Rabu, 30 Oktober 2013

Perubahan Kelamin pada Ikan Tetra Kongo (Micralestes interruptus)”.






KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Perubahan Kelamin pada Ikan Tetra Kongo (Micralestes interruptus)”.
Makalah ini ditujukan untuk mempelajari lebih lanjut tentang perubahan kelamin pada ikan tetra kongo. Perubahan kelamin tersebut merupakan suatu metode dalam merubah kelamin ikan untuk menjadikannya lebih berkualitas dan lebih bermanfaat.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh anggota kelompok yang telah bekerja keras dalam penyusunan makalah ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan pada kami.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan baik dari segi materi, ilustrasi, contoh, dan sistematika penulisan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik dari para pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Besar harapan kami proposal ini dapat diapresiasi sehingga dapat bermanfaat baik bagi kami sebagai penulis dan bagi pembaca pada umumnya terutama bagi dunia perikanan Indonesia.          

Bandar Lampung, 20 April 2013
Penulis,








DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii

I.       PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang................................................................................. 1
1.2  Tujuan............................................................................................... 2
II.    ISI
2.1  Ikan Tetra Kongo............................................................................. 3
2.2  Seks Reversal..................................................................................... 3
2.3  Seks Reversal pada Ikan Tetra Kongo........................................... 6
III. PENUTUP
3.1  Kesimpulan...................................................................................... 11
3.2  Saran................................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA





















I.                   PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang

Ikan hias dewasa ini merupakan salah satu objek strategis di bidang perikanan. Hal ini telah mendorong meningkatnya kebutuhan ikan hias baik di dalam maupun di luar negeri, yang selanjutnya mendorong pula perkembangan usaha budidaya ikan hias. Pada ikan hias tertentu terdapat perbedaan morfologis antara jantan dan betina, terutama pada nilai estetikanya yang menyebabkan perbedaan harga jual. Ikan tetra Kongo (Micraleptus intterruptus) merupakan salah satu spesies ikan hias yang cukup banyak diminati dan bernilai ekonomis tinggi. Ikan Kongo tetra jantan memiliki nilai jual jauh lebih tinggi daripada ikan betina, karena morfologi tubuhnya yang tampak lebih menarik terutama warnanya yang lebih cerah serta memiliki bentuk sirip yang panjang seperti ikan kumpay. Salah satu program yang bisa dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan tetra Kongo ini adalah menghasilkan individu jantan secara masal, yaitu dengan teknik seks reversal.

Seks reversal merupakan satu teknik yang dapat dilakukan untuk memperoleh keturunan monoseks, yang dalam hal ini adalah ikan jantan. Metode ini dilakukan tujuan utama biasanya untuk memperoleh jenis kelamin jantan secara dini,dimana benih ikan jantan spesifikasi ikan nila lebih cepat tumbuh dan bereproduksi,tidak tergantung dengan faktor alam,lain halnya dengan betina. Selain fungsi diatas,sex reversal juga berfungsi untuk pengendalian pemijahan liar,mendapatkan jenis kelamin yang bernilai ekonomis tinggi.

Metode perubahan kelamin atau sering disebut dengan seks reversal pada ikan tetra kongo ini masih sedikit sekali yang mengetahuinya. Sehingga diperlukannya alternative pemberitahuan yang lebih pada metode perubahan kelamin ikan tetra kongo. Salah satunya adalah dengan makalah atau tulisan yang harapannya bisa dibaca oleh orang lain. Oleh sebab itu, maka dibuatlah makalah perubahan kelamin (seks reversal) ini dengan maksud sebagai media pembelajaran bagi orang lain.

1.2    Tujuan  

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Untuk mengetahui metode dalam proses perubahan kelamin ikan tetra kongo.
b.      Untuk mengetahui tujuan dilakukannya seks reversal pada ikan tetra kongo.
c.       Sebagai media pembelajaran bagi orang lain mengenai seks reversal pada ikan tetra kongo.



































II.         ISI


2.1    Ikan Tetra Kongo

Ikan tetra kongo Micralestes interruptus termasuk dalam famili Charachidae dan berasal dari Afrika. Ikan ini merupakan salah satu jenis yang mudah berkembang biak. Hidupnya baik di lingkungan yang bersuhu antara 23,9o C sampai 26.7OC. Ikan ini memilki sisik yang memantulkan warna pelangi yang cerah dan sangat indah. Saat matang gonad sirip punggung ikan jantan berkembang dan memanjang menyerupai rumbai-rumbai yang dapat menyentuh sirip ekor. Ikan ini memilki telur yang sifatnya nonadhesive dan tenggelam di dasar akuarium (Bird, 1986 dalam Kurniawan, 1996). 

Taksonomi ikan tetra kongo menurut Anonim (2005) adalah sebagai berikut :
http://zonaikan.files.wordpress.com/2012/08/ikan-kongo-tetra.jpg?w=500Filum               : Chordata
Sub Filum        : Craniata
Kelas               : Pisces
Subkelas          : Neoptergi
Ordo                : Cypriniformes
Famili              : Characidea
Genus              : Micralestes
Spesies            : Micralestes interruptus


2.2    Seks Reversal

Sex reversal merupakan cara pembalikan arah perkembangan kelamin ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat belum terdiferensiasinya gonad ikan secara jelas antara jantan dan betina pada waktu menetas. Sex reversal merubah fenotif ikan tetapi tidak merubah genotifnya. ( Masduki, 2010).
Teknik sex reversal mulai dikenal tahun 1937 ketika estradiol 17 b disintesis untuk pertama kalinya di Amerika Serikat. Pada mulanya teknik sex reversal ini diterapkan pada ikan Guppy (Poecilia reticulata), kemudian teknik ini dikembangkan oleh Yamamoto di Jepang pada ikan Medaka (Oryzias latipes). Ikan Medaka betina yang diberi metil testosteron akan berubah menjadi jantan. Dalam perkembangannya, sex reversal tidak hanya dilakukan beberapa hari setelah menetas yaitu sebelum gonad berdeferensiasi tetapi teknologi ini dapat diterapkan pula melalui embrio dan bahkan induk yang sedang bunting. Teknik sex reversal juga dapat diterapkan baik pada ikan konsumsi maupun ikan hias. Sex reversal dilakukan pada budidaya ikan untuk mendapatkan ikan dengan pertumbuhan cepat, mencegah pemijahan liar, mendapatkan penampilan baru serta menunjang genetika ikan (pemurnian ras ikan).( Zairin,2002).

Sedangkan Menurut Gusrina (2008) keuntungan sex reversal dijabarkan sebagai berikut :
1.    Mendapatkan ikan dengan pertumbuhan yang cepat
Pada beberapa jenis ikan konsumsi ada beberapa jenis ikan dimana pertumbuhan ikan jantan mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dari pada ikan betina, misalnya ikan nila, tetapi pada jenis ikan lainnya yaitu ikan mas pertumbuhan ikan betinanya justru lebih cepat dibandingkan dengan ikan jantan. Oleh karena itu bagi para pembudidaya yang akan memelihara jenis ikan tersebut dengan menggunakan populasi tunggal kelamin akan lebih menguntungkan daripada menggnakan  populasi dua kelamin.
2.    Mencegah pemijahan liar
Dalam kegiatan budidaya ikan jika memelihara ikan jantan dan betina dalam satu wadah budidaya, maka tidak menutup kemungkinan ikan tersebut pada saat matang gonad akan melakukan pemijahan yang tidak diinginkan pada beberapa jenis ikan yang memijahnya sepanjang masa, seperti ikan nila, ikan mas.
3.    Mendapatkan penampilan yang baik
Hampir semua jenis ikan hias yang berkelamin jantan mempunyai warna tubuh yang lebih indah dibandingkan dengan ikan bentinanya. Oleh karena itu, jika yang dipelihara pada ikan hias adalah ikan jantan maka akan diperoleh hasil yang lebih menguntungkan karena nilai jualnya lebih mahal.
4.    Menunjang genetika ikan yaitu teknik pemurnian ras ikan
Pada kegiatan rekayasa genetika misalnya ginogenesis akan diperoleh induk ikan yang mempunyai jalur murni. Induk ikan yang jalur murni ini akan mempunyai gen yang homozigot sehingga untuk melakukan perkawinan pada induk yang homozigot tanpa mempengaruhi karakter jenis kelamin ikan tersebut dilakukan aplikasi seks reversal pada induk galur murni sehingga pemurnian gen itu masih tetap bertahan.

Penerapan sex reversal dapat menghasilkan populasi monosex (kelamin tunggal). Kegiatan budidaya secara monosex (monoculture) akan bermanfaat dalam mempercepat pertumbuhan ikan. Salah satu tahap perkembangan ikan adalah larva dan post larva. Pada masa larva, kenampakan luar maupun struktur internal belum berbentuk seperti ikan dewasa. Sedangkan post larva, gonadnya belum berkembang. Perkembangan kelamin (deferensiasi kelamin) selanjutnya dipengaruhi oleh hormon kelamin. Menurut Yamazaki (1983), hormon kelamin merupakan perangsang utama pada gejala reproduksi seperti : diferensiasi gonad, gametogenesis, ovulasi, spermiasi dan pembentukan tanda-tanda kelamin sekunder.

Salah satu cara memperoleh ikan jantan dalam jumlah banyak adalah pembalikan kelamin (sex reversal) dengan pemberian hormon androgen selama masa deferensiasi. Sasaran pembalikan ini adalah ikan bergenotip betina, sebab untuk ikan jantan otomatis akan menjadi bergenotip jantan. Hormon androgen yang diberikan selama masa labil perkembangan gonad mempunyai pengaruh yang lebih dominant disbanding pengaruh hormon estrogen yang dihasilkan oleh gonad. Hormon yang dapat digunakan untuk membuat ikan genotip betina menjadi fenotip jantan adalah 17α metiltestosteron, 11-ketotestosteron, 17α-etiltestosteron, testosterone propionate, androsteron, androtenedione dan metal-androstenedione (Yamamoto 1953).

Metode Sex Reversal:
1.  Hormon Steroid
Salah satu teknik reversal adalah dengan memberikan hormon steroid pada fase labil kelamin. Pada beberapa spesies iakn teleost gonochoristic, fisiologo kelamin dapat dengan mudah dimanipulasi melalui pemberian hormone steroid (piferrer et al. 1994). Nagy et al. (1981) menjelaskan bahwa keberhasilan manipulasi kelamin pada ikan menggunakan hormn dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain : jenis dan umur ikan, dosis hormon, lama waktu, dan cara pemberian hormon serta lingkungan tempat pemberian hormon dilakukan

Ditekankan oleh Hunter dan Donaldson (1983), bahwa keberhasilan pemberian hormone sangat tergantung pada interval waktu perkembangan gonad, yaitu pada saat gonad dalam keadaan labil sehingga mudah dipengaruhi oleh hormon. Hrmon steroid yang dihasilkan oleh jaringan steroidogenik pada gonad terdiri atas hormone androgen untuk maskulinasi, esterogen untuk feminisasi dan progestin yang berhubungan dengan proses kehamilan (Hadley 1992).

Namun pada tahap perkembangan gonad belum terdeferensiasi menjadi jantan atau betina, hormone steroid belum terbentuk sehingga pembentukan gonad dapat diarahkan dengan menggunakan hormone steroid sintetik (Hunter & Donaldson 1983).

Salah satu jenis hrmon steroid sintetik yang banyak digunakan untuk proses sex reversal pada ikan (khususnya ikan nila) adalah hormon 17a-methyltestosterone(mt).

Hormon 17a-methyltestosterone(mt) merupakan hormone androgen yang bersifat stabil dan mudah  dalam penanganan (Yamazaki 1983). Pemberiannya dapat dilakukan secara oral (Misnawati 1997), perendaman embrio alevin maupun larva (Laining 1995) maupun implantasi dan injeksi (Mirza & Shelton 1988).
2.  Aromatase dan Aromatase Inhibitor
Selain dengan hormn steroid, diferensiasi kelamin juga dipengaruhi oleh ekspresi dari gen yang menghasilkan enzim aromatase (Patino 1997). Aromatase adalah enzim cytochrome P-450 yang mengkatalis perubahan dari androgen menjadi esterogen. Aktivitas enzim aromatase terbatas pada daerah dengan target estradiol dan berfungsi untuk mengatur jenis kelamin, reproduksi dan tingah laku (Callard et al. 1990). Ada 2 bentuk gen aromatsae pada ikan yaitu : aromatase otak dan armatase ovari. Aromatase ota berperan sebagai pengatur perilaku sex spesifik pada mamalia dan burung (Schlinger & Callard 1990, diacu dalam Melo & Ramsdell 2001) dan juga mengatur reproduksi pada ikan (Pasmanik et al. 1988, diacu dalam Melo & Ramsdell 2001).

Aktivitas enzim aromatase pada otak teleostei 100-1000 kali lebih tinggi disbanding pada mamalia. Aktivitas enzim aromatase ovary kurang dari 1/10 kali aktivitas enzim aromatase otak. Fungsi cytocrome P-450 pada determinasi jenis kelamin telah teruji Karen merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam proses aromatisasi dari androstenedinione menjadi estrone atau testosterone menjadi estradiol 17ß. Aktivitas enzim aromatase berkorelasi dengan struktur gonad, yaitu larva dengan aktivitas aromatase rendah akan mengarah pada terbentuknya testis, sedangkan aktivitas aromatase yang tinggi akan mengarah pada terbentuknya ovary.

Aromatase inhibitor berfungsi untuk menghambat kerja enzim aromatase dalam sintesis estrogen. Adanya penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah kepada tidak aktifnya transkripsi gen aromatasenya sebagai feedbacknya (Server et al. 1999). Penurunan rasio estrogen terhadap androgen menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai  jantan (terjadi maskulinasi karakteristik seksual sekunder). Secara umum, aromatase inhibitor menghambat aktivitas enzim melalui 2 cara, yaitu dengan menghambat proses transkripsi gen aromatase sehingga mRNA tidak terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada (Server et al 1999). Cara kedua adalah melalui cara bersaing dengan substrat selain testosterone sehingga aktivitas enzim aromatase tidak berjalan (Brodie 1991).


2.3    Seks Reversal pada Ikan Tetra Kongo

Ikan tetra Kongo (Micraleptus intterruptus) merupakan salah satu spesies ikan hias yang cukup banyak diminati dan bernilai ekonomis tinggi. Ikan Kongo tetra jantan memiliki nilai jual jauh lebih tinggi daripada ikan betina, karena morfologi tubuhnya yang tampak lebih menarik terutama warnanya yang lebih cerah serta memiliki bentuk sirip yang panjang seperti ikan kumpay. Salah satu program yang bisa dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan tetra Kongo ini adalah menghasilkan individu jantan secara masal, yaitu dengan teknik seks reversal (Harton. 2002).

Seks reversal merupakan satu teknik yang dapat dilakukan untuk memperoleh keturunan monoseks, yang dalam hal ini adalah ikan jantan. Pengubahan jenis kelamin melalui pemberian hormon 17-metil-testosteron (MT) dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya dengan penyuntikan (Mirza & Shelton 1988), perendaman atau secara oral (melalui makanan) (Eckstein & Spira dalam Hepher & Pruginin 1981).

Pemberian hormon dilakukan sebelum ikan mengalami diferensiasi kelamin, yang biasanya mulai terjadi saat telur akan menetas (Baker et al. 1988), setelah telur menetas dan sebelum atau sesudah ikan mulai makan (Yamazaki 1983). Pemberian secara oral dapat dilakukan dengan mencampurkan hormon dengan pakan buatan atau dengan pakan alami melalui bioenkapsulasi naupli Artemia sp.

Dewasa ini, pemberian hormon melalui pakan banyak dilakukan, tetapi hanya terbatas pada ikan yang dapat menerima pakan buatan dan memerlukan waktu yang cukup lama. Disamping itu, hormon steroid yang digunakan kemungkinan dapat mengalami pencucian (leaching) selama di dalam air (Tan-Fermin et al. 1994). Pemberian hormon melalui bioenkapsulasi naupli Artemia sp. membutuhkan hormon yang lebih sedikit tetapi dari segi teknis, cara ini kurang praktis karena perendaman naupli perlu dilakukan setiap waktu saat larva akan diberi pakan. Disamping itu, penanganan sulit dan memerlukan waktu yang relatif lama dalam proses perendaman.

Bila dilihat dari segi efisiensi waktu dan penanganan serta jumlah hormon yang digunakan maka cara yang paling baik adalah dengan sistem perendaman. Perendaman telur dilakukan pada saat setelah terbentuk bintik mata (eyed eggs). Hal ini sesuai dengan percobaan yang dilakukan oleh Baker et al. (1988) pada telur ikan chinook (Oncorhunchus tshawytcha) yang baru membentuk bintik mata dan akan menetas. Percobaan ini berhasil memperoleh ikan jantan 100% pada konsentrasi hormon MT 0,2 ppm selama 120 menit (Harton. 2002).

Dalam proses perubahan kelamin ini, hal-hal yang perlu dilakukan diantarnya yaitu:
Pengadaan Telur dan Larva
Induk ikan tetra Kongo dipelihara dalam akuarium secara terpisah antara jantan dan betina. Induk diberi makan berupa larva Chironomus beku dengan frekuensi dua kali sehari secara ad libitum. Setelah matang gonad, pada ikan betina dicirikan oleh bagian perut yang gendut, induk dipijahkan secara masal dalam akuarium berukuran 60x30x40 cm dengan perbandingan jantan-betina 1 : 3. Telur yang diperoleh diinkubasi sampai menetas dan larva kemudian dipelihara sampai berumur tujuh hari.

Pemeliharaan Larva
Larva dipeliharan dalam akuarium dan diberi pakan ketika kuning telurnya (yolk sac) akan habis. Larva yang telah berumur tujuh hari diberi perlakuan dengan merendamnya di dalam larutan hormon 17-metiltestosteron dengan dosis 1, 2 dan 4 mg/l. Pelarutan hormon dilakukan dengan cara memasukkan hormon ke dalam 1 ml alkohol 70%, kemudian dimasukkan ke dalam wadah perendaman. Larva yang direndam sebanyak 60 ekor/l dan selama 8 jam. Setelah perendaman, larva dipindahkan ke akuarium pemeliharaan. Setelah berumur empat hari, larva diberi ekstrak kuning telur ayam yang telah direbus. Setelah itu diberi naupli Artemia sp. sampai larva berumur tujuh hari. Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari. Setiap pemberian dilakukan secara terus menerus sampai kenyang. Untuk menjaga kualitas air tetap optimal bagi larva dilakukan penyifonan setiap dua hari dan penggantian air sebanyak sepertiga volume air setiap minggu. Air yang digunakan telah diendapkan selama satu hari(Harton. 2002).

Penentuan jenis kelamin ikan berdasarkan morfologi dapat dilakukan setelah ikan berumur tiga bulan. Bagian spesifik yang dapat membedakan jenis kelamin ikan tetra Kongo adalah sirip ekor. Sirip ekor ikan jantan memiliki satu rumbai pendek, sedangkan pada ikan betina berlekuk tunggal dan tidak memiliki rumbai (Harton. 2002).

Pemberian hormon MT pada stadia larva ikan tetra Kongo dapat merangsang maskulinisasi dilihat dari berkembangnya gonad menjadi ikan berfenotip jantan. Persentase ikan jantan tertinggi yaitu 87,17 % diperoleh pada perendaman larva dalam MT dengan dosis 4 mg/l. Persentase jantan terendah terjadi pada ikan yang tidak diberi MT (kontrol) yaitu sebesar 38,96%. Tingginya persentase jantan pada ikan tetra Kongo yang diberi MT dengan dosis 4 mg/l diduga karena semakin banyak dosis hormon yang diberikan semakin besar pula pengaruhnya terhadap perkembangan alat kelamin (Harton. 2002).

Yamamoto (1969), Nagy et al. (1981) serta Hunter & Donaldson (1983) yang menyatakan bahwa keberhasilan pengubahan kelamin dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis dan dosis hormon yang digunakan, lama perlakuan, spesies ikan, umur ikan saat dimulainya perlakuan dan suhu air pada saat perlakuan. Pada suhu 250C hormon MT akan bekerja secara efektif Nagy et al. (1981).

Perubahan kelamin pada ikan tetra kongo juga dapat menyebabbkan ikan tersebut bersifat hemaprodit, yang dikarenakan adanya proses perkembangan gonad ikan yang kurang stabil dari hormone MT. Jenis hermafrodit ini ditemukan pada ikan tetra Kongo yang diberi MT untuk semua dosis, sedangkan pada ikan yang tidak diberi MT (control) tidak ditemukan. Persentase jenis hermafrodit tertinggi terjadi pada ikan yang diberi MT dengan dosis 4 mg/l yaitu sebesar 17,58%. Hal ini disebabkan pada dosis ini semua individu mengalami perubahan pada perkembangan gonadnya akibat introduksi hormon, namun proses pengubahan kelamin tersebut belum berlangsung sempurna sehingga menghasilkan individu hermafrodit (Harton. 2002).

Proses penyerapan hormon pada tubuh larva diduga terjadi melalui difusi. Penambahan hormon ke dalam media perendaman menyebabkan adanya perbedaan konsentrasi hormon dalam cairan tubuh larva dengan konsentrasi di dalam media. Perbedaan ini selanjutnya menyebabkan terjadinya proses difusi (Harton. 2002).

Dalam pemberian hormone MT juga harus diperhatikan juga berapa banyak hormone yang harus deberikan. Karena jika pemberian hormone yang berlebihan akan berdampak buruk juga pada ikan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Keadaan ini sesuai dengan pernyataan Katz et al. (1976) dalam Hunter & Donaldson (1983), yang menyatakan bahwa pemberian hormon yang berlebihan dapat menyebabkan tingkat kematian yang tinggi atau ikan steril (hermafrodit).

Meningkatnya dosis MT yang diberikan menyebabkan meningkatnya pertumbuhan bobot dan panjang ikan tetra Kongo. Menurut Crus & Barry (1988), steroid anabolik seperti MT dapat memacu pertumbuhan melalui tiga cara yaitu merangsang nafsu makan, merangsang sintesa protein dan menekan perkembangan gonad.

Hormon steroid memiliki molekul yang berukuran kecil sehingga dapat menyebar bebas ke dalam sebagian besar sel badan dan dapat menembus membran plasma. Steroid dapat masuk ke dalam semua sel, tetapi hanya sel sasaran yang memiliki reseptor khusus yang dapat mengikat hormon. Komplek- steroid menembus ke dalam inti sel dan melekat pada daerah akseptor kromosom. Pada daerah efektor, kompleks–steroid–reseptor menyebabkan terjadinya modifikasi sintesis ARN (asam ribo nukleat) kurir yang secara alami ditentukan oleh gen tersebut. Pengarahan sintesis protein dilakukan oleh ARN kurir yang tiap tiga basa berurutannya bekerja sebagai sandi bagi suatu asam amino tunggal. Proses penerjemahan dari bahan nukleotida ke susunan asam amino dilakukan oleh ARN transfer dan keseluruhan proses penerjemahan berlangsung di ribosom (Harton. 2002).








































III.             PENUTUP



3.1    Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
a.       Ikan tetra kongo merupakan salah satu ikan hias yang dapat dirubah kelaminnya untuk mendapatkan hasil yang lebih bagus.
b.      Perubahan kelamin ikan tetra kongo dapat dilakukan salah satunya dengan memberikan hormon MT saat stadia larva.
c.       Perubahan kelamin ikan dengan hormone MT akan menyababkan ikan berkelamin jantan (maskulinasi).

3.2    Saran

Adapun saran yang dapat kami berikan yaitu perlu adanya penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai perubahan kelamin pada ikan tetra kongo agar diperoleh hasil dan kualitas yang bagus dari tetra kongo.















DAFTAR PUSTAKA



Baker, I.J., I.I. Solar & E.M. Donaldson. 1988. Masculinization of chinook salmon (Onchorhynchus tshwytscha) by immersion treatment using 17-methyltestosterone around the time of hatching. Aquaculture, 72: 359-367.
Crus, P.F.S. & T.P. Barry. 1988. Dietary Use of 17-Metiltestosteron, Estradiol-17 and 3,5,3’-Triiodo-L-Thyronine as Potential Growth Promotores for the Spotted Scat (Scatophagus argus L.) in the Philippines. Hawaii Institute of Marine Biology. University of Hawaii at Manos. p: 98-114.
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid I. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Direktorat jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Harton, Arfah., dkk.2002. Jurnal Akuakultur Indonesia: Seks Reversal pada Ikan Tetra Kongo Stadia Larva. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hepher, B. & Y. Pruginin. 1981. Commersial Fish Farming. John Willey and Sons, New York. 261p.
Masduki,E.Sex Reversal.http://www.supm-bone/index.php?aption =com_content dan view= article & id=72;sex-reversal. Diakses 2 November 2011
Mirza, J.A. & W.L. Shelton. 1988. Induction of gynogenesis and sex reversal in silver carp. Aquaculture, 68: 1-14.
Nagy, A., M. Beresenyi & V. Csanyi. 1981. Sex reversal in carp, Cyprinus carpio by oral administration of methyltestosterone. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science, 38: 725-728.
Tan-Fermin, I.D., L.M.B. Garcia & A.R. CastilloJr. 1994. Induction of sex invertion in juvenile grouper, Ephinephelus svillus (Valenciennes) by injections of 17-methyltestosteron. Japanese Journal of Ichthyology, 40: 413-420.
Yamamoto, T. 1953. Artificial Induction of Functional Sex Reversal in Genotipe Males of The Medaka (Oryzias latipes). Jurnal Exp. Zool., 123.
Yamazaki, F. 1983. Sex Control and Manipulation in fish. Aquaculture. 33.
Zairin.2002. Pengaruh Lama Waktu Perendaman Induk dari Dalam Larutan Hormon 17α-metiltetosteron terhadap nisbah koloni Ikan Guppy. Jurnal Aquakultur Indonesia

Tidak ada komentar: