Rabu, 30 Oktober 2013

praktikum mangrove






BAB V. MANGROVE


A.     Pendahuluan

1.    Latar Belakang
Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau. Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuary atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan subtropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat diantara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akanmembentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau,atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai.

Definisi ekosistem mangrove merupakan vegetasi pohon didaerah tropis yang terdapat didaerah intertidal ( pasang surut ) dan mendapat pasokan air laut dan air tawar ( payau ). Karakteristik hutan mangrove diantaranya yaitu memiliki habitat disubstrat yang berlumpur, lempung, dan berpasir, karena substrat ini mempengaruhi species yang tinggal ditempat tersebut. Mangrove hidup diperairan yang bersalinitas payau antara 0,5-30 ppt.

Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat besar, baik ditinjau secara fisik, kimia, biologi, ekonomi, bahkan wahana wisata. Secara fisik hutan mangrove dapat menjaga garis pantai agar tidak terjadi abrasi, menahan sedimen, tiupan angin, dan menyangga rembesan air laut kedarat. Secara kimia hutan mangrove mampum mengolah limbah agar kemungkinan pencemaran sedikit dan yang paling utama menghasilkan oksigen. Secara biologi hutan mangrove merupakaan habitat biota darat dan laut, sebagai daerah asuhan, mencari makan, dan tempat menghasilkan bibit ikan, batangnya dapat dijadikan bahan bakar, bahkan dapat dijadikan suplemen. Dan sebagai fungsi wahan wisata, hutan mangrove dijadikan sebagai tempat penelitian dan tempat wisata.

Secara alami tumbuhan mangrove berkembang biak dengan propagule. Produsen utama dihutan mangrove ini adalah serasah dari daun atau ranting pohon mangrove.

2.    Tujuan
Mengetahui struktur dan komposisi dari vegetasi mangrove berdasarkan nilai penting, indeks keragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansnya.


B.     Tinjauan Pustaka

Kata ‘mangrove’ merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue  dan bahasa Inggris  grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan untuk  komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut dan untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedang dalam bahasa Portugis kata ’mangrove’ digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata ’mangal’ digunakan untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Sedangkan menurut FAO, kata mangrove sebaiknya digunakan untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut.

Menurut Snedaker (1978)  dalam Kusmana (2003), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob.  Sedangkan  menurut Tomlinson (1986), kata mangrove berarti tanaman tropis dan komunitasnya yang tumbuh pada daerah intertidal. Daerah intertidal adalah wilayah dibawah pengaruh pasang surut Sepanjang garis pantai, seperti laguna, estuarin, pantai dan  river banks. Mangrove merupakan ekosistem yang spesifik karena pada umumnya hanya dijumpai pada pantai yang berombak relatif kecil atau bahkan terlindung dari ombak, di sepanjang delta dan estuarin yang dipengaruhi oleh masukan air dan lumpur dari daratan.

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda  (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 2002).

Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala. Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 2004).

Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (2008) adalah:
•  Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit; 
•  Memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;
• Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya,  khususnya pada Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul.
•   Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon. 

Menurut Bengen (2001) flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan.

Menurut Departemen  Kehutanan (1992), kondisi ekologis yang mengatur dan memelihara kelestarian ekosistem mangrove sangat tergantung pada kondisi berimbangnya jumlah ketersedian air tawar dan air masin yang cukup. Menurut Parcival and Womersley (1975) dalam Kusmana (1995) lebih lanjut menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang mempengaruhi hutan mangrove adalah kondisi sedimentasi, erosi laut dan sungai, penggenangan pasang surut dan kondisi garam tanah serta kondisi akibat eksploitasi.


C.     Metodelogi
1.    Waktu dan Tempat
Hari/tanggal           : 18-19 Mei 2013
Waktu                    : 08.00 - selesai
Tempat                  : Pulau Tegal


2.    Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu:
a.    Transek kuadran berukuran 10x10 m, 5x5 m, dan 1x1 m.
b.    Meteran
c.    Alat tulis
d.    Buku identifikasi

3.    Cara Kerja
Langkah kerja yang dilakukan dalam praktikum ini yaitu:
o      Ditentukan stasiun untuk menentukan plot
o      Diletakakan tiga plot pengamatan (substasiun) vegetasi mangrove disepanjang transseck garis
o      Diguanakan tali rafia yang telah ditentukan ukurannya 10 m x 10 m untuk melakukan pengamatan
o      Dicatat jumlah, jenis, dan diameter batang pohon  yang ada didalam plot
o      Diukur dimeter pohon menggunakan dimeter kain
o      Dtentukan plot berukuran 5m x 5 m untuk anakan, dan plot 1 m x 1m untuk semai yang masih didalam plot 10m x 10 m.
o      Diamati jenis biota yang terdapat didalam plot pengamatan
o      Dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali
o      Dihitung kerapatan jenis ( Di ), frekuensi jenis (Fi), luas area penutupan jenis (Ci), dan nilai penting jenis (INP) yang terdapat didalam plot pengamatan .

D.     Hasil dan Pembahasan
1.      Hasil Pengamatan
No.
No. Plot
Pohon
Anakan
Semai

substrat
SP
IND
DB
SP
IND
DB
SP
IND
DB

1
10x10
Aigeceras corniculatum
1
9 cm



Aigeceras corniculatum
4
1 cm
berpasir










1.2 cm











1 cm











1,3 cm



Avirennia alba blume
1
10,14 cm
Averennia alba blume
1
3 cm






Bruguiera cylindrica blume
2
9,14cm
Bruguiera cylindrica blume
1
3cm
Bruguiera cylindrica blume
2
1 cm





9 cm





1 cm


5x5
Aigeceras corniculatum
3
12,5 cm
Aigeceras corniculatum
1
2 cm
Aigeceras corniculatum
2
1 cm





5,7 cm





1 cm





4,9 cm








1x1
Rhizopora apiculata
1
6 cm







2
10x10
Bruguiera cylindrica blume
1
12 cm






berpasir

5x5
Rhizopora apiculata
4
5 cm
Bruguiera cylindrica blume
2
3 cm








7 cm


2 cm








5,5 cm











9 cm









Rhizopora x lamarckii
2
4,5 cm











7 cm








1x1
Rhizopora apiculata
1
3 cm



Rhizopora apiculata
1
0,9 cm




2.      Pembahasan
Praktikum kali ini kami  mengamati ekosistem mangrove yang bertempat di Pantai Ringgung. Pada daerah ini substrat yang kami temukan adalah berpasir dan berlumpur, dan tempat yang kami amati dalam keadaan yang masih alami.

Pada praktikum kali ini kami menghitung ekosistem mangrove dengan menggunakan metode Plot Transect Garis. Dimana metode ini terdiri dari 3 plot yakni plot 10 x 10 m yang masuk dalam kategori pohon, kemudian plot 5 x 5 m untuk kategori anakan, dan plot 1 x 1 m untuk kategori semai.

Disini kami melakukan 3 kali pengulangan , dengan tujuan untuk akurasi data. Data yang kami dapatkan masing-masing plot itu sama, tapi jumlah spesies nya yang berbeda-beda. Spesies yang paling mendominan adalah Rizopora apyculata. Spesies ini banyak terdapat di tempat praktek kami yaitu di daerah Ringgung.

Dari ke-3 plot untuk kategori pohon (10 x 10 m), kami menemukan species Aigeceras corniculatum, berjumlah 1, dengan Di = 0,01 , RDi = 6,25% , Fi = 0,3 , RFi = 5,56 % , Ci = 1,76 , RCi = 1,76 % , sedangkan untuk species  Avirennia alba blume, berjumlah 1, dengan Di = 0,02 , RDi = 6,25 % , Fi = 0,3 , RFi = 5,5 % , Ci = 12,56 , dan RCi = 12,56 %, dan untuk species Bruguiera cylindrica blume,yang berjumlah 2, dengan Di = 0,02 , RDi = 12,5% , Fi = 0,6 , RFi = 11,1 % , Ci = 1,53 , dan RCi = 1,53 %. Untuk kategori anakan kami menemukan Averennia alba blume, dengan jumlah 1 , Di = 0,01 , RDi = 6,25 % , Fi = 0,31 , RFi = 5,5 % , Ci = 0,28 , RCi = 0,28 %, sedangkan untuk species anakan Bruguiera cylindrica blume,berjumlah 1 , dengan Di = 0,03 RDi = 18,75 % , Fi = 1 , RFi = 18,5 % , Ci = 0,06 , RCi = 0,06 %  dan untuk kategori semai kami tidak menghitung penutupan jenis dan penutupan jenis relative karena pada semai tidak di ukur diameternya, dan species yang kami dapatkan pada kategori semai adalah menemukan Aigeceras corniculatum, Bruguiera cylindrica blume, dan Aigeceras corniculatum.

Setelah didapat RDi, RFi, RCi, maka kami dapat mencari indeks nilai pentingnya (INP). Untuk kategori pohon, kategori anakan dan untuk kategori semai memiliki INP sebesar  221,55 %.

Berikut kami akan menjelaskan ciri – ciri umum untuk species Rhizopora apiculata yaitu pohon dengan ketinggian mencapai 3 M dengan diameter batang mencapai 50 cm. memiliki perakaran yang khas hingga mencapai 5 M dan kadang –kadang memiliki akar udara dan keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna abu abu tua dan berubah – ubah.

Rhizophora x lamarckii a itu sendiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Ciri umum:      pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai 5 m, dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah.
Daun: berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda di bagian tengah dan kemerahan di bagian bawah. Gagang daun panjangnya 17-35 mm dan warnanya kemerahan. Unit dan letak:  sederhana dan berlawanan. Bentuk: elips menyempit. Ujung: meruncing. Ukuran:  7-19 x 3.5-8 cm.
Bunga:             biseksual, kepala bunga kekuningan yang terletak pada gagang berukuran <14 mm. Letak: di ketiak daun. Formasi: kelompok (2 bunga perkelompok). Daun mahkota: 4; kuning-putih, tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm. Kelopak bunga: 4; kuning kecoklatan, melengkung. Benag sari:  11-12; tak bertangkai.
Buah:   buah kasar berbentuk bulat memanjang hingga seperti buah pir, warna coklat, panjang 2-3, 5 cm, berisi satu biji fertil. Hipokotil silindris, berbintil, berwarna hijau jingga. Leher kotiledon berwarna merah jika sudah matang. Ukuran: hipokotil panjang 18-38 cm dan diameter 1-2 cm.
Ekologi:           tumbuh pada tanah berlumpur, halus dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan pasir. Tingkat dominasi dapat mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen.
             
Beberapa hewan mangrove beradaptasi hidup melekat pada akar mangrove (crasostrea sp.) bisa menempel pada akar rhizophora dan kerang, kepiting, udang, teritip, isopoda, amphipoda, cacing, dan ikan. Hewan-hewan yang membuat lubang di dalam substrat yang lunak termasuk genera umum seperti: Ucha sp., kepiting laga (fiddler crab), yang ditemukan di dalam lumpur.Pada pada derah mangrove sedimentasi banyak mengandung unsur-unsur Nutriens yang tinggi fungsi yaitu sebagai bantuan dalam mencari makan.

Fungsi mangrove sangatlah banyak, yang diantaranya adalah, mangrove berfungsi sebagai penahan sedimen tanah, sebagai garis pantai, sebagai penahan ombak, penahan penjorokan air ke darat, sebagai tempat pemijahan berbagai biota yang hidup pada habitat tersebut, tempat biota-biota tersebut melindungi diri, mangrove berfungsi juga sebagai penyerap karbon, penghasil O2 pada perairan tersebut oleh sebab itu banyak di temukan biota laut didaerah persisir pantai.


E.     Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut:
1.    Substrat yang kami temukan sebagai tempat tumbuh mangrove adalah berpasir dan berlumpur.
2.    Spesies yang paling mendominan adalah Rizopora apiculatas.
3.    Untuk kategori pohon, kategori anakan dan untuk kategori semai memiliki INP sebesar  221,55 %.


Daftar Pustaka

Bengen, D.G. 2001.  Pedoman Teknis Pengenalan  dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Budiman, A. dan D. Darnaedi. 1984. Struktur komunitas moluska di hutan mangrove Morowali, Sulawesi Tengah. Pros. Sem. II Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 175-182.
Budiman, A., M. Djajasasmita dan F. Sabar. 1977. Penyebaran keong dan kepiting hutan bakau Wai Sekampung, Lampung. Ber. Biol. 2:1-24.
Departemen Kehutanan. 2004.  Statistik Kehutanan Indonesia,  Frorestry Statistics of Indonesia 2003. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo dan I. G. M. Tantra 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia  Pros. Sem. Ekos. Hutan Mangrove: 21-39.
Kusmana, C., S. Takeda, and H. Watanabe. 1995.  Litter Production of  Mangrove Forest in East Sumatera, Indonesia. Prosidings Seminar V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6  Agustus 1994: 247-265. Kontribusi MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.
Soemodihardjo, S. 1977. Beberapa segi biologi fauna hutan payau dan tinjanan komunitas mangrove di Pulau Pari. Oseana 4 & 5:24-32.
Soerianegara, I. 1987. Masalah penentuan jalur hijau hutan mangrove. Pros. Sem.  III Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 3947.
Tomlinson, P.B. 1986. The botany of mangrove. Cambridge University Press.  Cambridge, London, New York, New Rochelle, Melbourne, Sydney: p. 413.

Tidak ada komentar: