OSMOREGULASI
(Laporan
Praktikum Fisiologi Hewan Air)
Oleh:
Widi
Indra Kesuma
1114111058
JURUSAN
BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kehidupan
suatu organisme sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik faktor fisika,
faktor kimia dan biologi. Salah satu faktor yang mendukung kehidupan organisme
di perairan adalah kadar salinitas dalam perairan.
Tinggi
rendahnya salinitas disuatu perairan baik itu air tawar, payau maupun perairan
asin akan mempengaruhi keberadaan organisme yang ada di perairan tersebut, hal
ini sangat terkait erat dengan tekanan osmotik dari ikan untuk melangsungkan
kehidupannya. Ikan akan mengalami stress dan bahkan akan mengalami kematian
akibat osmoregulasi yang tidak seimbang.
Perubahan
salinitas juga dapat mempengaruhi permeabilitas dinding sel ketika salinitas
mengalami perubahan. Pada saat tersebut ikan akan mengalami kecenderungan untuk
mampau atau tidaknya ikan untuk melakukan keseimbangan osmotiknya dalam rangka
mengatur dan berfungsi dengan normal sesuai dengan kebutuhannya, salinitas
dalam suatu perairan pada media yang berbeda juga akan mempengaruhi proses
metabolisme untuk pertumbuhannya.
Mengingat
betapa pentingnya mengetahui bagaimana ikan menyeimbangkan tekanan yang ada
dari dalam tubuh ikan itu sendiri sehingga ikan tetap dapat melangsungkan
kehidupannya, maka praktikum ini menjadi begitu penting artinya untuk dilaksanakan.
B. Tujuan
Tujuan praktikum yaitu untuk mendapatkan
salinitas optimum bagi pertumbuhan biota akuatik.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Biologis Ikan
Ikan nila (Oreochromis niloticus).
Ikan nila (Oreochromis
niloticus) merupakan jenis ikan yang berasal dari sungai nila dan
danau-danau yang menghubungkan sungai tersebut. Ikan nila didatangkan ke
Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun
1969, bibit ikan nila yang ada di Indonesia berasal dari Taiwan adapun dengan
ciri berwarna gelap dengan garis-garis vertikal seanyak 6-8 buah dan Filipina
yang berwarna merah (Suyanto 1998).
Menurut Saanin
(1982), klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah sebagai
berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub
Filum : Vertebrata
Kelas
: Osteichtes
Sub
Kelas : Acanthoptherigii
Ordo
: Percomorphii
Sub
Ordo : Percoidae
Famili
: Cichlidae
Genus
: Oreochromis
Spesies
: Oreochromis niloticus
Ikan nila pada umumnya mempunyai bentuk tubuh panjang dan
ramping, perbandingan antara panjang dan tinggi badan rata-rata 3 : 1.
Sisik-sisik ikan nila berukuran besar dan kasar. Ikan nila berjari sirip keras,
sirip perut torasik, letak mulut subterminal dan berbentuk meruncing. Selain
itu, tanda lainnya yang dapat dilihat adalah dari ikan nila adalah warna
tubuhnya yang hitam dan agak keputihan. Bagian bawah tutup insang berwarna
putih, sedangkan pada nila lokal putih agak kehitaman bahkan ada yang kuning.
Sisik ikan nila besar, kasar, dan tersusun rapi. Sepertiga sisik belakang
menutupi sisi bagian depan. Tubuhnya memiliki garis linea lateralis yang
terputus antara bagian atas dan bawahnya. Linea lateralis bagian atas memanjang
mulai dari tutup insang hingga belakang sirip punggung sampai pangkal sirip
ekor. Ukuran kepalanya relatif kecil dengan mulut berada di ujung kepala serta
mempunyai mata yang besar (Merantica 2007).
Ikan nila memiliki karakteristik sebagai ikan parental care
yang merawat anaknya dengan menggunakan mulut (mouth breeder) (Effendie 1997
dalam Prasetiyo 2009). Ikan ini dicirikan dengan garis vertikal yang berwarna
gelap pada sirip ekornya sebanyak 6 buah. Selain pada sirip ekor, garis
tersebut juga terdapat pada sirip punggung dan sirip anal (Suyanto 1994 dalam Saputra
2007 dalam Prasetiyo 2009).
Seperti halnya ikan nila yang lain, jenis kelamin ikan nila
yang masih kecil, belum tampak dengan jelas. Perbedaannya dapat diamati dengan
jelas setelah bobot badannya mencapai 50 gram. Ikan nila yang berumur 4-5 bulan
(100-150 g) sudah mulai kawin dan bertelur Tanda-tanda ikan nila jantan adalah
warna badan lebih gelap dari ikan betina, alat kelamin berupa tonjolan (papila)
di belakang lubang anus, dan tulang rahang melebar ke belakang. Sedangkan
tanda-tanda ikan nila betina adalah alat kelamin berupa tonjolan di belakang
anus, dimana terdapat 2 lubang. Lubang yang di depan untuk mengeluarkan telur,
sedang yang di belakang untuk mengeluarkan air seni dan bila telah mengandung
telur yang masak,dan perutnya tampak membesar (Suyanto, 2003).
Ikan nila merupakan ikan omnivora yang memakan fitoplankton, perifiton, tanaman air, avertebrata kecil, fauna bentik, detritus, dan bakteri yang berasosiasi dengan detritus. Ikan nila dapat menyaring makanannya dengan menangkap partikel tersuspensi, termasuk fitoplankton dan bakteri, pada mukus yang terletak pada rongga buccal. Tetapi sumber nutrisi utama ikan nila diperoleh dengan cara memakan makanan pada lapisan perifiton (FAO, 2006).
Ikan nila merupakan ikan tropis yang menyukai perairan yang dangkal. Ikan nila dikenal sebagai ikan yang tahan terhadap perubahan lingkungan tempat hidupnya. Nila hidup di lingkungan air tawar, air payau, dan air asin. Kadar garam air yang disukai antara 0-35 ppt. Ikan nila air tawar dapat dipindahkan ke air asin dengan proses adaptasi bertahap. Kadar garam air dinaikkan sedikit demi sedikit. Pemindahan ikan nila secara mendadak ke dalam air yang kadar garamnya sangat berbeda dapat mengakibatkan stress dan kematian ikan (Suyanto, 2004).
Tempat hidup Ikan nila biasanya berada pada perairan yang dangkal dengan arus yang tidak begitu deras, ikan ini tidak suka hidup di perairan yang bergerak (mengalir),akan tetapi jika dilakukan perlakuan terhadap ikan nila seperti pengadaptasian terhadap lingkungan air yang mengalir maka ikan nila juga bisa hidup baik pada perairan yang mengalir. (Djarijah, 2002).
Lingkungan tumbuh (habitat) yang paling ideal adalah perairan air tawar yang memiliki suhu antara 14oC – 38 oC, atau suhu optimal 25oC – 30oC. Keadaan suhu yang rendah yaitu suhu kurang dari 140C ataupun suhu yang terlalu tinggi di atas 300C akan menghambat pertumbuhan nila. Ikan nila memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan hidup. Batas bawah dan batas atas suhu yang mematikan ikan nila berturut-turut adalah 11-12oC dan 42oC. Keadaan pH air antara 5 – 11 dapat ditoleransi oleh ikan nila, tetapi pH yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan ikan ini adalah 7- 8. Ikan nila masih dapat tumbuh dalam keadaan air asin pada salinitas 0-35 ppt. Oleh karena itu, ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan laut, terutama untuk tujuan usaha pembesaran (Rukmana, 1997).
Ikan Lele (Clarias batrachus)
Ikan lele (C. batrachus) memiliki kulit
berlendir dan tidak bersisik mempunyai pigmen hitam yang berubah menjadi pucat
bila terkena cahaya matahari, dua buah lubang penciuman yang terletak
dibelakang bibir atas, sirip punggung dan dubur memanjang sampai ke pangkal
ekor namun tidak menyatu dengan sirip ekor, panjang maksimum mencapai 400 mm.
Ikan lele (C. batrachus) memiliki
alat pernapasan tambahan yang disebut Aborescen organ yang merupakan membran
yang berlipat-lipat penuh dengan kapiler darah. Alat ini terletak didalam
ruangan sebelah atas insang. Dalam sejarah hidupnya lele lele harus mengambil
oksigen dari udara langsung, untuk itu ia akan menyembul kepermukaan air.
Secara
morfologi dan anatomi ikan lele (C.
batrachus) dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu, 1). Bagian kepala (cepal), Lele memiliki
kepala yang panjang, hampir mencapai seperempat dari panjang tubuhnya. Kepala
lele pipih ke bawah (depressed). Bagian atas dan bawah kepalanya tertutup oleh
tulang pelat. Tulang pelat ini membentuk ruangan rongga di atas insang. Di
ruangan inilah terdapat alat pernapasan tambahan lele berupa labirin (Mahyuddin
dan Kholish, 2011).
Ikan lele (C. batrachus) memiliki
kulit berlendir dan tidak bersisik, mempunyai pigmen hitam yang berubah menjadi
pucat bila terkena cahaya matahari, dua buah lubang penciuman yang terletak
dibelakang bibir atas, sirip punggung dan dubur memanjang sampai ke pangkal
ekor namun tidak menyatu dengan sirip ekor, panjang maksimum mencapai 400 mm
(Zaldi, 2010).
Habitat atau
lingkungan hidup ikan lele (C. batrachus)
banyak ditemukan di perairan air tawar, di dataran rendah sampai sedikit payau.
Penyebaran lele di Indonesia berada di Pulai Jawa, Sumatera, Sulawesi dan
Kalimantan. Ikan lele (C. batrachus)
secara alami berada di perairan umum, namum seiring dengan semakin banyaknya
petani yang membudidayakan ikan lele (C.
batrachus) ini, pemeliharaan ikan lele (C.
batrachus) banyak dilakukan di kolam-kolam buatan (Anonim, 2011).
B.
Regulasi ion dan air
Regulasi ion dan air pada ikan terjadi
hipertonik, hipotonik atau isotonik tergantung pada perbedaan (lebih tinggi,
lebih rendah atau sama) konsentrasi cairan tubuh dengan konsentrasi media
hidupnya. Perbedaan tersebut dapat dijadikan sebagai strategi dalam menangani
komposisi cairan ekstraselular dalam tubuh ikan. Untuk ikan-ikan potadrom yang
bersifat hiperosmotik terhadap lingkungannya dalam proses osmoregulasi, air
bergerak ke dalam tubuh dan ion-ion keluar ke lingkungan dengan cara difusi.
Keseimbangan cairan tubuhnya dapat terjadi dengan cara meminum sedikit air atau
bahkan tidak minum sama sekali. Kelebihan air dalam tubuhnya dapat dikurangi
dengan membuangnya dalam bentuk urin. Untuk ikan-ikan oseanodrom yang bersifat
hipoosmotik terhadap lingkungannya, air mengalir secara osmose dari dalam
tubuhnya melalui ginjal, insang dan kulit ke lingkungan, sedangkan ion-ion
masuk ke dalam tubuhnya secara difusi. Sedangkan untuk ikan-ikan eurihalin,
memiliki kemampuan untuk dengan cepat menyeimbangkan tekanan osmotik dalam
tubuhnya dengan media (isoosmotik), namun karana kondisi lingkungan perairan
tidak selalu tetap, maka proses ormoregulasi seperti halnya ikan potadrom dan
oseanodrom tetap terjadi (Kaneko, dkk., 2002).
Karena tekanan osmosis air laut lebih
tinggi daripada cairan tubuh ikan maka air akan mengalir dari dalam tubuh ikan
ke lingkungannya melalui difusi melewati ginjal dan mungkin juga kulit,
sebaliknya garam-garam akan masuk ke dalam tubuh juga melalui proses difusi,
karenanya ikan melakukan osmoregulasi untuk mempertahankan keseimbangan
konsentrasi garam antara tubuh dan lingkungan dengan cara memperbanyak minum
air laut (Fujaya, 1999).
Secara umum kulit ikan merupakan lapisan
kedap, sehingga garam di dalam tubuhya tidak mudah “bocor” ke dalam air. Satu-satunya bagian ikan yang berinteraksi
dengan air adalah insang. Air secara terus-menerus masuk ke dalam tubuh ikan
melalui insang. Proses ini secara pasif berlangsung melalui suatu proses
osmosis yaitu terjadi sebagai akibat dari kadar garam dalam tubuh ikan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan lingkungannya. Sebaliknya, garam akan
cenderung keluar. Dalam keadaan normal proses ini berlangsung secara seimbang.
Peristiwa pengaturan proses osmosis dalam tubuh ikan ini dikenal dengan sebutan
osmoregulasi. Tujuan utama osmoregulasi adalah untuk mengontrol konsentrasi
larutan dalam tubuh ikan. Apabila ikan tidak mampu mengontrol proses osmosis
yang terjadi, ikan yang bersangkutan akan mati, karena akan terjadi
ketidakseimbangan konsentrasi larutan tubuh yang akan berada di luar batas
toleransinya (Takeuchi, dkk., 2003).
Ada
tiga pola regulasi ion dan air, yakni : (1) Regulasi hipertonik atau
hiperosmotik, yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh yang lebih
tinggi dari konsentrasi media, misalnya pada potadrom (ikan air tawar). (2)
Regulasi hipotonik atau hipoosmotik, yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi
cairan tubuh yang lebih rendah dari konsentrasi media, misalnya pada oseandrom
(ikan air laut).; (3) Regulasi isotonik atau isoosmotik, yaitu bila konsentrasi
cairan tubuh sama dengan konsentrasi media, misalnya ikan-ikan yang hidup pada
daerah estuari.
Organ-organ
yang berperan dan berfungsi pada proses osmoregulasi yaitu : (1) Insang, pada
insang sel-sel yang berperan dalam osmoregulasi adalah sel-sel chloride yang
terletak pada dasar lembaran-lembaran insang; (2) Ginjal, melakukan dua fungsi
utama: pertama, mengekskresikan sebagian besar produk akhir metabolisme
tubuh, dan kedua, mengatur konsentrasi cairan tubuh; (3) Usus, Meminum
air laut adalah sumber utama air pada teleostei oseanodrom untuk mengembalikan
air yang hilang melalui difusi insang, ginjal, dan mungkin pula melalui kulit (Fujaya,
2004).
C.
Osmoregulasi
Osmoregulasi
adalah pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi kehidupan ikan
sehingga proses-proses fisiologis berjalan normal. Ikan mempunyai tekanan
osmotik yang berbeda dengan lingkungannya, oleh karena itu ikan harus mencegah
kelebihan air atau kekurangan air, agar proses-proses fisiologis di dalam
tubuhnya dapat berlangsung dengan normal. Pengaturan tekanan osmotik cairan
tubuh pada ikan ini disebut osmoregulasi (Rahardjo, 1980).
Proses
osmoregulasi yang terjadi adalah pengaturan konsentrasi ion-ion bukan
konsentrasi cairan tubuh, dimana proses ini juga membutuhkan energi. Bila ikan
air tawar dimasukkan dalam medium air laut maka yang akan terjadi adalah
pemasukan air dalam tubuh ikan dari medium dan juga berusaha mengeluarkan
sebagian garam-garam dari dalam tubuhnya. Bila ikan tidak dapat melakukan
proses ini, maka sel-sel ikan akan pecah (turgor) dan jika terjadi sebaliknya
ikan akan kekurangan cairan atau biasa disebut dehidrasi (Soeseno, 1997).
Proses osmosis terjadi pada sel hidup di
alam. Perubahan bentuk sel terjadi jika terdapat pada larutan yang berbeda. Sel yang terletak pada larutan isotonik,
maka volumenya akan konstan. Dalam hal ini, sel akan mendapat dan kehilangan
air yang sama. Banyak hewan-hewan laut cairan selnya bersifat isotonik dengan
lingkungannya. Jika sel terdapat pada larutan yang hipotonik, maka sel tersebut
akan mendapatkan banyak air, sehingga bisa menyebabkan lisis (pada sel hewan),
atau turgiditas tinggi (pada sel tumbuhan). Sebaliknya, jika sel berada pada
larutan hipertonik, maka sel banyak kehilangan molekul air, sehingga sel
menjadi kecil dan dapat menyebabkan kematian. Pada hewan, untuk bisa bertahan
dalam lingkungan yang hipotonik atau hipertonik, maka diperlukan pengaturan
keseimbangan air, yaitu dalam proses osmoregulasi (Marshall dan Grosell,
2006).
III. METODELOGI
A. Waktu
dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Senin
tanggal 15 April 2013 pukul 10.00 WIB bertempat di Laboratorium Perikanan
Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
B. Alat
dan Bahan
Alat-alat yang
digunakan dalam praktikum ini adalah akuarium, aerator, timbangan digital,
ember, gayung, lap,
stopwatch, gelas cup,
refraktometer, dan terminal listrik. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam
praktikum ini adalah ikan, garam, aquades dan air.
C.
Metode Kerja
1.
Adaptasi Organisme Terhadap Salinitas.
a.
Akuarium
disiapkan.
b.
Setiap
pasang akuarium diberi 10 liter air dengan salinitas yang berbeda-beda,
masing-masing : 3, 9, 13, 16, 20, 23, 25, 26, 30 dan 31 ppt.
c.
Kemudian
pada masing-masing media tersebut dimasukkann 5 ekor ikan yang telah dipuasakan
selama 24 jam dan telah dihitung bobotnya.
d.
Kondisi
media harus dalam keadaan baik terutama kadar oksigennya.
e.
Menghitung
laju frekuensi dan laju tutup insang.
f.
Menghitung
laju frekuensi dan laju gerakan sirip dada sebagai indicator respon pergerakan.
g.
Mengamati
reaksi terhadap sentuhan lidi sebagai indicator respon syaraf kulit.
h.
Mengamati
tingkah laku ikan lalau timbang berat ikan.
i.
Hitung
penurunan berat ikan.
j.
Hitung
juga SRnya.
IV. HASIL
DAN PEMBAHASAN
A. Hasil.
Kelompok
|
Perlakuan
|
Aquarium
|
Waktu
(menit)
|
Respon
|
SR
|
SGR
|
1
|
Kontrol
|
1
|
15
|
Ikan
berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem
saraf mata.
|
100%
|
0%
|
30
|
Ikan
berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem
saraf mata.
|
|||||
45
|
Ikan
berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem
saraf mata.
|
|||||
60
|
Ikan
berenang aktif dan tidak ada gangguan terhadap respon syaraf kulit dan sistem
saraf mata.
|
|||||
Salinitas 1 ppt
|
2
|
15
|
Ikan
terlihat berenang aktif, Bukaan
operculum sebanyak 1797 kali.
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Ikan
mengeluarkan feses. Bukaan operculum sebanyak 1570 kali.
|
|||||
45
|
Ikan
terlihat mulai pasif dan mengeluarkan banyak . Bukaan operculum sebanyak 1365
kali.
|
|||||
60
|
Ikan
berenang pasif, terlihat lemas dan berdiam di dasar. Bukaan operculum
sebanyak 675 kali dan berat badan menyusut 2 gram
|
|||||
Salinitas 5 ppt
|
3
|
15
|
Ikan
terlihat bergerak aktif dan pembukaan operculum terlihat cepat
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Gerakan
ikan masih stabil dan ikan mengeluarkan feses
|
|||||
45
|
Ikan
mulai pasif dan cenderung berenang ke bawah
|
|||||
60
|
Ikan
banyak megeluarkan feses dan pergerakan mulai lambat
|
|||||
2
|
Salinitas 10 ppt
|
3
|
10
|
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum
sebanyak 1249 dan 1346 kali.
|
100%
|
0%
|
20
|
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum
sebanyak 1207 dan 1008 kali.
|
|||||
30
|
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum
sebanyak 1207 dan 1167 kali.
|
|||||
40
|
Ikan masih berenang aktif dan normal. Bukaan opeculum
sebanyak 1136 dan 1205 kali.
|
|||||
Salinitas 15 ppt
|
1
|
10
|
Ikan masih berenang aktif dan normal serta kontrol
saraf kulit masih berjalan. Bukaan opeculum sebanyak 920 dan 938 kali.
|
100%
|
0%
|
|
20
|
Ikan masih berenang aktif dan normal serta kontrol
saraf kulit masih berjalan. Bukaan opeculum sebanyak 1080 dan 980 kali.
|
|||||
30
|
Pergerakan ikan stabil tetapi bukaan operculum semakin
cepat dengan bukaan sebanyak 1150 dan 1060 kali.
|
|||||
Salinitas 20 ppt
|
2
|
10
|
Pergerakan ikan stabil dan tenang. Bukaan operculum
sebanyak 870 dan 890 kali.
|
100%
|
0%
|
|
20
|
Pergerakan ikan stabil dan tenang, respon syaraf masih
aktif serta bukaan operculum semakin cepat dengan bukaan sebanyak 1005 dan
1010 kali.
|
|||||
30
|
Ikan sering berenang ke permukaan, syaraf mata tidak
bekerja dan jumlah bukaan operculumnya adalah 1007 dan 1005 kali.
|
|||||
3
|
Salinitas 25 ppt
|
7
|
15
|
Pergerakan
ikan lambat, terkadang aktif, berenang miring dan diatas permukaan. Gerakan
operculum 1755.
|
100%
|
0%
|
30
|
Berenang
didasar, dengan keadaan miring, pergerakan sirip 116 kali per menit.
|
|||||
45
|
Berenang
didasar, respon aktif. Pergerakan operculum 2175.
|
|||||
60
|
Respon
mulai lambat, berenang didasar dan sirip tidak bergerak.
|
|||||
Salinitas 30 ppt
|
8
|
15
|
Pergerakan
ikan lambat, terkadang ikan berenang agresif, Bukaan operculum sebanyak 1710 kali.
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Respon
mata ikan masih baik, gerakan melambat, gerakan sirip 56 kali per menit.
|
|||||
45
|
Ikan
mulai pasif, namun respon mata dan kulit masih baik. Gerakan operculum 2280.
|
|||||
60
|
Ikan
berenang didasar dan gerakan pasif, gerakan sirip 93 kali per menit.
|
|||||
Salinitas 32 ppt
|
9
|
15
|
Ikan
masih aktif bergerak, berenang didasar, pergerakan operculum 1724.
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Respon
ikan terhadap gerakan masih baik. Berenang di permukaan. Gerakan sirip 95
kali per menit.
|
|||||
45
|
Pergerakan
mulai lambat, mengeluarkan feses dan mengeluarkan lendir. Pergerakan
operculum 2320.
|
|||||
60
|
Respon
lambat, berenang didasar. Gerakan sirip 90 kali per menit.
|
|||||
4
|
Salinitas 5 ppt
|
10
|
15
|
Ikan berenang pasif, respon mata baik dan respon lambat
serta bukaan operculum lebar dan cepat dengan jumlah bukaan sebanyak 2000
kali.
|
100%
|
0%
|
30
|
Respon mata ikan menurun, respon terhadap sentuhan
aktif, satu ekor ikan berenang pasif. Bukaan operculum sebanyak 2000 kali.
|
|||||
45
|
Respon sirip ikan melambat, pergerakan ikan melambat,
satu ekor ikan berenang pasif dan bukaan operculumnya sebanyak 1500 kali.
|
|||||
60
|
Satu ekor ikan berenang pasif dan respon matanya
menurun, bukaan operculum kecil dan lambat dengan bukaan sebanyak 1250 kali.
|
|||||
Salinitas 15 ppt
|
11
|
15
|
Operkulum
membuka lebar, ikan masih bergerak aktif. Gerakan operkulum 1760 kali
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Bukaan
operkulum lebar, ikan berenang dipermukaan dan gerakan melambat. Gerakan
operkulum 1430 kali
|
|||||
45
|
Ikan
mengambil oksigen dipermukaan dan berenang dipermukaan, ikan mengeluarkan
feses. Gerakan operkulum 1250 kali
|
|||||
60
|
Respon
ikan menurun, ikan terlihat stres dan mengeluarkan feses. Gerakan operkulum
970 kali
|
|||||
Salinitas 30 ppt
|
12
|
15
|
Ikan
berenang miring dan dipermukaan, ikan terlihat stres, bukaan operculum
membesar, gerakan melambat, dan ikan berkumpul. Gerakan operkulum 1210 kali
|
0%
|
0,5%
|
|
30
|
Ikan
mengambil oksigen dipermukaan, gerakan dan respon ikan melambat. Gerakan
operkulum 702 kali
|
|||||
45
|
Ikan
terlihat lemas dan mengapung, ikan terkadang melompat, tiga ikan mati pada
menit ke-32. Gerakan operkulum 65 kali
|
|||||
60
|
Operkulum
membuka lebar, ikan masih bergerak aktif. Gerakan operkulum 1760 kali
|
B. Pembahasan
Telah
dilakukan praktikum mengenai adaptasi organisme akuatik terhadap perubahan
variable lingkungan.
Tekanan
osmotik (salinitas) media optimum ikan adalah 13 ppt. Hal ini ditujukkan oleh
nilai Specific Grow Rate
(SGR) yang sangat kecil. SGR menunjukkan pertumbuhan bobot tubuh organisme
(ikan). Saat diberi perlakuan dengan salinitas 13 ppt, penurunan bobot tubuh
ikan sebesar 0,31 %. Sedangkan salinitas optimum ikan nila adalah 9 ppt. Hal
ini ditunjukkan oleh penurunan bobot tubuh ikan nila pada 9 ppt jauh lebih
kecil dibandingkan dengan penurunan bobot tubuh ikan nila ketika diberi
perlakuan dengan berbagai macam salinitas, yakni hanya sebesar 0,63%.
Tingkah
laku ikan nila ketika diberi salinitas antara 3 ppt sampai 30 ppt masih normal.
Ikan nila juga masih mampu bertahan hidup. Begitu pula dengan tingkat
kelangsungan hidup ikan nila sampai pada 20 ppt masih tinggi. Jika diberi
perlakuan dengan media hidup dengan salinitas di atas 20 ppt maka tingkat
kelangsungan hidup ikan nila rendah bahkan 0%. Hal ini menunjukkan bahwa ikan
nila hanya dapat mentolerir salinitas air sampai sekitar 20 ppt. Ini didukung
oleh pendapat William (1979) dalam
Anggraeni (2002) yang menyatakan bahwa seluruh organisme memilki
beberapa kisaran salinitas dan apabila kisaran tersebut terlampaui maka
organisme tersebut akan mati atau pindah ke tempat lain.
Jika
dilihat dari tingkah laku ikan, maka ketika diberi perlakuan dengan salinitas 3
ppt, 9 ppt, dan 13 ppt maka ikan masih terlihat normal, berenang dan bergerak
normal. Begitu pula dengan tingkat kelangsungan hidup ikan sampai 13 ppt masih
sangat tinggi. Namun, ketika ikan diberi perlakuan dengan salinitas di atas 13
ppt, tingkah laku ikan cenderung tidak normal. Hal ini disebabkan oleh karena
salinitas media yan diberikan kurang bias ditolerir oleh ikan mas. Sebagai
bentuk adaptasi awal terhadap perubahan salinitas, ikan mengeluarkan banyak
lendir. Ini kemungkinan karena ikan mengalami stress, sehingga akhirnya bias
menyebabkan kematian. Hal ini didukung oleh pernyataan Effendi (2001) yang
menyebutkan bahwa ikan air tawar tidak bisa dipaksakan dipelihara dalam air
bersalinitas (kadar garam).
Tingkat
penurunan bobot tubuh ikan nila terhadap salinitas air yang berbeda-beda sangat
berfluktusi. Begitu pula dengan tingkat penurunan bobot tubuh ikan mas. Namun,
secara umum terlihat bahwa semakin tinggi dari batas optimum salinitas yang
diberikan, maka penurunan bobot tubuh ikan akan semakin tinggi pula, dan bahkan
menyebabkan ikan mati. Hal ini disebabkan oleh sistem fisiologis yakni
osmoregulasi di dalam tubuh ikan agar mampu menyeimbangkan tekanan osmotik di
dalam dan di luar tubuh ikan. Ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan
oleh Musida (2008) yaitu daya tahan hidup organisme dipengaruhi oleh keseimbangan
osmotik antara cairan tubuh dengan air (media) lingkungan
hidupnya. Pengaturan osmotik itu dilakukan melalui mekanisme osmoregulasi.
Ketika salinitas air yang diberikan sesuai dengan salinitas media hidupnya
artinya media yang mendekati isoosmotik, maka ikan tidak perlu menngeluarkan
energi yang besar untuk melakukan proses osmoregulasi untuk mempertahankan
hidupnya. Sebaliknya ketika ikan diberikan dengan salinitas media yang jauh
lebih tinggi dengan salinitas habitatnya, maka tentunya ikan akan memerlukan
energi yang cukup besar untuk bisa melagsungkan proses osmoregulasi dalam
tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Naksara.net
(2008) yaitu semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan
lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan
osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya.
Energi
juga diperlukan ikan untuk hidup. Tanpa energi maka ikan tidak bisa hidup.
Energi diperoleh ikan dari makanan. Artinya ketika proses osmoregulasi
membutuhkan energi yang besar, maka energi yang seharusnya digunakan ikan untuk
hidup dan tumbuh tersita untuk proses osmoregulasi. Di pihak lain, ikan dalam
percobaan tidak diberi makan, artinya ikan tidak mendapat asupan energi.
Sehingganya cadangan energi yang dimilki ikan akan berkurang, akhirnya
bobot tubuhnya menurun dan lama kelamaan ketika cadangan energi habis maka ikan
mati. Hal ini didukung oleh pendapat Stickney (1979) dalam Dewi (2006) bahwa
ikan yang dipelihara dalam air media dengan salinitas lingkungan tidak sesuai
dengan konsentrasi garam fisiologis dalam tubuhnya, energi dari anabolisme
makanan yang akan dipakai untuk keperluan kegiatan fisikdan pergantian sel
tubuh dengan lingkungannya sehingga proses pertumbuhan terhambat. O-fish (2009)
menyebutkan bahwa apabila ikan tidak mampu mengontrol proses osmosis yang
terjadi, ikan yang bersangkutan akan mati., karena akan terjadi
ketidakseimbangan konsentrasi larutan tubuh yang akan berada diluar batas
toleransinya.
Secara
keseluruhan jika dibandingkan antara tingkat kelangsungan hidup ikan nila dan
ikan mas, maka ikan nila lebih cenderung bertahan hidup pada media dengan
salinitas yang relatif tinggi dibandingkan dengan ikan mas. Artinya ikan nila
memiliki toeransi salinitas yang lebar dibandingkan dengan ikan mas. Ini
didukung oleh pendapat Effendi (2001) yang menyatakan bahwa ikan nila relatif
cepat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang baru. Selain itu, juga kemungkinan
dikarenakan susunan jaringan insang ikan nila yang cenderung lebih tahan dan
kuat terhadap perbedaan salinitas untuk melakukan proses osmoregulasi. Hal ini
didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Black (1957) dalam Wulandari (2006)
bahwa kelangsungan hidup ikan air tawar di dalam lingkungan berkadar garam
bergantung pada jaringan insang dan daya tahan (toleransi) jaringan terhadap
garam-garam dan kontrol permeabilitas.
Menurut
Wulangi,kartolo.S (1993). Sebagai hewan yang memiliki cairan tubuh hiperosmotik
terhadap mediumnya,maka invertebrata air tawar menghadapi dua masalah
osmoregulasi yaitu:
- Tubuhnya cenderung menggembung karena gerakan air masuk ke dalam tubuhnya mengikuti gradien kadar
- Hewan menghadapi kehilangan garam tubuhnya, karena medium di sekitarnya mengandung garam lebih sedikit.
Oleh
karena itu invertebrate air tawar sebagai regulator hiperosmotik harus mengatur
jumlah air yang masuk dan jumlah garam yang keluar tubuhnya. Pada umumnya
regulator hiperosmotik memiliki urin yang lebih encer dari cairan tubuhnya.
Ikan
air tawar memiliki osmokosentrasi plasma sebesar 130 – 170 mOsm, urin banyak
dan encer. Perbandingan penuntunan titik beku antara medium, cairan tubuh dan
urin adalah sebagai berikut : (∆0 = -0,030 C ; ∆I
= -0,57 C; ∆u = -0,08 C) dan volume urinnya 200-400 ml/kg/hari.
Kulitnya relative impermiabel, sedikit air masuk lewat minum dan makan, tetapi
jumlah air yang masuk melalui osmotic melalui insang dan membrane mulut.
Kelebihan air yang masuk akan diimbangi dengan eksresi lewat ginjal, sebab
ginjalnya memiliki glimeruli yang telah berkembang dengan baik untuk filtrasi.
Begitu filtrat melalui tubulus, sebagian besar zat terlarut direabsorbsi,
sehingga menghasilkan urin yang encer, namun tidak seencer air tawar, sehingga garam
yang hilang selain melalui urin juga melalui difusi dan feses. Garam yang
hilang sebagian diganti lewat makanan, sebagian lewat absorpsi aktif dari
medium oleh sel-sel khusus pada insang. Klorida diabsorbsi melawan gradient
dari medium yang sangat encer.
Untuk
penambahan garam, beberapa spesies bergantung terutama pada makanan (Acerina,
Perca) sementara yang lain memilki system absorbsi garam secara aktif
melalui insang (Leuciscus, Carrasius). Keadaan ini dapat diteliti dengan
menempatkan ikan dalam ruang yang bersekat, sehingga bagian kepala dan bagian
tubuh belakang dapat dipelajari secara terpisah. Dengan penelitian semacam itu
diketahui bahwa pengambilan ion secara aktif terjadi hanya pada ruang bagian
depan. Kesimpulannya bahwa kulit hanya berperan kecil dalam pengambilan ion dan
kalau ada melalui absorbsi melalui absorsi aktif.
Selain
itu ikan yang hidup di air tawar pada umumnya kadar osmotic cairan tubuhnya
adalah 300 m0sm per liter dan bersifat hipertonik dibandingkan dengan
lingkungannya (air tawar).
Meskipun
permukaan tubuhnya biselubungi oleh sisik dan mucus yang relatif impermeabel,
manun demikain bayak air yang masuk ke dalam tubuh dan juga terjadi pengeluaran
ion-ion melintasi insang yang bersifat sangat permiabel. Selain itu insang disini
juga merupakan organ eksresi yang membuang zat buangan bernitrogen dalam bentuk
ammonia. Untuk menjaga cairan tubuhnya agar tetap dalam keadaan konstan
(keadaan lunak), ikan air tawar secara terus menerus mengeluarkan sejumlah
besar air. Ini dilakukan dengan cara memproduksi sejumlah besar filtrat
glomerulus dan kemudian dilakukan reabsorbsi pilihan zat terlarut dan tubulus
renalis menuju kedalam darah yang terdapat di kapiler peritubuler. Akibatnya
terbentuklah urin dengan jumlah besar, bersifat encer (hipotonik bidandingkan
dengan darh ikan tersebut), mengandung ammonia dan sedikit mengandung zat
terlarut. Ion-ion yang hilang dari cairan tubuh diganti dengan makanan yang
dimasukkan kedalam tubuh dari lingkungannnya dengan perantaraan secara khusus
yang terdapat di insang. (Wulangi,kartolo.S.1993 : 164-165)
V. KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil praktikum, maka dapat disimpulkan bahwa semakin jauh
perbedaan tekanan osmose antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi
metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya
adaptasi.
B.
Saran
Sebaiknya
digunakan ikan yang lebih besar agar dapat teramati dengan jelas yang terjadi
pada tubuh ikan selama pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2011. http://www.duniakam pus.co.cc/11/. Diakses pada April 2013.
Djarijah,
AS. 1995. Nila Merah Pembenihan dan Pembesaran Secara Intensif. Kanisius.
Yogyakarta.
Effendie,
M. I. 1997. Biologi perkanan. Yayasan Pustaka nusantara. Yogyakarta. 163 hal.
Effendi,
H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Jakarta.
Fujaya,
Y. 1999. Bahan Pengajaran Fisiologi
Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Fujaya,
Y. 2004. Fisiologi Ikan. Rineka
Cipta. Jakarta.
Kaneko, T., Shiraishi, K., Katoh, F., Hasegawa, S., dan Hiroi,
J. 2002. Chloride cells during early
life stages of fish and their functional differentiation. Fisheries Science 68: 1-9.
Lesmana
Darti S. 2002. Kualitas Air untuk Ikan
Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mahyuddin dan Kholish, 2011. Panduan Lengkap
Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Rukmana
R.1997.Ikan Nila. Budidaya dan Prospek Agribisnis. Kanisius. Yogyakarta.
Saanin,
H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta.
Bandung.
Suyanto,
SR. 1994. Nila. penebar swadaya. jakarta.
Suyanto,
A. 1998. Mammals of Flores. Dalam Herwint Simbolon (Ed.): The Natural Resources
of Flores Island, pp. 78-87. Research and Development Centre for biology, The
Indonesian Institute of Sciences, Bogor.
Takeuchi, K., H.
Toyohara, dan M. Sakaguchi. 2000. Effect of hyper- and hypoosmotic
stress on protein in cultured epidermal cell of common carp. Fisheries Science 66:
117-123
Wulangi.
S kartolo. Prinsip-prinsip fisiologi
Hewan. DepDikBud : Bandung.
LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar