Rabu, 30 Oktober 2013

OSMOREGULASI (Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Air)








OSMOREGULASI
(Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Air)
















Oleh:
Widi Indra Kesuma
1114111058















JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013

I.       PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Kehidupan suatu organisme sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik faktor fisika, faktor kimia dan biologi. Salah satu faktor yang mendukung kehidupan organisme di perairan adalah kadar salinitas dalam perairan.

Tinggi rendahnya salinitas disuatu perairan baik itu air tawar, payau maupun perairan asin akan mempengaruhi keberadaan organisme yang ada di perairan tersebut, hal ini sangat terkait erat dengan tekanan osmotik dari ikan untuk melangsungkan kehidupannya. Ikan akan mengalami stress dan bahkan akan mengalami kematian akibat osmoregulasi yang tidak seimbang.

Perubahan salinitas juga dapat mempengaruhi permeabilitas dinding sel ketika salinitas mengalami perubahan. Pada saat tersebut ikan akan mengalami kecenderungan untuk mampau atau tidaknya ikan untuk melakukan keseimbangan osmotiknya dalam rangka mengatur dan berfungsi dengan normal sesuai dengan kebutuhannya, salinitas dalam suatu perairan pada media yang berbeda juga akan mempengaruhi proses metabolisme untuk pertumbuhannya.

Mengingat betapa pentingnya mengetahui bagaimana ikan menyeimbangkan tekanan yang ada dari dalam tubuh ikan itu sendiri sehingga ikan tetap dapat melangsungkan kehidupannya, maka praktikum ini menjadi begitu penting artinya untuk dilaksanakan.

B.   Tujuan

Tujuan praktikum yaitu untuk mendapatkan salinitas optimum bagi pertumbuhan biota akuatik.


II.      TINJAUAN PUSTAKA

A.     Biologis Ikan
Ikan nila (Oreochromis niloticus).
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang berasal dari sungai nila dan danau-danau yang menghubungkan sungai tersebut. Ikan nila didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969, bibit ikan nila yang ada di Indonesia berasal dari Taiwan adapun dengan ciri berwarna gelap dengan garis-garis vertikal seanyak 6-8 buah dan Filipina yang berwarna merah (Suyanto 1998).

Menurut Saanin (1982), klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah sebagai berikut:
Kingdom     : Animalia
Filum           : Chordata
Sub Filum    : Vertebrata
Kelas           : Osteichtes
Sub Kelas    : Acanthoptherigii
Ordo            : Percomorphii
Sub Ordo     : Percoidae
Famili           : Cichlidae
Genus          : Oreochromis
Spesies        : Oreochromis niloticus

Ikan nila pada umumnya mempunyai bentuk tubuh panjang dan ramping, perbandingan antara panjang dan tinggi badan rata-rata 3 : 1. Sisik-sisik ikan nila berukuran besar dan kasar. Ikan nila berjari sirip keras, sirip perut torasik, letak mulut subterminal dan berbentuk meruncing. Selain itu, tanda lainnya yang dapat dilihat adalah dari ikan nila adalah warna tubuhnya yang hitam dan agak keputihan. Bagian bawah tutup insang berwarna putih, sedangkan pada nila lokal putih agak kehitaman bahkan ada yang kuning. Sisik ikan nila besar, kasar, dan tersusun rapi. Sepertiga sisik belakang menutupi sisi bagian depan. Tubuhnya memiliki garis linea lateralis yang terputus antara bagian atas dan bawahnya. Linea lateralis bagian atas memanjang mulai dari tutup insang hingga belakang sirip punggung sampai pangkal sirip ekor. Ukuran kepalanya relatif kecil dengan mulut berada di ujung kepala serta mempunyai mata yang besar (Merantica 2007).

Ikan nila memiliki karakteristik sebagai ikan parental care yang merawat anaknya dengan menggunakan mulut (mouth breeder) (Effendie 1997 dalam Prasetiyo 2009). Ikan ini dicirikan dengan garis vertikal yang berwarna gelap pada sirip ekornya sebanyak 6 buah. Selain pada sirip ekor, garis tersebut juga terdapat pada sirip punggung dan sirip anal (Suyanto 1994 dalam Saputra 2007 dalam Prasetiyo 2009).

Seperti halnya ikan nila yang lain, jenis kelamin ikan nila yang masih kecil, belum tampak dengan jelas. Perbedaannya dapat diamati dengan jelas setelah bobot badannya mencapai 50 gram. Ikan nila yang berumur 4-5 bulan (100-150 g) sudah mulai kawin dan bertelur Tanda-tanda ikan nila jantan adalah warna badan lebih gelap dari ikan betina, alat kelamin berupa tonjolan (papila) di belakang lubang anus, dan tulang rahang melebar ke belakang. Sedangkan tanda-tanda ikan nila betina adalah alat kelamin berupa tonjolan di belakang anus, dimana terdapat 2 lubang. Lubang yang di depan untuk mengeluarkan telur, sedang yang di belakang untuk mengeluarkan air seni dan bila telah mengandung telur yang masak,dan perutnya tampak membesar (Suyanto, 2003).

Ikan nila merupakan ikan omnivora yang memakan fitoplankton, perifiton, tanaman air, avertebrata kecil, fauna bentik, detritus, dan bakteri yang berasosiasi dengan detritus. Ikan nila dapat menyaring makanannya dengan menangkap partikel tersuspensi, termasuk fitoplankton dan bakteri, pada mukus yang terletak pada rongga buccal. Tetapi sumber nutrisi utama ikan nila diperoleh dengan cara memakan makanan pada lapisan perifiton (FAO, 2006).

Ikan nila merupakan ikan tropis yang menyukai perairan yang dangkal. Ikan nila dikenal sebagai ikan yang tahan terhadap perubahan lingkungan tempat hidupnya. Nila hidup di lingkungan air tawar, air payau, dan air asin. Kadar garam air yang disukai antara 0-35 ppt. Ikan nila air tawar dapat dipindahkan ke air asin dengan proses adaptasi bertahap. Kadar garam air dinaikkan sedikit demi sedikit. Pemindahan ikan nila secara mendadak ke dalam air yang kadar garamnya sangat berbeda dapat mengakibatkan stress dan kematian ikan (Suyanto, 2004).

Tempat hidup Ikan nila biasanya berada pada perairan yang dangkal dengan arus yang tidak begitu deras, ikan ini tidak suka hidup di perairan yang bergerak (mengalir),akan tetapi jika dilakukan perlakuan terhadap ikan nila seperti pengadaptasian terhadap lingkungan air yang mengalir maka ikan nila juga bisa hidup baik pada perairan yang mengalir. (Djarijah, 2002).

Lingkungan tumbuh (habitat) yang paling ideal adalah perairan air tawar yang memiliki suhu antara 14oC – 38 oC, atau suhu optimal 25oC – 30oC. Keadaan suhu yang rendah yaitu suhu kurang dari 140C ataupun suhu yang terlalu tinggi di atas 300C akan menghambat pertumbuhan nila. Ikan nila memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan hidup. Batas bawah dan batas atas suhu yang mematikan ikan nila berturut-turut adalah 11-12oC dan 42oC. Keadaan pH air antara 5 – 11 dapat ditoleransi oleh ikan nila, tetapi pH yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan ikan ini adalah 7- 8. Ikan nila masih dapat tumbuh dalam keadaan air asin pada salinitas 0-35 ppt. Oleh karena itu, ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan laut, terutama untuk tujuan usaha pembesaran (Rukmana, 1997).

Ikan Lele (Clarias batrachus)
Ikan lele (C. batrachus) memiliki kulit berlendir dan tidak bersisik mempunyai pigmen hitam yang berubah menjadi pucat bila terkena cahaya matahari, dua buah lubang penciuman yang terletak dibelakang bibir atas, sirip punggung dan dubur memanjang sampai ke pangkal ekor namun tidak menyatu dengan sirip ekor, panjang maksimum mencapai 400 mm. Ikan lele (C. batrachus) memiliki alat pernapasan tambahan yang disebut Aborescen organ yang merupakan membran yang berlipat-lipat penuh dengan kapiler darah. Alat ini terletak didalam ruangan sebelah atas insang. Dalam sejarah hidupnya lele lele harus mengambil oksigen dari udara langsung, untuk itu ia akan menyembul kepermukaan air.

Secara morfologi dan anatomi ikan lele (C. batrachus) dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu, 1). Bagian kepala (cepal), Lele memiliki kepala yang panjang, hampir mencapai seperempat dari panjang tubuhnya. Kepala lele pipih ke bawah (depressed). Bagian atas dan bawah kepalanya tertutup oleh tulang pelat. Tulang pelat ini membentuk ruangan rongga di atas insang. Di ruangan inilah terdapat alat pernapasan tambahan lele berupa labirin (Mahyuddin dan Kholish, 2011).
Ikan lele (C. batrachus) memiliki kulit berlendir dan tidak bersisik, mempunyai pigmen hitam yang berubah menjadi pucat bila terkena cahaya matahari, dua buah lubang penciuman yang terletak dibelakang bibir atas, sirip punggung dan dubur memanjang sampai ke pangkal ekor namun tidak menyatu dengan sirip ekor, panjang maksimum mencapai 400 mm (Zaldi, 2010).

Habitat atau lingkungan hidup ikan lele (C. batrachus) banyak ditemukan di perairan air tawar, di dataran rendah sampai sedikit payau. Penyebaran lele di Indonesia berada di Pulai Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Ikan lele (C. batrachus) secara alami berada di perairan umum, namum seiring dengan semakin banyaknya petani yang membudidayakan ikan lele (C. batrachus) ini, pemeliharaan ikan lele (C. batrachus) banyak dilakukan di kolam-kolam buatan (Anonim, 2011).

B.     Regulasi ion dan air
Regulasi ion dan air pada ikan terjadi hipertonik, hipotonik atau isotonik tergantung pada perbedaan (lebih tinggi, lebih rendah atau sama) konsentrasi cairan tubuh dengan konsentrasi media hidupnya. Perbedaan tersebut dapat dijadikan sebagai strategi dalam menangani komposisi cairan ekstraselular dalam tubuh ikan. Untuk ikan-ikan potadrom yang bersifat hiperosmotik terhadap lingkungannya dalam proses osmoregulasi, air bergerak ke dalam tubuh dan ion-ion keluar ke lingkungan dengan cara difusi. Keseimbangan cairan tubuhnya dapat terjadi dengan cara meminum sedikit air atau bahkan tidak minum sama sekali. Kelebihan air dalam tubuhnya dapat dikurangi dengan membuangnya dalam bentuk urin. Untuk ikan-ikan oseanodrom yang bersifat hipoosmotik terhadap lingkungannya, air mengalir secara osmose dari dalam tubuhnya melalui ginjal, insang dan kulit ke lingkungan, sedangkan ion-ion masuk ke dalam tubuhnya secara difusi. Sedangkan untuk ikan-ikan eurihalin, memiliki kemampuan untuk dengan cepat menyeimbangkan tekanan osmotik dalam tubuhnya dengan media (isoosmotik), namun karana kondisi lingkungan perairan tidak selalu tetap, maka proses ormoregulasi seperti halnya ikan potadrom dan oseanodrom tetap terjadi (Kaneko, dkk., 2002).

Karena tekanan osmosis air laut lebih tinggi daripada cairan tubuh ikan maka air akan mengalir dari dalam tubuh ikan ke lingkungannya melalui difusi melewati ginjal dan mungkin juga kulit, sebaliknya garam-garam akan masuk ke dalam tubuh juga melalui proses difusi, karenanya ikan melakukan osmoregulasi untuk mempertahankan keseimbangan konsentrasi garam antara tubuh dan lingkungan dengan cara memperbanyak minum air laut (Fujaya, 1999).

Secara umum kulit ikan merupakan lapisan kedap, sehingga garam di dalam tubuhya tidak mudah “bocor” ke dalam air. Satu-satunya bagian ikan yang berinteraksi dengan air adalah insang. Air secara terus-menerus masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang. Proses ini secara pasif berlangsung melalui suatu proses osmosis yaitu terjadi sebagai akibat dari kadar garam dalam tubuh ikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lingkungannya. Sebaliknya, garam akan cenderung keluar. Dalam keadaan normal proses ini berlangsung secara seimbang. Peristiwa pengaturan proses osmosis dalam tubuh ikan ini dikenal dengan sebutan osmoregulasi. Tujuan utama osmoregulasi adalah untuk mengontrol konsentrasi larutan dalam tubuh ikan. Apabila ikan tidak mampu mengontrol proses osmosis yang terjadi, ikan yang bersangkutan akan mati, karena akan terjadi ketidakseimbangan konsentrasi larutan tubuh yang akan berada di luar batas toleransinya (Takeuchi, dkk., 2003).

Ada tiga pola regulasi ion dan air, yakni : (1) Regulasi hipertonik atau hiperosmotik, yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi dari konsentrasi media, misalnya pada potadrom (ikan air tawar). (2) Regulasi hipotonik atau hipoosmotik, yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh yang lebih rendah dari konsentrasi media, misalnya pada oseandrom (ikan air laut).; (3) Regulasi isotonik atau isoosmotik, yaitu bila konsentrasi cairan tubuh sama dengan konsentrasi media, misalnya ikan-ikan yang hidup pada daerah estuari.

Organ-organ yang berperan dan berfungsi pada proses osmoregulasi yaitu : (1) Insang, pada insang sel-sel yang berperan dalam osmoregulasi adalah sel-sel chloride yang terletak pada dasar lembaran-lembaran insang; (2) Ginjal, melakukan dua fungsi utama: pertama, mengekskresikan sebagian besar produk akhir metabolisme tubuh, dan kedua, mengatur konsentrasi cairan tubuh; (3) Usus, Meminum air laut adalah sumber utama air pada teleostei oseanodrom untuk mengembalikan air yang hilang melalui difusi insang, ginjal, dan mungkin pula melalui kulit (Fujaya, 2004).

C.     Osmoregulasi
Osmoregulasi adalah pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi kehidupan ikan sehingga proses-proses fisiologis berjalan normal. Ikan mempunyai tekanan osmotik yang berbeda dengan lingkungannya, oleh karena itu ikan harus mencegah kelebihan air atau kekurangan air, agar proses-proses fisiologis di dalam tubuhnya dapat berlangsung dengan normal. Pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh pada ikan ini disebut osmoregulasi (Rahardjo, 1980).

Proses osmoregulasi yang terjadi adalah pengaturan konsentrasi ion-ion bukan konsentrasi cairan tubuh, dimana proses ini juga membutuhkan energi. Bila ikan air tawar dimasukkan dalam medium air laut maka yang akan terjadi adalah pemasukan air dalam tubuh ikan dari medium dan juga berusaha mengeluarkan sebagian garam-garam dari dalam tubuhnya. Bila ikan tidak dapat melakukan proses ini, maka sel-sel ikan akan pecah (turgor) dan jika terjadi sebaliknya ikan akan kekurangan cairan atau biasa disebut dehidrasi (Soeseno, 1997).

Proses osmosis terjadi pada sel hidup di alam. Perubahan bentuk sel terjadi jika terdapat pada larutan yang berbeda. Sel yang terletak pada larutan isotonik, maka volumenya akan konstan. Dalam hal ini, sel akan mendapat dan kehilangan air yang sama. Banyak hewan-hewan laut cairan selnya bersifat isotonik dengan lingkungannya. Jika sel terdapat pada larutan yang hipotonik, maka sel tersebut akan mendapatkan banyak air, sehingga bisa menyebabkan lisis (pada sel hewan), atau turgiditas tinggi (pada sel tumbuhan). Sebaliknya, jika sel berada pada larutan hipertonik, maka sel banyak kehilangan molekul air, sehingga sel menjadi kecil dan dapat menyebabkan kematian. Pada hewan, untuk bisa bertahan dalam lingkungan yang hipotonik atau hipertonik, maka diperlukan pengaturan keseimbangan air, yaitu dalam proses osmoregulasi (Marshall dan Grosell, 2006).



III.    METODELOGI

A.     Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Senin tanggal 15 April 2013 pukul 10.00 WIB bertempat di Laboratorium Perikanan Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

B.   Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah akuarium, aerator, timbangan digital, ember, gayung, lap, stopwatch, gelas cup, refraktometer, dan terminal listrik. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan, garam, aquades dan air.


C.   Metode Kerja
1.    Adaptasi Organisme Terhadap Salinitas.
a.    Akuarium disiapkan.
b.    Setiap pasang akuarium diberi 10 liter air dengan salinitas yang berbeda-beda, masing-masing : 3, 9, 13, 16, 20, 23, 25, 26, 30 dan 31 ppt.
c.    Kemudian pada masing-masing media tersebut dimasukkann 5 ekor ikan yang telah dipuasakan selama 24 jam dan telah dihitung bobotnya.
d.    Kondisi media harus dalam keadaan baik terutama kadar oksigennya.
e.    Menghitung laju frekuensi dan laju tutup insang.
f.     Menghitung laju frekuensi dan laju gerakan sirip dada sebagai indicator respon pergerakan.
g.    Mengamati reaksi terhadap sentuhan lidi sebagai indicator respon syaraf kulit.
h.    Mengamati tingkah laku ikan lalau timbang berat ikan.
i.      Hitung penurunan berat ikan.
j.      Hitung juga SRnya.


IV.    HASIL DAN PEMBAHASAN
A.   Hasil.






Kelompok
Perlakuan
Aquarium
Waktu
(menit)
Respon
SR
SGR
1
Kontrol
1
15
Ikan berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem saraf mata.
100%
0%
30
Ikan berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem saraf mata.
45
Ikan berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem saraf mata.
60
Ikan berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem saraf mata.
Salinitas 1 ppt
2
15
Ikan terlihat berenang aktif,  Bukaan operculum sebanyak 1797 kali.

100%
0%
30
Ikan mengeluarkan feses. Bukaan operculum sebanyak 1570 kali.

45
Ikan terlihat mulai pasif dan mengeluarkan banyak . Bukaan operculum sebanyak 1365 kali.

60
Ikan berenang pasif, terlihat lemas dan berdiam di dasar. Bukaan operculum sebanyak 675 kali dan berat badan menyusut 2 gram

Salinitas 5 ppt
3
15
Ikan terlihat bergerak aktif dan pembukaan operculum terlihat cepat

100%
0%
30
Gerakan ikan masih stabil dan ikan mengeluarkan feses

45
Ikan mulai pasif dan cenderung berenang ke bawah

60
Ikan banyak megeluarkan feses dan pergerakan mulai lambat

2
Salinitas 10 ppt
3
10
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum sebanyak 1249 dan 1346 kali.
100%
0%
20
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum sebanyak 1207 dan 1008 kali.
30
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum sebanyak 1207 dan 1167 kali.
40
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum sebanyak 1136 dan 1205 kali.
Salinitas 15 ppt
1
10
Ikan masih berenang aktif dan normal serta kontrol saraf kulit masih berjalan. Bukaan opeculum sebanyak 920 dan 938 kali.
100%
0%
20
Ikan masih berenang aktif dan normal serta kontrol saraf kulit masih berjalan. Bukaan opeculum sebanyak 1080 dan 980 kali.
30
Pergerakan ikan stabil tetapi bukaan operculum semakin cepat dengan bukaan sebanyak 1150 dan 1060 kali.
Salinitas 20 ppt
2
10
Pergerakan ikan stabil dan tenang. Bukaan operculum sebanyak 870 dan 890 kali.
100%
0%
20
Pergerakan ikan stabil dan tenang, respon syaraf masih aktif serta bukaan operculum semakin cepat dengan bukaan sebanyak 1005 dan 1010 kali.
30
Ikan sering berenang ke permukaan, syaraf mata tidak bekerja dan jumlah bukaan operculumnya adalah 1007 dan 1005 kali.
3
Salinitas 25 ppt
7
15
Pergerakan ikan lambat, terkadang aktif, berenang miring dan diatas permukaan. Gerakan operculum 1755.
100%
0%
30
Berenang didasar, dengan keadaan miring, pergerakan sirip 116 kali per menit.
45
Berenang didasar, respon aktif. Pergerakan operculum 2175.
60
Respon mulai lambat, berenang didasar dan sirip tidak bergerak. 
Salinitas 30 ppt
8
15
Pergerakan ikan lambat, terkadang ikan berenang agresif, Bukaan operculum sebanyak 1710 kali.
100%
0%
30
Respon mata ikan masih baik, gerakan melambat, gerakan sirip 56 kali per menit.
45
Ikan mulai pasif, namun respon mata dan kulit masih baik. Gerakan operculum 2280.
60
Ikan berenang didasar dan gerakan pasif, gerakan sirip 93 kali per menit.
Salinitas 32 ppt
9
15
Ikan masih aktif bergerak, berenang didasar, pergerakan operculum 1724.
100%
0%
30
Respon ikan terhadap gerakan masih baik. Berenang di permukaan. Gerakan sirip 95 kali per menit.
45
Pergerakan mulai lambat, mengeluarkan feses dan mengeluarkan lendir. Pergerakan operculum 2320.
60
Respon lambat, berenang didasar. Gerakan sirip 90 kali per menit.
4
Salinitas 5 ppt
10
15
Ikan berenang pasif, respon mata baik dan respon lambat serta bukaan operculum lebar dan cepat dengan jumlah bukaan sebanyak 2000 kali.
100%
0%
30
Respon mata ikan menurun, respon terhadap sentuhan aktif, satu ekor ikan berenang pasif. Bukaan operculum sebanyak 2000 kali.
45
Respon sirip ikan melambat, pergerakan ikan melambat, satu ekor ikan berenang pasif dan bukaan operculumnya sebanyak 1500 kali.
60
Satu ekor ikan berenang pasif dan respon matanya menurun, bukaan operculum kecil dan lambat dengan bukaan sebanyak 1250 kali.
Salinitas 15 ppt
11
15
Operkulum membuka lebar, ikan masih bergerak aktif. Gerakan operkulum 1760 kali
100%
0%
30
Bukaan operkulum lebar, ikan berenang dipermukaan dan gerakan melambat. Gerakan operkulum 1430 kali
45
Ikan mengambil oksigen dipermukaan dan berenang dipermukaan, ikan mengeluarkan feses. Gerakan operkulum 1250 kali
60
Respon ikan menurun, ikan terlihat stres dan mengeluarkan feses. Gerakan operkulum 970 kali
Salinitas 30 ppt
12
15
Ikan berenang miring dan dipermukaan, ikan terlihat stres, bukaan operculum membesar, gerakan melambat, dan ikan berkumpul. Gerakan operkulum 1210 kali
0%
0,5%
30
Ikan mengambil oksigen dipermukaan, gerakan dan respon ikan melambat. Gerakan operkulum 702 kali
45
Ikan terlihat lemas dan mengapung, ikan terkadang melompat, tiga ikan mati pada menit ke-32. Gerakan operkulum 65 kali
60
Operkulum membuka lebar, ikan masih bergerak aktif. Gerakan operkulum 1760 kali



B.   Pembahasan

Telah dilakukan praktikum mengenai adaptasi organisme akuatik terhadap perubahan variable lingkungan.

Tekanan osmotik (salinitas) media optimum ikan adalah 13 ppt. Hal ini ditujukkan oleh nilai Specific Grow Rate (SGR) yang sangat kecil. SGR menunjukkan pertumbuhan bobot tubuh organisme (ikan). Saat diberi perlakuan dengan salinitas 13 ppt, penurunan bobot tubuh ikan sebesar 0,31 %. Sedangkan salinitas optimum ikan nila adalah 9 ppt. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan bobot tubuh ikan nila pada 9 ppt jauh lebih kecil dibandingkan dengan penurunan bobot tubuh ikan nila ketika diberi perlakuan dengan berbagai macam salinitas, yakni hanya sebesar 0,63%.

Tingkah laku ikan nila ketika diberi salinitas antara 3 ppt sampai 30 ppt masih normal. Ikan nila juga masih mampu bertahan hidup. Begitu pula dengan tingkat kelangsungan hidup ikan nila sampai pada 20 ppt masih tinggi. Jika diberi perlakuan dengan media hidup dengan salinitas di atas 20 ppt maka tingkat kelangsungan hidup ikan nila rendah bahkan 0%. Hal ini menunjukkan bahwa ikan nila hanya dapat mentolerir salinitas air sampai sekitar 20 ppt. Ini didukung oleh pendapat William (1979) dalam Anggraeni (2002) yang menyatakan bahwa seluruh organisme memilki beberapa kisaran salinitas dan apabila kisaran tersebut terlampaui maka organisme tersebut akan mati atau pindah ke tempat lain.

Jika dilihat dari tingkah laku ikan, maka ketika diberi perlakuan dengan salinitas 3 ppt, 9 ppt, dan 13 ppt maka ikan masih terlihat normal, berenang dan bergerak normal. Begitu pula dengan tingkat kelangsungan hidup ikan sampai 13 ppt masih sangat tinggi. Namun, ketika ikan diberi perlakuan dengan salinitas di atas 13 ppt, tingkah laku ikan cenderung tidak normal. Hal ini disebabkan oleh karena salinitas media yan diberikan kurang bias ditolerir oleh ikan mas. Sebagai bentuk adaptasi awal terhadap perubahan salinitas, ikan mengeluarkan banyak lendir. Ini kemungkinan karena ikan mengalami stress, sehingga akhirnya bias menyebabkan kematian. Hal ini didukung oleh pernyataan Effendi (2001) yang menyebutkan bahwa ikan air tawar tidak bisa dipaksakan dipelihara dalam air bersalinitas (kadar garam).

Tingkat penurunan bobot tubuh ikan nila terhadap salinitas air yang berbeda-beda sangat berfluktusi. Begitu pula dengan tingkat penurunan bobot tubuh ikan mas. Namun, secara umum terlihat bahwa semakin tinggi dari batas optimum salinitas yang diberikan, maka penurunan bobot tubuh ikan akan semakin tinggi pula, dan bahkan menyebabkan ikan mati. Hal ini disebabkan oleh sistem fisiologis yakni osmoregulasi di dalam tubuh ikan agar mampu menyeimbangkan tekanan osmotik di dalam dan di luar tubuh ikan. Ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh  Musida (2008) yaitu daya tahan hidup organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dengan air (media) lingkungan hidupnya. Pengaturan osmotik itu dilakukan melalui mekanisme osmoregulasi. Ketika salinitas air yang diberikan sesuai dengan salinitas media hidupnya artinya media yang mendekati isoosmotik, maka ikan tidak perlu menngeluarkan energi yang besar untuk melakukan proses osmoregulasi untuk mempertahankan hidupnya. Sebaliknya ketika ikan diberikan dengan salinitas media yang jauh lebih tinggi dengan salinitas habitatnya, maka tentunya ikan akan memerlukan energi yang cukup besar untuk bisa melagsungkan proses osmoregulasi dalam tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Naksara.net (2008) yaitu semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya.

Energi juga diperlukan ikan untuk hidup. Tanpa energi maka ikan tidak bisa hidup. Energi diperoleh ikan dari makanan. Artinya ketika proses osmoregulasi membutuhkan energi yang besar, maka energi yang seharusnya digunakan ikan untuk hidup dan tumbuh tersita untuk proses osmoregulasi. Di pihak lain, ikan dalam percobaan tidak diberi makan, artinya ikan tidak mendapat asupan energi. Sehingganya  cadangan energi yang dimilki ikan akan berkurang, akhirnya bobot tubuhnya menurun dan lama kelamaan ketika cadangan energi habis maka ikan mati. Hal ini didukung oleh pendapat Stickney (1979) dalam Dewi (2006) bahwa ikan yang dipelihara dalam air media dengan salinitas lingkungan tidak sesuai dengan konsentrasi garam fisiologis dalam tubuhnya, energi dari anabolisme makanan yang akan dipakai untuk keperluan kegiatan fisikdan pergantian sel tubuh dengan lingkungannya sehingga proses pertumbuhan terhambat. O-fish (2009) menyebutkan bahwa apabila ikan tidak mampu mengontrol proses osmosis yang terjadi, ikan yang bersangkutan akan mati., karena akan terjadi ketidakseimbangan konsentrasi larutan tubuh yang akan berada diluar batas toleransinya.

Secara keseluruhan jika dibandingkan antara tingkat kelangsungan hidup ikan nila dan ikan mas, maka ikan nila lebih cenderung bertahan hidup pada media dengan salinitas yang relatif tinggi dibandingkan dengan ikan mas. Artinya ikan nila memiliki toeransi salinitas yang lebar dibandingkan dengan ikan mas. Ini didukung oleh pendapat Effendi (2001) yang menyatakan bahwa ikan nila relatif cepat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang baru. Selain itu, juga kemungkinan dikarenakan susunan jaringan insang ikan nila yang cenderung lebih tahan dan kuat terhadap perbedaan salinitas untuk melakukan proses osmoregulasi. Hal ini didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Black (1957) dalam Wulandari (2006) bahwa kelangsungan hidup ikan air tawar di dalam lingkungan berkadar garam bergantung pada jaringan insang dan daya tahan (toleransi) jaringan terhadap garam-garam dan kontrol permeabilitas.

Menurut Wulangi,kartolo.S (1993). Sebagai hewan yang memiliki cairan tubuh hiperosmotik terhadap mediumnya,maka invertebrata air tawar menghadapi dua masalah osmoregulasi yaitu:
  1. Tubuhnya cenderung menggembung karena gerakan air masuk ke dalam tubuhnya mengikuti gradien kadar
  2. Hewan menghadapi kehilangan garam tubuhnya, karena medium di sekitarnya mengandung garam lebih sedikit.
Oleh karena itu invertebrate air tawar sebagai regulator hiperosmotik harus mengatur jumlah air yang masuk dan jumlah garam yang keluar tubuhnya. Pada umumnya regulator hiperosmotik memiliki urin yang lebih encer dari cairan tubuhnya.

Ikan air tawar memiliki osmokosentrasi plasma sebesar 130 – 170 mOsm, urin banyak dan encer. Perbandingan penuntunan titik beku antara medium, cairan tubuh dan urin adalah sebagai berikut : (∆0 = -0,030 C ; ∆I = -0,57 C; ∆u = -0,08 C) dan volume urinnya 200-400 ml/kg/hari. Kulitnya relative impermiabel, sedikit air masuk lewat minum dan makan, tetapi jumlah air yang masuk melalui osmotic melalui insang dan membrane mulut. Kelebihan air yang masuk akan diimbangi dengan eksresi lewat ginjal, sebab ginjalnya memiliki glimeruli yang telah berkembang dengan baik untuk filtrasi. Begitu filtrat melalui tubulus, sebagian besar zat terlarut direabsorbsi, sehingga menghasilkan urin yang encer, namun tidak seencer air tawar, sehingga garam yang hilang selain melalui urin juga melalui difusi dan feses. Garam yang hilang sebagian diganti lewat makanan, sebagian lewat absorpsi aktif dari medium oleh sel-sel khusus pada insang. Klorida diabsorbsi melawan gradient dari medium yang sangat encer.

Untuk penambahan garam, beberapa spesies bergantung terutama pada makanan (Acerina, Perca) sementara yang lain memilki system absorbsi garam secara aktif melalui insang (Leuciscus, Carrasius). Keadaan ini dapat diteliti dengan menempatkan ikan dalam ruang yang bersekat, sehingga bagian kepala dan bagian tubuh belakang dapat dipelajari secara terpisah. Dengan penelitian semacam itu diketahui bahwa pengambilan ion secara aktif terjadi hanya pada ruang bagian depan. Kesimpulannya bahwa kulit hanya berperan kecil dalam pengambilan ion dan kalau ada melalui absorbsi melalui absorsi aktif.

Selain itu ikan yang hidup di air tawar pada umumnya kadar osmotic cairan tubuhnya adalah 300 m0sm per liter dan bersifat hipertonik dibandingkan dengan lingkungannya (air tawar).

Meskipun permukaan tubuhnya biselubungi oleh sisik dan mucus yang relatif impermeabel, manun demikain bayak air yang masuk ke dalam tubuh dan juga terjadi pengeluaran ion-ion melintasi insang yang bersifat sangat permiabel. Selain itu insang disini juga merupakan organ eksresi yang membuang zat buangan bernitrogen dalam bentuk ammonia. Untuk menjaga cairan tubuhnya agar tetap dalam keadaan konstan (keadaan lunak), ikan air tawar secara terus menerus mengeluarkan sejumlah besar air. Ini dilakukan dengan cara memproduksi sejumlah besar filtrat glomerulus dan kemudian dilakukan reabsorbsi pilihan zat terlarut dan tubulus renalis menuju kedalam darah yang terdapat di kapiler peritubuler. Akibatnya terbentuklah urin dengan jumlah besar, bersifat encer (hipotonik bidandingkan dengan darh ikan tersebut), mengandung ammonia dan sedikit mengandung zat terlarut. Ion-ion yang hilang dari cairan tubuh diganti dengan makanan yang dimasukkan kedalam tubuh dari lingkungannnya dengan perantaraan secara khusus yang terdapat di insang. (Wulangi,kartolo.S.1993 : 164-165)


V.     KESIMPULAN DAN SARAN

A.   Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, maka dapat disimpulkan bahwa semakin jauh perbedaan tekanan osmose antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi.

B.   Saran
Sebaiknya digunakan ikan yang lebih besar agar dapat teramati dengan jelas yang terjadi pada tubuh ikan selama pengamatan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. http://www.duniakam pus.co.cc/11/. Diakses pada April  2013.
Djarijah, AS. 1995. Nila Merah Pembenihan dan Pembesaran Secara Intensif. Kanisius. Yogyakarta.
Effendie, M. I. 1997. Biologi perkanan. Yayasan Pustaka nusantara. Yogyakarta. 163 hal.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Jakarta.
Fujaya, Y. 1999. Bahan Pengajaran Fisiologi Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Rineka Cipta. Jakarta.
Kaneko, T., Shiraishi, K., Katoh, F., Hasegawa, S., dan Hiroi, J. 2002. Chloride cells during early life stages of fish and their functional differentiation. Fisheries Science 68: 1-9.
Lesmana Darti S. 2002. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mahyuddin dan Kholish, 2011. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta:    Penebar Swadaya.
Rukmana R.1997.Ikan Nila. Budidaya dan Prospek Agribisnis. Kanisius. Yogyakarta.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta. Bandung.
Suyanto, SR. 1994. Nila. penebar swadaya. jakarta.
Suyanto, A. 1998. Mammals of Flores. Dalam Herwint Simbolon (Ed.): The Natural Resources of Flores Island, pp. 78-87. Research and Development Centre for biology, The Indonesian Institute of Sciences, Bogor.
Takeuchi, K., H. Toyohara, dan M. Sakaguchi. 2000. Effect of hyper- and hypoosmotic stress on protein in cultured epidermal cell of common carp. Fisheries Science 66: 117-123
Wulangi. S kartolo. Prinsip-prinsip fisiologi Hewan. DepDikBud : Bandung.









LAMPIRAN

Tidak ada komentar: