ikan ini adalah 7- 8. Ikan nila masih dapat tumbuh dalam keadaan air asin pada salinitas 0-35 ppt. Oleh karena itu, ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan laut, terutama untuk tujuan usaha pembesaran (Rukmana, 1997).


B.     Respon Organisme Terhadap Perubahan Lingkungan

Suhu
Menurut Dumairy (1992) dalam Mulyadi (1999), suhu air dapat mengendalikan peneluran dan penetasan makhluk-makhluk air, mengatur kegiatannya serta merangsang  atau menekan pertumbuhan dan perkembangannya. Air yang hangat pada umumnya akan memacu metabolisme, sedangkan air yang yang relatif dingin pada umumnya akan mengendurkan aktivitas organisme air.

Suhu berpengaruh pada kejenuhan (kapasitas air menyerap oksigen). Makin tinggi suhu maka, makin sedikit oksigen dapat larut (Lesmana dan Irwan 2001). Suhu air sangat berperan untuk kenyamanan ikan (Nasution dan Supranoto, 2001). Menurut Clark (1974) dalam Mulyono (1999), suhu berpengaruh terhadap keberadaan suatu spesies dan keadaan seluruh kehidupan komunitas cenderung bervariasi dengan berubahnya suhu. Suhu dapat menjadi suatu faktor pembatas bagi beberapa fungsi biologis hewan air seperti migrasi, pemijahan, efisiensi makanan, kecepatan renang, perkembangan embrio, dan kecepatan metabolisme.

Suhu pada air mempengaruhi kecepatan reaksi kimia, baik dalam media luar maupun air (cairan) dalam tubuh ikan. Suhu makin naik maka reaksi kimia akan makin cepat, sedangkan konsentrasi gas dalam air akan makin turun, termasuk oksigen. Akibatnya, ikan akan membuat reaksi toleran atau tidak toleran (sakit sampai mati). Ikan merupakan binatang berdarah dingin, sehingga metabolisme dalam tubuh tergantung pada suhu lingkungannya, termasuk kekebalan tubuhnya. Suhu luar atau eksternal yang berfluktuasi terlalu besar akan berpengaruh pada sistem metabolism. Konsumsi oksigen dan fisiologi tubuh ikan akan mengalami kerusakan atau kekacauan sehingga ikan akan sakit. Suhu rendah akan mengurangi imunitas (kekebalan tubuh) ikan, sedangkan suhu tinggi akan mempercepat ikan terkena infeksi bakteri. Pengaruh aklimatisasi atau adaptasi dapat ditoleransi oleh ikan tertentu. Penurunan atau kenaikan suhu yang terjadi perlahan-lahan tidak akan terlalu membahayakan ikan. Sementara perubahan yang terjadi secara tiba-tiba akan membuat ikan stress. Akibatnya, ikan menjadi stres, tidak ada keseimbangan dan menurun sistem sarafnya (Lesmana, 2002).

Asam dan Basa
Hubungan derajat keasaman (pH) dengan kehidupan ikan sangat erat. Titik kematian ikan biasanya terjadi pada pH 4 (asam) dan pH 11 (basa). Sementara reproduksi atau perkembangbiakan ikan biasanya akan baik pada pH 6,5 walaupun masih tergantung  pada jenisnya. Idealnya kebanyakan ikan hias air tawar akan hidup baik pada kisaran pH 6,5-7,0.

Adanya penyakit ikan pun berhubungann dengan naik turunnnya nilai pH. Biasanya bakteri akan tumbuh baik pada pH basa, sementara jamur tumbuh baik pada pH asam. Nilai pH air pada siang hari berbeda dengan malam hari. Pada pagi hari, pH air akan turun, sedangkan pada sore hari akan naik. Hal ini disebabkan gas karbondioksida banyak diproduksi pada malam hari. Banyaknya produksi gas karbondioksida karena malam hari tidak ada sinar matahari. Karbondioksida sangat berpengaruh pada penurunan nilai pH atau nilai asam (Lesmana dan Dermawan, 2001).

Setiap jenis ikan memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap pH. Bahkan, ikan dewasa akan lebih baik toleransinya terhadap pH dibanding ikan ukuran lebih kecil, larva, ataupun telur. Selain itu, setiap jenis ikan memiliki nilai pH optimal tergantung asal atau habitat aslinya. Pada lingkungan yang berubah terlalu asam atau tidak tertoleransi di bawah 5,5 atau terlalu alkali atau di atas 8,0 maka akan terjadi reaksi di dalam tubuh ikan sehingga mempengaruhi perilakunya. Perubahan pH secara mendadak akan menyebabkan ikan meloncat-loncat atau berenang sangat cepat dan tampak seperti kekurangan oksigen hingga mati mendadak. Sementara perubahan pH secara perlahan akan menyebabkan lendir keluar berlebihan, kulit menjadi keputiihan dan mudah terkena bakteri (Lesmana, 2002).

Pesccod (19730 dalam Mulyadi (1999) menyebutkan bahwa masing-masing organisme mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mentolerannsi pH perairan tergantung dari suhu, oksigen terlarut, adanya aktifitas kation, dan anion serta aktifitas biologi.

Perubahan asam atau basa di perairan laut dapat mengganggu sistem keseimbangan ekologi. Sebagiann besar material-material yang bersifat racun akan meningkat toksisitasnya pada kondisi pH rendah (Williams, 1979 dalam Anggraeni, 2002)

Daya tahan tubuh organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dengan lingkungan hidupnya. Pengaturan osmotik ini dilakukan melalui mekanisme osmoregulasi. Mekanisme ini dapat dinyatakan sebagai pengaturan keseimbangan total konsentrasi elektrolit yang terlarut dalam air media hidup organisme (Ferraris, 1987 dalam Affandi dan Tang, 2002)

C.     Survival Rate dan Mortalitas
Survival rate atau biasa dikenal dengan SR dalam perikanan budidaya merupakan indeks kelulushidupan suatu jenis ikan dalam suatu proses budidaya dari mulai awal ikan ditebar hingga ikan dipanen.
nilai SR ini dihitung dalam bentuk angka persentase, mulai dari 0 – 100 %.
rumusnya yaitu : SR   x   100 %
                                   
SR ini merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. jika ikan yang hidup saat panen banyak  dan yang mati hanya sedikit tentu nila SR akan tinggi, namun sebaliknya jika jumlah ikan yang mati banyak sehingga jumlah ikan yang masih hidup saat dilakukan pemanenan tinggal sedikit tentu nilai SR ini akan rendah (zulan, 2010).

Mortalitas atau kematian merupakan salah satu dari tiga komponen demografi selain fertilitas dan migrasi, yang dapat mempengaruhi jumlah dan komposisi umur penduduk.Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kematian sebagai suatu peristiwa menghilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup.

Mortalitas adalah ukuran jumlah kematian (umumnya, atau karena akibat yang spesifik) pada suatu populasi, skala besar suatu populasi, per dikali satuan. Mortalitas khusus mengekspresikan pada jumlah satuan kematian per 1000 individu per tahun, hingga, rata-rata mortalitas sebesar 9.5 berarti pada populasi 100.000 terdapat 950 kematian per tahun. Mortalitas berbeda dengan morbiditas yang merujuk pada jumlah individual yang memiliki penyakit selama periode waktu tertentu (Junaidi. 2009).


III.    METODELOGI

A.     Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 13 April 2013 pukul 11.00 WIB bertempat di Laboratorium Perikanan Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

B.   Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah akuarium, aerator, termometer, timbangan digital, turbidimeter, ember, gayung, heater, lap, stopwatch, gelas cup, dan terminal listrik. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan, HCl dan NaOH,  es batu, aquades dan air, kertas lakmus, dan deterjen.


C.   Metode Kerja

1.    Adaptasi Organisme Terhadap Suhu
Disiapkan 5 buah akuarium. dua buah akuarium untuk perlakuan suhu panas dan dua yang lain untuk perlakuan suhu dingin. Akuarium 1 untuk perlakuan control, akuarium 2, 3 untuk perlakuan dengan suhu yang berbada-beda, sedangkan akuarium 5 untuk perlakuan gradual.

Masing-masing akuarium diisi air 3 liter. Sebagian air dari akuarium 2, 3, untuk perlakuan suhu panas diambil dan dipanaskan, kemudian dikembalikan lagi ke dalam akuarium. Sedangkan untuk akuarium 3, 4 perlakuan suhu dingin air, sebagian airnya diganti dengan es batu. Kemudian air di dalam akuarium 2, 3, 4 masing-masing perlakuan suhu diukur dengan menggunakan thermometer. Perlakuan suhu 40 oC, 20 oC, dan 10 oC, Lima ekor ikan yang sebelumnya telah ditimbang dimasukkan ke dalam masing-masing akuarium ketika suhu air telah sesuai dengan perlakuan yang diberikan.

Tingkah laku ikan diamati dan dicatat setiap 10 menit sampai menit ke 60. Ikan yang mati dicatat dan diakhir praktikum ditimbang bobot akhir ikan untuk masing-masing akuarium.

2.    Adaptasi Organisme Terhadap pH
Disediakan 6 buah akuarium sebagai tempat uji coba. tiga buah akuarium digunakan untuk percobaan perlakuan asam, sedangkan tiga buah yang lainnya untuk perlakuan basa. Masing-masing akuarium diisi dengan air sebanyak 3 liter.

Akuarium 1, 2 untuk perlakuan pH berbeda sedangkan akuarium 3 untuk perlakuan gradual. Akuarim 1, 2, untuk perlakuan asam ditambahkan HCl masing-masing 40, 55, 80 tetes. Begitu juga dengan akuarium untuk perlakuan basa ditambahkan masing masing 40, 50, 80 tetes NaOH.

Semua akuarium diberi aerator, kemudian pada masing-masing akuarium dimasukkan lima ekor ikan yang terlebih dahulu ditimbang bobot awal ikan tersebut dengan timbangan digital. Tingkah laku ikan diamati setiap 10 menit sampai menit ke 60. Jika ada ikan yang mati, maka dicatat. Kemudian pada akhir percobaan, ikan dari masing-masing akuarium ditimbang dan dicatat.

3.    Adaptasi Organisme Terhadap surfaktan Deterjen
Siapkan 3 buah akuarium beserta aeratornya, tiap akuarium diisi 3 liter air,  kemudian masukkan lima ekor ikan yang sudah ditimbang bobotnya.

Akuarium 1 untuk kontrol, akuarium 2, 3, 4, dan 5 diberi deterjen 10 ppm, 30 ppm, 50 ppm, dan 70 ppm yang dilarutkan terlebih dahulu dengan air yang diambil dari masing-masing akuarium. Amati tiap 15 menit selama 1 jam, setelah itu ikan yang mati selama percobaan dicatat. Bobot akhir ikan ditimbang diakhir praktikum.

Parameter yang diamati lama bertahan ikan, tingkah laku ikan selama percobaan, kondisi tubuh ikan, frekuensi kontraksi operculum/menit, sekresi mukus, dan kondisi insang serta kondisi sirip, survival rate ikan selama percobaan. Dan konsentrasi deterjen (LAS) yang mematikan (lethal). Rumus yang digunakan:

Keterangan :
M   = Mortalitas  
Nt = Jumlah akhir
No = Jumlah awal
SR = Survival rate




IV.    HASIL DAN PEMBAHASAN
A.   Hasil.






Kelompok
Perlakuan
Aquarium
Waktu
Respon
SR
Mortalitas
(menit)
1
kontrol
A1
15
Ikan terlihat aktif, Ikan tidak menunjukkan gejala adanya gangguan
100%
0%
Suhu 100C
A2
15
Waktu ikan dimasukan terlihat normal, operkulum terlihat lemah dan ikan akhirnya mati
0%
100%
Suhu 200C
A3
15
Ikan masih dalam keadaan normal
100%
0%
30
Bukaan perculum melambat
100%
0%
45
Ikan mulai mengeluarkan feses,  terlihat lemas dan mengalami penurnan berat badan
100%
0%





Suhu 400C
A4
15
Gerakan cepat,berenang miring, gerakan overculum semakin cepat
100%
0%






2
30
Gerakan melambat,berenang miring didasar, gerakan overculum semakin lambat  berwarna pucat dan ada ikan mati
100%
0%
Gradual dari panas 400C ke dingin 100C
A5
15
Berenang di dasar gerakan masih normal .
100%
0%
30
Berenang di dasar gerakan masih normal .
100%
0%
60
Berenang didasar gerakan lambat diam didasar.
100%
0%
Gradual dari dingin 100C ke panas 400C
A6
15
Gerakan masih normal.
100%
0%
30
Gerakan semakin cepat dan ikan mulai kejar-kejaran.
100%
0%
60
Gerakan semakin cepat dan ikan mulai pucat 
100%
0%












3

Pemberian As. HCL sebanyak 40 tetes
A7
15
Ikan masih aktif bergerak, ditandai dengan ikan yang saling kejar-kejaran.
100%
0%
30
Ikan mulai bergerak tenang, ada yang terlihat aktif dan yang lain pergerakannya pasif.
100%
0%
60
Gerakan ikan mulai pasif, sirip anal ikan tampak merah, mengeluarkan gelembung-gelembung di mulut.

100%
0%

Pemberian As. HCL sebanyak 55 tetes
A8
15
Ikan masih bergerak aktif, berkejar-kejaran, pergerakan sirip ventralnya cepat.
100%
0%
30
Ikan mulai mengeluarkan feses, dan mulai bergerak lambat, diam didasar.
100%
0%
60
Ikan mulai mengeluarkan feses, mengeluarkan gelembung udara, dibagian mulut ikan berwarna kuning.
100%
0%

Pemberian As. HCL sebanyak 80 tetes
A9
15
Ikan tenang, mengeluarkan banyak feses.
100%
0%
30
Ikan masih tenang dan mengeluarkan banyak feses.
100%
0%
60
Berat badan ikan menurun.  Pergerakan operculum semakin cepat.
100%
0%
4
Pemberian  NaOH 40 tetes
A10
15
Ikan masih bergerak aktif dan bukaan operculum cepat
100%
0%
30
Ikan masih dapat bergerak cepat dan gerakan operculum masih cepat
100%
0%
45
Ikan mulai mengeluarkan feces berwarna hitam dan keras
100%
0%


60
Gerakan mulai melambat, masih mengeluarkan feces dan bobot badan berkurang
100%
0%
Pemberian NaOH 55 tetes
A11
15
Gerakan operculum semakin cepat dan masih bergerak aktif
100%
0%
30
Ikan mulai mengeluarkan feses dan produksi lendir sedikit
100%
0%
45
Feces semakin banyak, berwarna hitam dan keras, serta mengeluarkan lendir yang bersifat asam
100%
0%
60
Ikan banyak mengeluarkan feses mengalami penurnan berat badan
100%
0%
Pemberian NaOH 80 tetes
A12
15
Ikan masih aktif bergerak dan gerakan operculum cepat namun bukaan kecil
100%
0%
30
Bukaan perculum melambat
100%
0%
45
Bukaan operculum semakin besar dan melambat, tubuh ikan berlendir yang bersifat asam
100%
0%
60
Ikan mengeluarkan banyak feces dan berat badan menurun
100%
0%
5
Penaikan pH secara gadual/bertahap dengan penambahan NaOH
A13
15
Ikan terlihat setres, mengeluaran feses dan muntah dan bukaan operculum lambat
100%
0%
30
Ikan terlihat setres, mengeluarkan feses dan ikan saling menyerang
100%
0%
45
Bukaan mulut semakin cepat dan ikan banya mengeluarkan feses
100%
0%
Penurunan pH secara gradual/bertahap dengan penambahan HCl
A14
15
Ikan tidak menunjukkan gejala adanya gangguan
100%
0%
30
Ikan mulai mengeluarkan feses dan produksi lendir sedikit
100%
0%
60
Ikan mulai mengeluarkan feses, produksi lendir semakin sedikit, ikan terasa kesat dan mengalami penurnan berat badan
100%
0%
Pemberian detergen sebanyak 1 gram
A15
15
Ikan berenang cepat dan melompat ke permukaan serta katup ingsang berba warna menjadi biru
100%
0%
30
Bukaan perculum melambat
100%
0%
60
Ikan mengalami kematian secara bertahap
0%
100%




Pemberian detergen sebanyak 3gr
A16
3
Gerakan operkulum melemah, pendarahan pada insang, gerakan melambat
100%
0%







6 (enam)
5
Gerakan operkulum semakin melemah, pendarahan pada insang semakin banyak, ikan mulai diam dan tidak bergerak
100%
0%
9
Semua ikan mati
0%
100%
Pemberian detergen sebanyak 6gr
A17
3
Ikan mulai mengalami pendarahan pada operkulumnya, ikan mulai tidak bergerak
100%
0%
5
Salah satu ikan bergerak ke atas untuk mengambil oksigen
100%
0%
10
Semua ikan mati
0%
100%
Pemberian detergen sebanyak 1gr + 3gr + 6gr (diberi selang waktu 10 menit dalam penambahan detergen)
A18
10 (1gr)
Ikan susah bernafas dan gerakannya pasif
100%
0%
20 (1gr pertama + 3gr)
Gereken operkulum melemah, ikan mulai gelisah, 2 ikan mulai tidak bergerak dan 1 ikan mati
100%
0%
30 (1gr pertama+3gr kedua + 6gr)
Ikan mengalami pendarahan, ikan bergerak ke atas untuk mencari oksigen, lalu ikan mulaimati dan mengeluarkan banyak lendir
0%
100%



B.   Pembahasan

Telah dilakukan praktikum mengenai adaptasi organism akuatik terhadap perubahan variable lingkungan. Adapun bentuk adaptasi yang dilakukan adalah adaptasi terhadap suhu, pH, dan surfaktan deterjen. Dalam setiap perlakuan dan perubahan lingkungan tersebut, ikan mengalami respon yang berbeda-beda terhadap setiap perlakuan. Hal tersebut berkaitan dengan cara ikan menanggapi perubahan variable lingkungan dan kondisi tubuh ikan, berikut pembahasannya:

Adaptasi Organisme Terhadap Suhu
Organisme akuatik seperti ikan telah beradaptasi pada suhu lingkungan tertentu. Suhu rendah di bawah normal dapat menyebabkan ikan mengalami lethargi, kehilangan nafsu makan, dan menjadi menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Dan sebaliknya pada suhu yang tinggi membuat ikan mengalami stress pernapasan dan bahkan dapat menyebabkan kerusakan insang permanen.

Peningkatan suhu perairan sebesar 100C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi (Effendi 2003).

Pada percobaan kali ini digunakan ikan nila(Oreochromis niloticus).  Pada perlakuan terhadap suhu panas, ternyata suhu panas memberikan pengaruh terhadap perubahan bobot ikan dimana pada suhu 350C dan 400C ikan mengalami pertambahan bobot. Tetapi pada suhu 450C ikan justru mengalami penurunan bobot. Berarti ikan masih dapat beradaptasi pada suhu 350C dan 400C tetapi pada suhu 450C ikan sudah tidak bisa beradaptasi lagi sehingga menyebabkan bobotnya turun. Hal ini disebabkan karena suhu tinggi dapat menyebabkan kekeringan sel akibat penguapan, sehingga kekentalan protoplasmanya meningkat (Effendi 2003).

Tingkah laku ikan nila pada suhu 350C, 400C, 450C cenderung aktif namun pada suhu 450C  ikan banyak yang kulitnya mengalami kerusakan dan ikan mendekati aerator. Kulit yang mengalami kerusakan disebabkan karena pada suhu tersebut terjadi pengeringan sel pada ikan karena penguapan dan ikan mendekati aerator karena kandungan oksigen terlarut di akuarium  mulai berkurang sehingga ikan mendekati aerator. Pada tabel 3 diketahui bahwa pada kontrol, suhu mortalitasnya sebesar 100%. Dari data ini berarti diketahui bahwa kisaran toleransi suhu pada ikan yang mematikan adalah pada suhu suhu tersebut. Pada suhu 350C kandungan oksigen terlarut sudah mulai sedikit dan tidak cukup untuk kebutuhan ikan yang ada di akuarium sehingga ikan menjadi mati.

Pada perlakuan suhu panas terhadap ikan lele (Clarias batracus) suhu panas juga memberikan pengaruh pertambahan bobot dimana pada kontrol dan gradual bobotnya bertambah sedangkan pada suhu 350C, 400C, dan 450C bobotnya tetap. Hal ini berarti ikan lele masih bisa beradaptasi  pada suhu 400C sekalipun dan bobotnya juga tidak turun. Tingkah laku ikan lele pada suhu panas masih bisa untuk bergerak namun perlahan lahan bagian kulitnya ada yang rusak atau terluka. Pada suhu 450C ikan lele mati dalam waktu kurang dari 1 menit. Selain itu pada suhu 400C ikan lele mati dalam waktu di atas 1 menit. Hal ini disebabkan adanya penguapan sehingga selnya menjadi kering dan oksigen terlarut yang sudah sedikit akibat suhu yang panas sehingga menyebabkan ikan menjadi mati. Pada tabel 6 diketahui bahwa pada kontrol dan suhu 350C kelangsungan hidup ikan lele sebesar 100%. Tapi pada suhu 400C dan 450C mortalitasnya sebesar 100%. Pada gradual kelangsungan hidup sebesar 33,3% dan mortalitasnya sebesar 66,6%. Hal ini menunjukkan bahwa kisaran toleransi suhu panas pada ikan lele yaitu sebesar 400C. Bila dibandingkan dengan ikan mas, kisaran toleransi ikan lele lebih besar yakni 40%. Hal ini disebabkan karena ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan yaitu arboresen yang menyebabkan ikan lele bisa beradaptasi pada kondisi yang lebih ekstrim dibandingkan dengan ikan mas dan juga memiliki kisaran toleransi yang lebih baik.

Pada perlakuan suhu dingin memberikan pengaruh terhadap bobot ikan yang bisa dilihat pada tabel. Bobot ikan mengalami penurunan akibat respon ikan terhadap lingkungannya yang baru dan adanya aktivitas yang berlebihan dalam rangka beradaptasi terhadap lingkungan yang baru. Penurunan suhu akan menghambat proses fisiologis bahkan menyebabkan hewan tidak aktif dan lebih jauh dapat menyebabkan kematian karena proses fisiologis menurun maka kandungan air dalam tubuh berkurang dan menyebabkan penurunan bobot tubuh ikan (Effendi 2003). Tingkah laku ikan pada suhu dingin lebih banyak diam dan pingsan. Hal ini terjadi karena terhambatnya proses fisiologis ikan sehingga ikan lebih banyak diam dan pingsan. Kelangsungan hidup pada kontrol, suhu 200C, dan gradual sebesar 100% namun pada suhu 100C dan 50C mortalitasnya mencapai 100%. Hal ini berarti suhu 100C merupakan kisaran toleransi yang mematikan untuk ikan.

Bobot ikan mengalami penurunan kemungkinan terjadi karena aktivitas ikan yang semakin meningkat. Ketika suhu dinaikkan, maka metabolisme tubuh ikan meningkat pula. Hal ini didukung oleh pendapat Dumairy (1992) dalam Mulyadi (1999), yang menyatakan bahwa air yang hangat pada umumnya akan memacu metabolisme. Sehingga ikan memerlukan energi untuk melakukan pergerakan, sedangkan di lain pihak ikan tidak mendapat asupan energi dari luar (misalnya : pakan). Akibatnya energi yang tersedia di dalam tubuh ikan habis dan tidak cukup untuk mempertahankan hidup hingga akhirnya ikan mati. Selain itu, kemungkinan lain adalah karena ketersediaan oksigen yang terlarut di dalam air sedikit. Sehingga proses metabolisme tubuh ikan yang membutuhkan oksigen tidak berlangsung efektif. Peristiwa ini terjadi karena ketika suhu dinaikkan maka DO akan semakin sedikit. Hal ini didukung oleh pendapat Lesmana (2001) yang menyebutkan bahwa makin tinggi suhu maka makin sedikit oksigen dapat larut. Akhirnya ikan-ikan yang berada dalam akuarium kekurangan oksigen, metabolisme terhambat, bobot tubuh berkurang.

Tingkah laku ikan pada kondisi suhu kontrol 27oC maupun 35oC terlihat normal. Hal ini dikarenakan kondisi suhu perairan yang sesuai dengan habitat hidup ikan. Sehingga segala aktivitas masih berjalan normal. Hal ini didukung oleh pendapat Lesmana (2002) yang menyebutkan bahwa penurunan atau kenaikan suhu yang terjadi perlahan-lahan tidak akan terlalu membahayakan ikan. Ikan. Berbeda halnya ketika ikan diberi perlakuan suhu 40oC, 45oC bahkan perlakuan gradual. Ikan mengalami stress, kemudian mengalami suffocation bahkan mati. Perisitwa ini dimungkinkan karena ikan stress ketika menghadapi kondisi suhu perairan yang berbeda dengan kondisi habitat aslinya. Metabolisme tubuh yang meningkat pula menyebabkan konsumsi oksigen juga semakin bertambah, sehingga DO menjadi rendah. Hal ini didukung oleh pendapat Lesmana (2002) bahwa suhu makin naik maka reaksi kimia akan makin cepat, sedangkan konsentrasi gas dalam air akan makin turun, termasuk oksigen. Akibatnya, ikan akan membuat reaksi toleran atau tidak toleran (sakit sampai mati). Selain itu, diakibatkan karena  ikan stress, ketika kondisi perairan berubah ekstrim dan mendadak. Sehingga ikan akhirnya mati. Alasan ini didukung oleh Arinardi (1989) dalam Mulyadi (1999) yang menggambarkan bahwa kenaikan temperature 2-3oC akan mengakibatkan organisme perairan mengalami stress.

Ikan-ikan mengalami penurunan bobot tubuh ketika diberi perlakuan suhu rendah mungkin karena ikan mengalami kekurangan oksigen. Ketika suhu lingkungan diturunkan, maka kerja fisiologis di dalam tubuh ikan terganggu, detak jantungnya menurun, sehingga kemampuan Hb mengikat oksigen menurun, akhirnya metabolisme tubuh terganggu. Akibatnya ikan tidak mampu bertahan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Lesmana (2002), yang menyatakan bahwa    pengaruh suhu rendah terhadap ikan adalah rendahnya kemampuan mengambil oksigen. Kemampuan rendah ini disebabkan oleh menurunnya detak jantung. Pengaruh lain ialah proses osmoregulasi terganggu. Pada suhu yang turun mendadak akan terjadi degenerasi sel darah merah sehingga proses respirasi (pernapasan atau  pengambilan oksigen) terganggu.

Tingkah laku ikan yang tidak normal, bahkan mati ketika ditempakan di suhu air yang rendah akan menyebabkan aktifitas fisiologis di dalam tubuh ikan terhambat. Aktifitas ikan menurun, ikan menjadi tidak aktif bahkan  tidak mau berenang. Daya tahan tubuh ikan menurun ketika suhu diturunkan  sehingga ikan pingsan. Hal ini sesuai dengan pendapat Lesmana (2002) bahwa suhu rendah dapat menyebabkan ikan tidak aktif, bergerombol, serta tidak mau berenang dan makan. Selain itu, metabolisme dalam tubuh ikan tergantung pada suhu lingkungannya, termasuk kekebalan tubuhnya. Namun ketika ikan diberi perlakuan denga suhu 20oC ikan tidak ada yang pingsan, hal ini dimungkinkan karena ikan nila masih mampu mentolerir penurunan suhu tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2001) yang menyatakan bahwa ada ikan yang mampu mentolerir perubahan lingkungan tersebut, bahkan yang mendadak sekalipun, tetapi adapula yang tidak. Ikan diberi perlakuan gradual pada saat suhu air diturunkan menjadi 5oC langsung menyebabkan ikan pingsan. Hal ini juga dimungkinkan karena ikan mengalami stress. Hal ini sesuai dengan pendapat Cech (2005) dalam Cordova (2008) yang menyebutkan bahwa perubahan suhu secara ekstrim dapat mematikan biota.

Ikan memiliki lendir dipermukaan kulitnya karena lendir tersebut merupakan cairan yang dapat melindungi ikan dari suhu air yang panas. Bilamana suhu suatu perairan meningkat melebihi kisaran toleransinya sebagai akibat masuknya limbah yang bersuhu tinggi, maka akan menyebabkan menurunnya kandungan O2 terlarut, meningkatnya daya toxik dari suatu bahan beracun. (Brotonidjoyo. 2001)

Adaptasi Organisme Terhadap pH
Dalam menentukan kualitas air pH berperan sangat penting sebagai parameter karena pH mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di air. .Pada perlakuan asam terhadap perubahan bobot ikan mempunyai pengaruh terhadap bobot ikan. Bobot ikan mengalami penurunan pada pH asam. Hal ini mungkin disebabkan respon ikan terhadap pH asam dan adanya aktifitas fisiologis yang berlebihan dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Agar proses fisiologis dalam tubuh berjalan normal, maka diperlukan suatu tekanan osmotic yang konstan. Pertumbuhan ikan dapat berlangsung dengan baik jika salinitas media mendekati konsentrasi ion dalam darahnya (Rahardjo 1980 dalam Damayanti 2003). Tingkah laku ikan yang paling terlihat yaitu ikan mengeluarkan lendir. Tingkat kelangsungan hidup ikan pada kontrol sebesar 100% namun pada pH 2, 3, dan 4 mortalitasnya sebesar 100%. Hal ini berarti pH 4 merupakan kisaran toleransi yang mematikan bagi ikan mas. Dengan adanya penurunan pH menyebabkan ikan keracunan dan mati. Kisaran pH perairan yang cocok antara 5 – 8,7. Pada kisaran pH tersebut cukup memenuhi syarat untuk kehidupan ikan (Cahyono 2001).

Pada perlakuan pH basa terhadap, memberikan pengaruh terhadap perubahan bobot ikan. Pada tabel 18 dan 21 terlihat bahwa bobot ikan mengalami penurunan. Tingkah laku dari ikan cenderung melemah dari waktu ke waktu. Tingkat kelangsungan hidup ikan pada kontrol, pH 7, 8, 9 sebesar 100% namun pada gradual mortalitasnya sebesar 100%. Hal ini disebabkan karena pH tersebut masih dalam kisaran pH yang cocok untuk ikan sehingga kelangsungan hidupnya tinggi namun tidak pada gradual. Pada ikan tingkat kelangsungan hidup pada kontrol sebesar 100%, pH 7 dan 8 sebesar 80 %, pH 9 sebesar 60% dan gradual sebesar 20%, pH 7, 8, 9 masih merupakan kisaran toleransi yang baik bagi ikan lele dan ikan mas dimana ikan ikan tersebut masih bisa untuk beradaptasi.

Dilihat pada tabel di atas, ikan yang berada pada air yang ditambahkan dengan 40 tetes dan 50 tetes HCl tidak berubah atau tetap. Sedangkan ikan yang berada di air yang tidak ditetesi HCl, ditetesi HCL 80 tetes dan perlakuan pemberian HCl secara bertahap menunjukkan kenaikan bobot tubuh. Hal ini dimungkinkan karena ikan ikan ketika ditempatkan di kondisi perairan yang asam atau pH rendah akan mencoba beradaptasii untuk perubahan pH ini. Ikan akan mengeluarkan lendir dari dalam tubuh untuk mempertahankan diri. Sehingga bobot ikan tidak berkurang maupun bertambah. Namun, bobot tubuh ikan ada yang meningkat ketika diberi kondisi lingkungan air yang sangat ekstrim. Hal ini dimungkinkan karena ketika ikan terlalu banyak mengsekresikan lendir, sehingga lendir yang terlampau berlebihan menutupi aliran air yang keluar tubuh ikan. Sehingganya air akan mengisi rongga sel yang ada di dalam tubuh ikan. Bobot ikan akhirnya bertambah. Hal ini didukung oleh pendapat Lesmana (2002) bahwa perubahan pH secara perlahan akan menyebabkan lendir keluar berlebihan.

Ikan ketika diberi perlakuan dengan kondisi perairan yang asam akan semakin aktif bergerak dan menuju permukaan air untuk mengambil oksigen. Ikan beradaptasi dengan kondisi perairan yang asam dengan cara mengeluarkan lemdir. Hal ini didukung oleh Pesccod (19730 dalam Mulyadi (1999) yang menyebutkan bahwa masing-masing organisme mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mentolerannsi pH perairan tergantung dari suhu, oksigen terlarut, adanya aktifitas kation, dan anion serta aktifitas biologi.


Adaptasi Organisme Terhadap surfaktan Deterjen
Deterjen mengandung bahan kimia yang disebut surfaktan deterjen. Surfaktan adalah bahan kimia organik sintetis yang banyak digunakan dalam deterjen, produk perawatan, dan bahan pembersih dalam rumah tangga. Surfaktan di dalam perairan dapat menimbulkan rusaknya organ kemoreseptor, berubah pola makan, pertumbuhan lambat dan tingkat kelangsungan hidup larva yang rendah (Abel, 1974).

Menurut Wilbert (1971) pada konsentrasi 5 mg/L Dodecylbenzene Sulfonate dapat menyebabkan pengurangan epitel insang pada ikan. Pada konsentrasi yang sama, lamella insang cenderung bersatu. Semakin besar konsentrasi surfaktan yang diberikan maka semakin besar pula kerusakan sel epitelnya. Efek negatif tersebut dapat bersifat akut atau kronis/subkronis, tergantung pada jangka waktu pemaparan zat yang dapat mematikan 50% atau lebih populasi biota yang terpapar (Mangkoedihardjo, 1999). Bila surfaktan deterjen tersebut sudah melebihi ambang batas bisa menyebabkan kematian pada biota.

Penyebab ikan mati pada air datergen:
·         Detergen merupakan larutan yang bersifat basa. Pada saat dimasukkan ke dalam air, pH air akan meningkat dan dapat menyebabkan larutan buffer. Sehingga pada saat ikan berada pada air detergen, ikan tidak akan dapat beradaptasi di dalamnya.
·         Detergen mengandung senyawa pospat yang bersifat racun, senyawa pospat tersebut tidak dapat terurai di air sehingga senyawa tersebut akan menggumpal. Hal ini menyebabkan daya tahan tubuh ikan akan berkurang, padahal sebelumnya daya tahan tubuhnya masih normal.
·         Detergen memiliki berat jenis yang lebih kecil daripada air, sehingga detergen menutupi permukaan air. Karena detergen menutupi permukaan air, air tidak dapat mengikat O2 dari udara. Kadar O2 di air menjadi berkurang akibatnya ikan yang ada di air menjadi kekurangan O2 dan akhirnya mati. (Brotonidjoyo. 2001).

Penyebab ikan mengeluarkan lendir pada saat berada di air detergen: Hal ini dapat membuat ikan-ikan tersebut kepanasan sehingga mengeluarkan lendir yang lebih banyak lagi. Inilah yang membuat air detergen mengental dipenuhi oleh lendir-lendir ikan tersebut. Selain itu, perbedaan konsentrasi juga membuat ikan tersebut mengeluarkan lendir. Karena konsentrasi air detergen lebih tinggi daripada konsentrasi cairan dalam tubuh ikan, maka terjadi proses osmosis (perpindahan cairan dari konsentrasi yang lebih rendah ke konsentrasi yang lebih tinggi) untuk menyeimbangkan konsentrasi antara air dan ikan. Hal ini mengakibatkan air detergen mengandung lendir dan tubuh ikan akan meyusut karena terlalu banyak mengeluarkan cairan tubuhnya. (Brotonidjoyo. 2001)


Faktor-faktor yang mempengaruhi adaptasi hewan air terhadap lingkungannya.

Faktor-faktor lingkungan sering berfluktuasi, baik yang bersifat harian maupun musiman, kadang-kadang ditemukan kondisi yang ekstrim.  Fluktuasi faktor lingkungan akan mempengaruhi kehidupan organisme, proses-proses fisiologis, tingkah lakunya dan mortalitas.  Untuk mengurangi pengaruh buruk dari lingkungannnya maka ikan melakukan adaptasi.  Adaptasi adalah suatu proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap kondisi baru (Anonim, 2011).

Dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya, hewan memiliki toleransi dan resistensi pada kisaran tertentu dari variasi lingkungan. Kemampuan mentolerir variable lingkungan ini erat kaitannya dengan faktor genetik dan sejarah hidup sebelumnya. Kisaran ekstrim dari variable lingkungan yang menyebabkan kematian bagi organisme disebut zone lethal. Kisaran intermedier dimana suatu organisme masih dapat hidup disebut zone toleransi. Namun demikian posisi dari zone-zone tersebut dapat berubah selama hidup suatu organism (Anonim, 2011).

Ikan akan melakukan mekanisme homeostasi yaitu dengan berusaha untuk membuat keadaan stabil sebagai akibat adanya perubahan variabel lingkungan.  Mekanisme homeostasis ini terjadi pada tingkat sel yaitu dengan pengaturan metabolisme sel, pengontrolan permeabilitas membran sel dan pembuangan sisa metabolism (Anonim, 2011).

Suhu ekstrim, perbedaan osmotik yang tinggi, racun, infeksi dan atau stimulasi sosial dapat menyebabkan stress pada ikan. Jika terjadi stress, maka ikan akan merespon dengan cara:
1.            penurunan volume darah,
2.            penurunan jumlah leucosit,
3.            penurunan glikogen hati,
4.            peningkatan glukosa darah,
5.            menyusutnya diameter lambung
6.            menipisnya lapisar mukosa (Anonim, 2011).


V.     KESIMPULAN DAN SARAN

A.   Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, maka dapat disimpulkan bahwa ikan ketika diberikan kondisi perairan (suhu, pH dan kekeruhan) yang berbeda-beda maka akan memberikan respon tingkah laku dan fisiologis yang berbeda-beda pula. Setiap ikan memiliki kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan perairan dan fluktuasi perairan tergantung jenis dan besarnya pengaruh variabel lingkungan tersebut.

B.   Saran
Sebaiknya digunakan ikan yang lebih besar agar dapat teramati dengan jelas yang terjadi pada tubuh ikan selama pengamatan.

DAFTAR PUSTAKA

Abel PD. 1989. Water Pollution Biology. Chichester: Ellis Horwood Ltd.Brotonidjoyo, M.D. 2001. Zoologi Dasar. Erlangga. Jakarta.
Anonim. 2011. http://www.duniakam pus.co.cc/11/. Diakses pada April  2013.
Arinardi, O. H. 1989. Pengaruh Curah Hujan Terhadap Pertumbuhan Fitoplankton di Teluk Jakarta Pada Tahun 1978. dalam Penelitian Oseanologi Perairan Indonesia Buku I: Biologi, Geologi, Lingkungan & Oseanologi. LIPI. Jakarta Cech (2005) dalam Cordova (2008)
Cahyono, Bambang. (2001). Budi Daya Ikan di Perairan Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Djarijah, AS. 1995. Nila Merah Pembenihan dan Pembesaran Secara Intensif. Kanisius. Yogyakarta.
Effendie, M. I. 1997. Biologi perkanan. Yayasan Pustaka nusantara. Yogyakarta. 163 hal.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Jakarta.
Junaidi, Wawan. 2009. Media Pembelajaran: Definisi mortalitas. http://wawan-junaidi.blogspot.com. Diakses pada April 2013.
Lesmana Darti S. 2002. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rukmana R.1997.Ikan Nila. Budidaya dan Prospek Agribisnis. Kanisius. Yogyakarta.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta. Bandung.
Suyanto, SR. 1994. Nila. penebar swadaya. jakarta.
Suyanto, A. 1998. Mammals of Flores. Dalam Herwint Simbolon (Ed.): The Natural Resources of Flores Island, pp. 78-87. Research and Development Centre for biology, The Indonesian Institute of Sciences, Bogor.
Zulan, Usmi. 2010. Survival Rate dalam Perikanan: http://zonaikan.wordpress.com. Diakses pada April 2013.
.








LAMPIRAN

Tidak ada komentar: