PENGAMATAN
PARAMETER KUALITAS AIR PADA AKUARIUM
(Laporan
Praktikum Menejemen Kualitas Air)
Oleh
Widi
Indra Kesuma
1114111058
(Kelompok
8)
JURUSAN
BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
2013
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kualitas
air merupakan salah satu mata kuliah yang sangat penting untuk dipelajari
karena ini akan berlangsung dalam proses
budidaya kedepannya, berbicara tentang kualitas air tentu tidak terlepas dari
tiga aspek penting yaitu: aspek fisika, aspek kimia, dan aspek biologi ketiga
aspek ini sangat menunjang kedepannya dalam keberhasilan budidaya tentu ketiga
aspek penting ini harus betul-betul dipahami dan dimengerti oleh setiap orang
budidaya oleh karena itu maka dilakukanlah praktikum manajemen kualitas air
yang berlangsung selama 14 hari dengan pengamatan dilapangan maupun di
laboratorium.
Studi
perkuliahan merupakan hal yang sangat penting dalam ilmu perikanan terutama
dalam praktikum lapangan maupun laboratorium yang dimana hampir semua kegiatan
tidak terlepas dari kondisi lingkungan
dengan kehidupan suatu organisme-organisme di perairan, kehidupan sehari-hari
yang sering kita jumpai adalah permasalan kualitas air manusia membutuhkan air
yang bersih, sehat, dan terjamin begitupula dengan organisme sangat membutuhkan
air yang bebas dari pencemaran lingkungan, industry rumah tangga, dan zat-zat
kimia lainnya yang dapat mengganggu kehidupannya apalagi kita ketahui habitat
organisme itu sendiri memang diperairan.
Adapun
praktikum kualitas air kali ini berlokasi di akuariukm yang bertempat dalam
laboratorium perikanan, hal ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui
kondisi perairan akuarium yang bagus digunakan, apakah kondisi akuarium layak
sebagai media budidaya atau tidak. Seperti kita ketahui bersama bahwa kondisi
perairan sangat mempengaruhi keberhasilan budidaya.
Jadi
dari uraian latar belakang diatas maka mahasiswa perikanan jurusan budidaya
perairan perlu melakukan praktikum lapangan serta laboratorium, dengan melakukan
pengukuran terhadapat kualitas air budidaya perikanan.
Adapun
pengukuran yang akan dilakukan yaitu ada beberapa parameter baik parameter
fisika, kimia, dan biologi.
B.
Tujuan
Tujuan dilaksanakannya
praktikum Manajemen Kualitas Air ini adalah untuk mengetahui parameter kualitas
air baik secara fisika, kimia dan biologi berdasarkan pola diurnal serta jumlah
dan jenis organisme didalamya dan juga menentukan kesuburan perairan pada jenis
akuarium yang berbeda.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Kualitas
Air
Didalam manajemen
kualitas air adalah merupakan suatu upaya memanipulasi kondisi lingkungan
sehingga mereka berada dalam kisaran yang sesuai untuk kehidupan dan
pertumbuhan ikan. Di dalam usaha perikanan, diperlukan untuk mencegah aktivitas
manusia yang mempunyai pengaruh merugikan terhadap kualitas air dan produksi
ikan (Widjanarko, 2005).
Kualitas Air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau kecocokan air untuk penggunaan tertentu, misalnya: air minum, perikanan, pengairan/irigasi, industri, rekreasi dan sebagainya. Peduli kualitas air adalah mengetahui kondisi air untuk menjamin keamanan dan kelestarian dalam penggunaannya. Kualitas air dapat diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air tersebut. Pengujian yang biasa dilakukan adalah uji kimia, fisik, biologi, atau uji kenampakan (bau dan warna) (ICRF,2010).
Kualitas air yaitu sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat energi atau komponen lain di dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter yaitu parameter fisika (suhu, kekeruhan, padatan terlarut dan sebagainya), parameter kimia (pH, oksigen terlarut, BOD, kadar logam dan sebagainya), dan parameter biologi (keberadaan plankton, bakteri, dan sebagainya) (Effendi, 2003).
Pengukuran kualitas air dapat dilakukan dengan dua cara,
yang pertama adalah pengukuran kualitas air dengan parameter fisika dan kimia
(suhu, O2 terlarut, CO2 bebas, pH, konduktivitas, kecerahan, alkalinitas ),
sedangkan yang kedua adalah pengukuran kualitas air dengan parameter biologi (plankton
dan benthos) (Sihotang, 2006).
Dalam pengukuran kualitas air secara umum, menggunakan
metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan dengaan
memperhatikan berbagai pertimbangan kondisi serta keadaan daerah pengamatan
(Fajri, 2013).
Lima syarat utama kualitas air bagi kehidupan ikan adalah (O-fish, 2009):
1.
Rendah kadar amonia dan nitrit
2.
Bersih secara kimiawi
3.
Memiliki pH, kesadahan, dan temperatur
yang sesuai.
4.
Rendah kadar cemaran organik, dan,
5.
Stabil
B.
Ph
PH
merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air,
besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. Besaran pH
berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang
masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH =7
disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005 ).
Derajat
keasaman atau pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+)
di dalam air. Besaran pH dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion
H. Besaran pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan
lingkungan yang asam sedangkan nilai pH di atas 7 menunjukkan lingkungan yang
basa, untuk pH =7 disebut sebagai netral (Effendy, 2003).
PH
air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan
ikan, menyebabkan tidak efektifnya pemupukan air di kolam dan meningkatkan daya
racun hasil metabolisme seperti NH3 dan H2S. pH air berfluktuasi mengikuti
kadar CO2 terlarut dan memiliki pola hubungan terbalik, semakin tinggi
kandungan CO2 perairan, maka pH akan menurun dan demikian pula sebaliknya.
Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung garam CaCO3 (Cholik et al.,
2005 ).
Derajat
keasaman (pH) adalah suatu ukuran dari konsentrasi ion H+ dan menunjukkan
suasana air tersebut apakah dalam keadaan asam atau basa. Secara alamiah oH-
perairan dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan senyawa-senyawa bersifat asam
(Hasibuan, 2001 ).
Perubahan
pH berkaitan dengan kandungan oksigen dan karbondioksida dalam air. Pada siang
hari jika oksigen naik akibat fotosintesa fitoplankton, maka pH juga naik. Pada
pagi jika pH kurang dari 7, hal ini menunjukan bahwa tambak atau kolam banyak
mengandung bahan organik. Kestabilan pH perlu dipertahankan karena pH dapat
mempengaruhi pertumbuhan organisme air, mempengaruhi ketersediaan unsur P dalam
air dan mempengaruhi daya racun amoniak dan H2S dalam air (Subarijanti, 2005).
C.
Suhu
Hardjojo dan Djokosetiyanto ( 2005 ) menyatakan bahwa suhu air normal
adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan metabolisme dan
berkembangbiak. Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di air, karena
bersama- sama dengan zat/unsur yang terkandung didalamnya akan menentukan massa
jenis air, dan bersama-sama dengan tekanan dapat digunakan untuk menentukan
densitas air. Selanjutnya, densitas air dapat digunakan untuk menentukan
kejenuhan air. Suhu air sangat bergantung pada tempat dimana air tersebut
berada. Kenaikan suhu air di badan air penerima, saluran air, sungai, danau dan
lain sebagainya akan menimbulkan akibat sebagai berikut: 1) Jumlah oksigen
terlarut di dalam air menurun; 2) Kecepatan reaksi kimia meningkat; 3) Kehidupan
ikan dan hewan air lainnya terganggu. Jika batas suhu yang mematikan
terlampaui, maka akan menyebabkan ikan dan hewan air lainnya mati. Suhu dapat
mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia
enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum
fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah
struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi
fitoplankton.
Suhu
tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan kesehatan untuk jangka panjang, misalnya
stres yang ditandai dengan tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal. Pada
suhu rendah, akibat yang ditimbulkan antara lain ikan menjadi lebih rentan
terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya sistem imun. Pada
dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi
suhu rendah menyebabkan menurunnya laju pernafasan dan denyut jantung sehingga
dapat berlanjut dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen (Irianto,
2005).
Pola
temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas
cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya,
ketinggihan geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi)
dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Di samping itu pola temperatur perairan
dapat di pengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor yang di akibatkan
oleh aktivitas manusia) seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin
pabrik, penggundulan DAS yang menyebabkan hilangnya perlindungan, sehingga
badan air terkena cahaya matahari secara langsung (Barus, 2003).
D.
Dixolved
Oksigen (DO)
Oksigen adalah unsur fital yang di perlukan oleh semua
organisme untuk respirasi dan sebagai zat pembakar dalam proses metabolisme.
Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara
melalui kontak antara permukaan air dengan udara, dan dari proses fotosintesis.
Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer
dan melalui kegiatan respirasi dari semua organisme (Barus, 2003).
Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian
(diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan
(turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah
(effluent) yang masuk ke dalam air (Effendi, 2003).
Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen / DO) Kandungan
oksigen terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 – 8 mg/l (Mayunar et
al., 1995 ; Akbar, 2001 ). Oksigen dapat merupakan faktor pembatas dalam
penentuan kehadiran makhluk hidup di dalam air. Penentuan oksigen terlarut
harus dilakukan berkali-kali di berbagai lokasi dengan tingkat kedalaman yang
berbeda pada waktu yang tidak sama (Sastrawijaya, 2000 ). Oksigen terlarut
adalah jumlah gas oksigen yang terlarut dalam air yang berasal dari hasil
fotosintesa oleh fitoplankton atau tanaman air lainnya atau difusi dari udara
(Penuntun Pratikum Ekologi Perairan, 2011 ).
E.
Bobot
Bobot merupakan suatu
perpaduan antara panjang dan berat pada ikan yang dinyatakan pada satuan yang
dapat diukur. Pengukuran berat
dari berbagai penimbangan ikan yang paling tepat adalah dengan menggunakan
timbangan duduk dan timbangan gantung, adapan keuntungan yang dimiliki dari
kedua timbangan ini adalah bekerjanya lebih teliti, pengaruh dari luar seperti
angin dapat dikurangi, serta pendugaan pertama terhadap berat ikan yang
ditimbang tidak perlu dilakukan, karena secara langsung dapat menunjukkan
beratnya. (Abdul, 1985)
F.
Amoniak
Amonia (NH3-N) dan
garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Terdapat dua bentuk amonia di
perairan, yaitu amonium yang dapat terionisasi (NH4+) dan amonia bebas yang
tidak dapat terionisasi (NH3). Amonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi (unionized)
bersifat toksik bagi organisme akuatik. Kesetimbangan reaksi kimia antara
keduanya tergantung pada kondisi pH (keasaman dan alkalinitas) serta temperatur
(Lloyd 1992).
NH4+ +
OH- ↔ NH3 + H2O
Amonia di perairan
bersumber dari hasil metabolisme organisme akuatik dan dekomposisi bahan
organik oleh bakteri (Boyd 1989). Selain itu, amonia dapat berasal dari
nitrogen organik yang masuk ke perairan (urea), respirasi bakteri, organisme
mati, dan sel yang pecah (Painter 1970 in Novotny & Olem 1994).
Meskipun amonia bersumber dari hasil ekskresi hewan akuatik, namun proporsinya
terhitung kecil jika dibandingkan dengan pembentukan amonia dari dekomposisi
oleh bakteri (Wetzel 2001).
G.
Kepadatan
Padat penebaran ikan
adalah jumlah ikan yang ditebar persatuan luas atau volume kolam atau wadah
pemeliharaan (Hepher dan Pruginin, 1981). Pada kondisi padat penebaran ikan
makin tinggi, oksigen terlarut makin berkurang Stickney, 1979; Sarah, 2002),
begitu pula dengan ketersediaan pakan sedangkan akumulasi bahan buangan
metabolik ikan akan makin tinggi. Jika faktor-faktor tersebut dapat
dikendalikan, maka peningkatan padat penebaran dapat dilakukan tanpa menurunkan
laju pertumbuhan ikan (Hepher dan Pruginin, 1981).
Padat penebaran ikan
adalah jumlah ikan per satuan volume air. Padat penebaran erat sekali
hubungannya dengan produksi dan pertumbuhan ikan (Hickling, 1971). Padat
penebaran ikan yang terlalu tinggi dapat menurunkan mutu air, pertumbuhan ikan
yang lambat, tingkat kelangsungan hidup ikan yang rendah serta tingkat
keragaman ukuran ikan yang tinggi. Padat penebaran yang rendah dalam kegiatan
budidaya dapat mengakibatkan produksi rendah (Slembrouck et al., 2005).
Wedemeyer (1996)
menyatakan bahwa peningkatan padat penebaran akan mengganggu proses fisiologi
dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan
kondisi kesehatan dan fisiologis sehingga pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan
kelangsungan hidup mengalami penurunan. Respon stres terjadi dalam tiga tahap
yaitu tanda adanya stres, bertahan, dan kelelahan. Ketika ada stres dari luar
ikan mulai mengeluarkan energinya untuk bertahan dari stres. Selama proses
bertahan ini pertumbuhan menurun. Stres meningkat cepat ketika batas daya tahan
ikan telah tercapai atau terlewati. Dampak stres ini mengakibatkan daya tahan
tubuh ikan menurun dan selanjutnya terjadi kematian. Gejala ikan sebelum mati
yaitu warna tubuh menghitam, gerakan tidak berorientasi, dan mengeluarkan
lendir pada permukaan kulitnya.
III.
METODELOGI
A.
Waktu
dan Tempat
Praktikum manajemen kualitas air
ini dilaksanakan setiap hari selama 14 hari, 22 Mei-05 Juni 2013. Bertempat di
laboratorium perikanan Universitas Lampung.
B.
Alat
dan Bahan
Adapun alat dan bahan
yang digunakan adalah sebagai berikut:
·
Akuarium
·
Aerator
·
Heater
·
Filter
·
DO meter
·
pH
·
thermometer
·
tetra kit
·
timbangan
·
tabung reaksi
·
spektrofotometer
·
ikan gurame
·
pakan
C.
Cara
Kerja
Adapun cara kerja yang
dilakukan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Persiapan
akuarium dan ikan
a. Akuarium
·
Menyiapkan akuarium sebanyak 9 buah
·
Meletakkan akuarium pada kondisi yang
samam diruang tertutup
·
Mengisi air dengan volume air 5 cm dari
atas akuarium
·
Membagi akuarium sebanyak tiga Kelompok
o
Menggunakan aerasi
o
Menggunakan filter
o
Menggunakan filter dan heater
b. Ikan
·
Menghitung jumlah ikan yang akan
digunakan disesuaikan dengan volume akuarium
·
Volume ikan dibagi menjadi tiga Kelompok
o
Kepadatan 25/m
o
Kepadatan 50/m
o
Kepadatan 100/m
·
Menyiapkan ikan dengan jenis, umur, dan
ukuran yang seragam
·
Menempatkan ikan yang akan digunakan
pada satu bak selama 3 hari (diberi pakan dan disifon)
·
Memasukkan ikan kedalam akuarium yang
sudah diberi label sesuai Kelompok
c. Pemeliharaan
ikan
·
Dilakukan selama 14 hari
·
Pemberian pakan 3% dari rata-rata bobot
ikan sebanyak 3x sehari
d. Pengamtan
Kualitas Air
Parameter yang akan diamati:
o
DO (setiap hari)
o
pH (setiap Hari)
o
suhu (setiap hari)
o
Amoniak (3 sehari sekali)
o
Biomassa (3 hari sekali)
o
SR (akhir praktikum)
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Pengamatan
Suhu
No
|
Perlakuan
|
||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
|
1
|
27
|
28
|
28
|
29
|
29
|
29
|
36
|
31
|
34
|
2
|
27.5
|
27
|
27,5
|
30
|
29.5
|
29
|
29
|
34.5
|
34
|
3
|
27.5
|
27.5
|
27,5
|
30.6
|
29.5
|
29.5
|
34.5
|
34.5
|
34
|
4
|
27.5
|
28
|
30
|
30.5
|
30
|
29.5
|
32.5
|
34.5
|
34.5
|
5
|
27
|
26.5
|
27
|
28.5
|
29.5
|
29.5
|
32
|
33
|
34
|
6
|
27
|
28
|
26,5
|
27.5
|
29.5
|
29
|
32.5
|
32
|
-
|
7
|
26
|
27
|
25,5
|
28.5
|
29
|
28.5
|
35
|
34
|
35
|
8
|
25
|
26
|
25,5
|
27.5
|
29.5
|
28
|
36
|
34
|
34
|
9
|
25
|
27
|
26
|
26.5
|
28.5
|
29.5
|
33
|
34
|
33.5
|
10
|
25
|
28
|
26
|
30.5
|
30
|
29
|
35
|
34
|
34
|
11
|
|
26
|
27
|
27
|
29
|
29.5
|
34
|
33.5
|
35
|
12
|
|
27.5
|
26
|
|
28.5
|
|
32.5
|
35
|
34.5
|
13
|
|
27
|
|
|
29
|
|
35
|
33.5
|
34.5
|
14
|
|
|
|
|
|
|
34
|
|
34
|
pH
No
|
Perlakuan
|
||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
|
1
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
2
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6,5
|
6
|
6
|
6
|
3
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
4
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
5
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6
|
6,5
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6
|
5,5
|
6
|
6,5
|
6
|
8
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6,5
|
5,5
|
6
|
6
|
6
|
9
|
6
|
6
|
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
10
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6,5
|
5,5
|
5,25
|
5,5
|
5,5
|
11
|
|
6
|
|
6
|
6
|
5,5
|
|
6
|
6
|
12
|
|
6
|
|
|
6
|
|
6
|
|
6
|
13
|
|
7
|
|
|
6
|
|
|
|
6
|
14
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DO
No
|
Perlakuan
|
||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
|
1
|
|
|
|
|
|
5.33
|
|
|
|
2
|
5.5
|
|
8.48
|
5.65
|
5.35
|
5.57
|
|
5.4
|
5.77
|
3
|
5.2
|
6.75
|
5.46
|
5.77
|
5.25
|
5.6
|
6.27
|
5.32
|
5.42
|
4
|
5.3
|
5.54
|
5.46
|
5.08
|
5.65
|
6.6
|
8.09
|
5.26
|
5.33
|
5
|
8.2
|
5.4
|
4.77
|
3.37
|
5.36
|
5.4
|
4.72
|
5.16
|
5.81
|
6
|
7.7
|
4.84
|
7.91
|
4.29
|
5.18
|
8.49
|
7.84
|
6.74
|
5.73
|
7
|
8,75
|
5.3
|
8.67
|
3.98
|
9.41
|
8.92
|
9.53
|
8.86
|
7.93
|
8
|
9.3
|
7.23
|
9.5
|
6.16
|
10.55
|
8.87
|
9.87
|
9.88
|
10.35
|
9
|
8.4
|
9.83
|
9.77
|
7.26
|
9.02
|
8.78
|
7.48
|
7.86
|
9.24
|
10
|
|
9.04
|
8.24
|
5.42
|
8.98
|
8.77
|
9.06
|
9.57
|
9.25
|
11
|
|
8.78
|
9
|
3.73
|
8.84
|
|
9.63
|
7.25
|
7.78
|
12
|
|
9.75
|
18.33
|
|
10.68
|
|
10.73
|
7.96
|
9.82
|
13
|
|
9.51
|
9.72
|
|
|
|
10.42
|
9.42
|
8.37
|
14
|
|
10.4
|
|
|
|
|
|
|
|
Biomassa
No
|
Perlakuan
|
||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
|
1
|
0.87
|
2.5
|
0.4
|
3
|
4.3
|
2.54
|
5.3
|
5.3
|
2
|
2
|
5
|
4.2
|
0.52
|
3
|
5.5
|
4.63
|
5.67
|
5.12
|
6.7
|
3
|
|
3
|
8
|
2
|
3
|
7.5
|
6
|
4.94
|
3
|
4
|
|
|
|
|
|
6
|
|
|
4
|
5
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ammonia
No
|
Perlakuan
|
||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
|
1
|
0.5
|
0.13
|
0.127
|
0.123
|
0.045
|
0.128
|
0.151
|
0.017
|
0.142
|
2
|
|
0.83
|
0.52
|
0.081
|
0.031
|
0.107
|
0.95
|
0.0124
|
0.074
|
3
|
|
0.85
|
0.7
|
0.98
|
0.026
|
0.085
|
0.083
|
0.018
|
0.089
|
4
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
B.
Pembahasan
1. Perbandingan Parameter Kualitas Air
a. pH
Dari
data diatas dapat disimpulkan bahwa pH dalam kolam normal permanent ini cukup
normal bagi kegiatan budidaya, yaitu 6. Besarnya pH kolam ini dipengaruhi oleh
banyaknya CO2 yang terlarut di perairan tersebut. Kordi K. dan Tancung (2007)
mengatakan bahwa semakin banyak CO2 yang dihasilkan dari hasil respirasi,
reaksi bergerak ke kanan dan secara bertahap melepaskan ion H+ yang menyebabkan
pH air turun. Reaksi sebaliknya terjadi dengan aktivitas fotosintesis yang membutuhkan
banyak ion CO2, menyebabkan pH air naik.
Nilai
pH mempngaruhui kandungan amoniak yang terlarut dalam perairan. Menurut Boyd,
1990 dalam Syawal et al., 2008 dengan meningkatnya pH maka
kadar amoniak juga meningkat. Dri nialai rata – rata pH pada masing – masing
perlakuan, adalah pH yang sesuai untuk dilakukannya pengamatan pH tersebut
berkisar antara 6 sampai mendekati 8. Menurut cahyono (2001), kualitas air pada
media untuk budi daya ikan seperti PH air yang harus berada pada kisaran 6-8. Kelompok
ikan ini tidak dapat mentolerir pH air dibawah 5 dan diatas 10 .
Adapun dari hasil pengukuran pH menunjukan
nilai pH berkisar 6,0 – 7,0 hal ini menunjukan pH perairan masih dalam kondisi
stabil atau netral. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Boyd, 1982 ; Nybakken,
1992 ) pH relatif lebih stabil dan
berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 6,7 – 8,4. pH
dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat
dan bikarbonat yang dikandungnya.
Jika pH rendah (keasaman tinggi)
akan menyebabkan penurunan oksigen terlarut, konsumsi oksigen menurun,
peningkatan aktivitas pernapasan, dan penurunan selera makan. Rentang toleransi
pH : 6.5 –9.0. pH optimal: 7.0 –8.5 Fotosintesis (siang hari) menggunakan CO2
dan respirasi (siang –malam) menghasilkan CO2 dan apabila CO2
terlarut tinggi pada malam hari maka pH cenderung rendah.
Semakin banyak CO2 yang
dihasilkan dari respirasi, makan reaksi akan bergerak ke kanan dan pelepasan ion H+ sehingga pH air turun
(cenderung asam). Sedangkan Penurunan/penggunaan CO2 dalam
fotosintesis oleh fitoplankton maka pH air naik (cenderung basa).
Jadi kesimpulannya adalah semakin
rendah pH (keasaman tinggi) maka akan menyebabkan penurunan oksigen terlarut
dalam air. apabila CO2 terlarut tinggi pada maka pH cenderung rendah
dan kandungan oksigen juga rendah.
b.
Suhu
Pengukuran suhu, dari hasil
pengukuran yang telah dilakukan suhu perairan mengalami fluktuasi mulai dari
suhu terendah 25o C sampai dengan suhu tertinggi yaitu 35o
C. Nontji ( 1979 ) menyatakan bahwa suhu air di permukaan dipengaruhi oleh
kondisi meteorologi yakni curah hujan, penguapan , kelembapan udara, suhu
udara, kecepatan angin, dan intesitas radiasi matahari. Oleh sebab itu suhu di
permukaan biasanya mengikuti pada musiman. Suhu perairan biasanya akan
meningkat apabila intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan dalam
jumlah yang besar. Pernyataan ini didukung oleh Dahuri et el ( 1996 ) suhu
perairan dipengaruhi oleh radiasi dan posisi matahari , letak geografis, musim,
kondisi awan, proses interaksi air dengan udara seperti kenaikan panas,
penguapan, dan hembusan angin. Pola temparatur ekosistem air dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air
dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi
(penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Di samping itu
pola temperatur perairan dapat di pengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen
(faktor yang di akibatkan oleh aktivitas manusia) seperti limbah panas yang
berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan DAS yang menyebabkan hilangnya
perlindungan, sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.
Tetapi dalam praktikum ini yaitu
pada akuarium dalam ruang yang berarati tidak ada factor dari luar yang
mempengaruhi suhu. Suhu tersebut terjadi karena suhu air dalam ruangan tersebut
dan juga karena pemasangan heater.
Temperatur yang tinggi mengakibatkan
viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan temperatur
juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O2, CO2, N2, CH4
(Hamzah, 2003). Selain itu, meningkatan kecepatan metabolism dan respirasi
organisme air serta meningkatnya konsumsi oksigen dalam perairan. Peningkatan temperatur
juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organic oleh mikroba.
Menurut Chua dan Teng (1978),
kualitas perairan yang optimal untuk pertumbuhan ikan , seperti temperatur
berkisar 24-31oC. Sementara itu, Suprakto dan Fahlivi (2007),
mengatakan temperatur air pada lokasi budidaya, berkisar 27-29C.
Suhu berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup ikan, mulai dari telur, benih sampai ukuran dewasa.
Rentang toleransi serta suhu optimum tempat pemeliharaan ikan berbeda untuk
setiap jenis/spesies ikan, hingga stadia pertumbuhan yang berbeda. Suhu
memberikan dampak sebagai berikut terhadap ikan :
a) Suhu dapat mempengaruhi aktivitas makan ikan peningkatan suhu
b) Peningkatan aktivitas metabolisme ikan
c) Penurunan gas (oksigen) terlarut
d) Efek pada proses reproduksi ikan
e) Suhu ekstrim bisa menyebabkan kematian ikan. (Anonim, 2009. SITH ITB)
c.
DO
Oksigen
terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari fotosintesa
dan absorbsi atmosfer/udara. Oksigen terlarut di suatu perairan sangat berperan
dalam keberlangsungan hidup suatu organisme perairan.
Seperti
yang diungkapkan dalam Effendie (2003), bahwa peningkatan suhu perairan C
menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen°sebesar
10 akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan
penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen seringkali tidak
mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses
metabolisme dan respirasi.
Pada
praktikum ini, oksigen sepenuhnya berasal dari aerator dan air yang berdifusi
dengan udara lewan air yang jatuh dari aerator. Sehingga dari hal tersebut
oksigen yang masuk dapat dikontrol dengan baik.
Hal
ini sesuai dengan pernyataan Barus (2002), bahwa sumber utama oksigen terlarut
dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak langsung dengan
air dan dari proses fotosintesis selanjutnya DO berkurang melalui aktifitas
respirasi yang dilakukan oleh organisme perairan. Menurut Effendi (2003) bahwa
pada perairan tawar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/L pada suhu 00C dan
18 mg/L pada suhu 250C, kadar oksigen pada perairan alami biasanya kurang dari
10 mg/L
Kadar
oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman,
tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air,
aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke dalam
air (Effendi, 2003).
Hubungan antara suhu dengan oksigen
terlarut yaitu Peningkatan temperatur sebesar 1oC akan meningkatkan
konsumsi oksigen sekitar 10% (Boyd, 1988). Dekomposisi bahan organic dan
oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga
mencapai nol (anaerob).
Hubungan antara kadar oksigen
terlarut jenuh dan temperatur menggambarkan bahwa semakin tinggi temperatur,
kelarutan oksigen semakin berkurang. Daya larut oksigen dalam air pada
temperatur 25o C berbeda.
2.
Pengaruh
Parameter Kualitas Air terhadap SR
Dari hasil pengamatan tersebut nilai SR pada masing – masing
perlakuan berbeda . untuk kontro SR dari minngu 1 sekitar 63% sedangkan untuk
minngu ke 2 adalah sekitar 90%. Nilai tersebut berbeda – beda karena terdapat
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal di antaranya seperti
umur, daya tahan tubuh ikan, gen, dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal
berasal dari lingkungan di mana spesies itu berada yaitu seperti adanya virus,
bakteri yang menyebabkan kematian pada ikan tersebut, suhu, pH, DO, dan lain-lain.
Tingkat
kelangsungan hidup ikan adalah nilai persentase jumlah yang hidup selama masa
pemeliharaan tertentu. Padat penebaran ikan yang tinggi dapat mempengaruhi
lingkungan budidaya dan interaksi ikan. Penyakit dan kekurangan oksigen akan
mengurangi jumlah ikan secara drastis, terutama ikan yang berukuran kecil
(Hepher dan Pruginin, 1981). Tingkat kelangsungan hidup ikan akan menentukan
produksi yang akan diperoleh.
Hepher dan
Pruginin (1981) menyatakan bahwa hasil panen persatuan luas (yield) merupakan
fungsi dari laju pertumbuhan ikan dan tingkat padat penebaran ikan. Peningkatan
padat tebar dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan ikan, tetapi selama
penurunannya tidak terlalu besar dibandingkan peningkatan padat tebar maka
produksi akan tetap meningkat. Ketika penurunan pertumbuhan yang terjadi
semakin besar maka penurunan produksi akan terjadi hingga mencapai tingkat
pertumbuhan nol. Ini berarti bahwa hasil ikan yang ditebar telah mencapai nilai
carrying capacity atau daya dukung maksimum wadah budidaya.
Peningkatan padat
penebaran ikan tanpa disertai dengan peningkatan jumlah pakan yang diberikan
dan kualitas air terkontrol akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ikan (critical
standing crop) dan jika telah sampai pada batas tertentu (carrying
capacity) maka pertumbuhannya akan berhenti sama sekali (Hepher dan
Pruginin, 1981).
Wedemeyer (1996)
menyatakan bahwa peningkatan padat penebaran akan mengganggu proses fisiologi
dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan
kondisi kesehatan dan fisiologis sehingga pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan
kelangsungan hidup mengalami penurunan. Respon stres terjadi dalam tiga tahap
yaitu tanda adanya stres, bertahan, dan kelelahan. Ketika ada stres dari luar
ikan mulai mengeluarkan energinya untuk bertahan dari stres. Selama proses
bertahan ini pertumbuhan menurun. Stres meningkat cepat ketika batas daya tahan
ikan telah tercapai atau terlewati. Dampak stres ini mengakibatkan daya tahan
tubuh ikan menurun dan selanjutnya terjadi kematian. Gejala ikan sebelum mati
yaitu warna tubuh menghitam, gerakan tidak berorientasi, dan mengeluarkan
lendir pada permukaan kulitnya.
Faktor
yang mempengaruhi stres adalah kondisi kualitas air, khususnya oksigen dan
amoniak. Kandungan oksigen yang rendah dapat menurunkan tingkat konsumsi pakan
ikan (nafsu makan), karena oksigen sangat dibutuhkan untuk respirasi, proses
metabolisme di dalam tubuh, aktivitas pergerakan dan aktivitas pengelolaan
makanan. Menurunnya nafsu makan ikan dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan.
Selain itu, konsentrasi amoniak hasil metabolisme yang meningkat pada media
pemeliharaan juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan karena menurunkan
konsumsi oksigen akibat kerusakan pada insang, penggunaan energi yang lebih
akibat stres yang ditimbulkan, dan mengganggu proses pengikatan oksigen dalam
darah (Boyd, 1990) yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.
3.
Pengaruh
Parameter Kualitas Air terhadap Amoniak
pH dan suhu
Komposisi amonia
di perairan bergantung pada parameter pH dan suhu. Proporsi amonia yang tidak
terionisasi (NH3) lebih besar dibandingkan dengan amonium (NH4+) saat pH
meningkat (Boyd 1989). Peningkatan suhu perairan juga berperan serta
meningkatkan proporsi NH3, tetapi pengaruhnya lebih rendah dibandingkan
pengaruh pH (Llyod 1992).
Nilai pH
mempngaruhui kandungan amoniak yang terlarut dalam perairan. Menurut Boyd, 1990
dalam Syawal et al., 2008 dengan meningkatnya pH maka kadar
amoniak juga meningkat.
Oksigen
terlarut (O2)
Keberadaan oksigen
terlarut juga mempengaruhi keberadaan amonia di perairan. Konsentrasi amonia
lebih besar pada kedalaman perairan yang lebih dalam. Hal ini terjadi berkaitan
dengan konsentrasi oksigen terlarut yang berkurang seiring dengan bertambahnya
kedalaman, sehingga proses oksidasi amonia atau proses dekomposisi bahan
organik akan terhambat dan mengakibatkan akumulasi amonia (Simarmata 2007).
Berdasarkan
hasil penelitian Amalia (2010), perairan yang memiliki kesuburan eutrofik
ditandai dengan terjadinya penurunan kecerahan, meningkatnya tanaman air, dan
munculnya kondisi oksigen terlarut yang sangat rendah bahkan mencapai nol di
daerah hipolimnion (Suryono et al. 2006 in Amalia 2010). Aerasi
hipolimnion yang dilakukan oleh Nursandi (2011) mampu meningkatkan konsentrasi
oksigen terlarut. Akan tetapi, distribusinya tergantung dari jaraknya dari
titik outlet aerasi. Semakin dekat dengan titik outlet aerasi, konsentrasi
oksigen terlarut di perairan akan semakin tinggi.
Bahan organik
Jumlah bahan
organik yang masuk ke perairan turut mempengaruhi keberadaan amonia.
Peningkatan sisa pakan yang jatuh ke dasar akuarium, akan berpotensi
meningkatkan konsentrasi amonia. Hal ini dapat diketahui dengan mengukur nilai
COD (Chemical Oxygen Demand), yaitu jumlah total oksigen yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi
secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara
biologis (non biodegradable) (Boyd 1979).
Keberadaan bahan
organik dapat diindikasikan melalui kekeruhan perairan. Kekeruhan meningkat seiring dengan bertambahnya
kedalaman. Kekeruhan yang tinggi diakibatkan oleh partikel-partikel tersuspensi
yang masuk ke dalam perairan. Partikel tersebut memiliki massa jenis yang lebih
besar dari air, sehingga akan menuju kolom air yang lebih dalam dan mengendap
di dasar perairan.
Tingginya
kandungan bahan organik di lapisan kompensasi tanpa disertai keberadaan oksigen
terlarut mampu memicu proses dekomposisi bahan organik secara anaerob
menghasilkan bahan toksik. Kandungan bahan organik di perairan dapat dikurangi
dengan menerapkan aerasi pada lapisan hipolimnion seperti yang terjadi pada
Situ Bojongsari (Hartoto 1995). Penurunan konsentrasi COD mengindikasikan telah
terjadinya proses perombakan bahan organik secara aerob oleh mikroba dekomposer
akibat peningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Uhlmann 1977 in Sudaryanti
1991).
Nitrit (NO2-N)
Keberadaan nitrit
di perairan sangat sedikit dibandingkan nitrat. Nitrit bersifat tidak stabil,
berkaitan dengan keberadaan oksigen. Nitrit mudah dioksidasi menjadi nitrat
saat kondisi aerob. Pada air limbah, konsentrasi nitrit jarang melebihi 1,0
mg/l dan pada perairan alami jarang melebihi 0,1 mg/l (Irfim et al.
2008).
Berdasarkan hasil
penelitian Amalia (2010), konsentrasi nitrit pada sebesar 0,032 mg/l pada
lapisan permukaan dan 0,021 mg/l pada lapisan kompensasi (4,3-7,4 m).
Konsentrasi nitrit meningkat pada lapisan hipolimnion yang anaerob serta pada
perairan yang menerima beban pencemaran bahan organik berat (Brezonik & Lee
1968; Overbeck 1968 in Wetzel 2001). Konsentrasi nitrit umumnya rendah
pada kondisi perairan yang teroksigenasi, maksimum sebesar 10 μg/L pada bagian
atas hipolimnion (Mortonson & Brooks 1980 in Wetzel 2001).
Nitrat (NO3-N)
Nitrat
merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama
bagi fotosintesis oleh organisme autotrof di perairan. Nitrat nitrogen sangat
mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses
oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Kadar nitrat di perairan yang
tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar amonium. Kadar nitrat di
perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Kadar nitrat yang lebih
dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan, yang
selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming).
Konsentrasi nitrat akan mengalami penurunan sejalan dengan bertambahnya
kedalaman, karena tidak tersedianya oksigen terlarut di dasar perairan yang
menyebabkan nitrifikasi tidak berjalan dengan baik (Simarmata 2007).
Toksisitas amonia meningkat pada saat kelarutan
oksigen rendah dan pengaruh racunnya menurun ketika terjadi peningkatan
konsentrasi CO2, sehingga amonia jarang dijumpai pada perairan dengan kelarutan
oksigen yang cukup.
Amonia bersifat toksik bagi biota perairan karena
mengganggu proses pengikatan
oksigen oleh darah. Konsentrasi amonia yang bersifat
toksik bagi sebagian besar biota perairan berkisar antara 0,60 – 2,00 mg/l (The
Europen Inland Fisheries Advisory Commission, 1973). Ammonia yang
tidak terionisasi bersifat akut pada organisme perairan dan tingkat
keracunannya sangat tergantung pada salinitas, suhu dan pH, sementara nitrat
dan nitrit secara signifikan tidak bersifat toksik bagi
ikan, tetapi sebagai penyebab terjadinya blooming
alga di perairan (Handy dan Poxton, 1993). Amonia hasil pengukuran yang
dilakukan di perairan teluk berkisar antara 0,019 – 0,288 mg/l. Berdasarkan
literatur sebelumnya, maka dapat
dikatakan bahwa kandungan ammonia di perairan Teluk
Pelabuhan Ratu tidak bersifat toksik bagi organisme yang akan dipelihara di
dalam keramba apung.
Menurut Colt dan Amstrong (1979) bahwa begitu kadar
amonia meningkat dalam air, maka ekskresi ammonia oleh ikan akan menurun dan
kadar ammonia dalam darah dan jaringan meningkat. Hasilnya adalah meningkatnya
pH darah dan berpengaruh buruk terhadap reaksi katalis enzim dan stabilitas
membran. Ammonia juga meningkatkan konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak
insang, dan mengurangi kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Perubahan histology
terjadi di dalam ginjal, empedu, kelenjar thyroid dan darah ikan
yang terkena konsentrasi sublethal ammonia.
4.
Pengaruh
Kepadatan terhadap Amoniak
Padat
penebaran ikan adalah jumlah ikan yang ditebar persatuan luas atau volume kolam
atau wadah pemeliharaan (Hepher dan Pruginin, 1981). Pada kondisi padat
penebaran ikan makin tinggi, oksigen terlarut makin berkurang (Stickney, 1979;
Sarah, 2002), begitu pula dengan ketersediaan pakan sedangkan akumulasi bahan
buangan metabolik ikan akan makin tinggi. Jika faktor-faktor tersebut dapat
dikendalikan, maka peningkatan padat penebaran dapat dilakukan tanpa menurunkan
laju pertumbuhan ikan (Hepher dan Pruginin, 1981).
Dari Tabel di atas
dapat dilihat bahwa meningkatnya kebutuhan oksigen seiring dengan peningkatan
padat penebaran dan ukuran ikan, akibatnya jumlah kelarutan oksigen dalam media
pemeliharaan semakin berkurang karena oksigen dimanfaatkan ikan untuk respirasi
dan juga untuk metabolisme. Pada Tabel , dapat dilihat bahwa terjadi penurunan
konsentrasi oksigen terlarut akibat dari peningkatan padat penebaran. Menurut
Stickney (1979), suplai oksigen di wadah produksi akuakultur sebaiknya
berbanding lurus dengan padat penebaran ikan dan jumlah pakan yang dikonsumsi
oleh ikan. Oksigen yang semakin berkurang dapat ditingkatkan dengan pergantian
air dan aerasi (Goddard, 1996).
Ikan
memerlukan oksigen terlarut yang cukup bagi kehidupannya. Kandungan oksigen
yang rendah menyebabkan nafsu makan menurun, yang selanjutnya akan berpengaruh
terhadap laju pertumbuhan ikan. Kisaran nilai optimum oksigen terlarut bagi
pertumbuhan ikan menurut Boyd (1982) adalah di atas 5 ppm. Meskipun demikian
kandungan oksigen terlarut 4,21-5,43 ppm masih dapat memberikan pertumbuhan dan
kelangsungan hidup yang baik bagi benih ikan gurame dengan bobot individu
sekitar 10 mg atau berumur 10 hari (Affiati dan Lim, 1986).
Laju
oksidasi, laju oksidasi nitrit dan laju nitrifikasi juga meningkat dengan
meningkatnya padat penebaran yang secara tidak langsung berkaitan dengan
meningkatnya buangan metabolit dan sisa pakan di dalam sistem budidaya.
Dekomposisi metabolit dan sisa pakan yang meningkat akan meningkatkan
konsentrasi amoniak di dalam sistem, sehingga mendorong meningkatnya laju
oksidasi amoniak, laju oksidasi nitrit dan laju nitrifikasi. Kandungan amonia
antara 0,0-0,12 ppm masih menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang
baik bagi benih ikan gurame (Affiati dan Lim, 1986).
Bardach
et al. (1972) menambahkan bahwa padat penebaran juga akan mempengaruhi
keagresifan ikan. Ikan yang dipelihara dalam padat penebaran yang rendah lebih
agresif dibanding yang dipelihara dalam padat penebaran lebih tinggi. Ikan yang
dipelihara dalam padat penebaran yang tinggi akan lambat pertumbuhannya karena
tingginya tingkat kompetisi dan banyaknya sisa-sisa metabolisme yang tertimbun
di dalam air.
5.
Permasalahan
dalam Praktikum ini.
Pada praktikum ini
terdapat beberapa permasalahan yaitu menurunnya kualitas air akibat buangan
metabolisme dan sisa pakan ikan. Hal ini dapat menurunkan kualitas air dengan
cepat karena menyebabkan menurunnya pH dan oksigen terlarut, meningkatnya
amoniak karbondioksida, dan kekeruhan pada air, dan sebagainya. Akibat
menurunnya kualitas air ikan dapat terserang penyakit dengan cepat.
Selain itu, pada
praktikum ini mengalami masalah saat awal praktikum yaitu ikan yang digunakan
pada praktikum telah terjangkit penyakit seperti jamur yang menempel pada tubuh
ikan. Sehingga dirasa karena penyakit yang diderita sebelum praktikum tersebut
menyebabbkan ikan sulit bertahan hidup pada proses berjalannya praktikum.
V.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang
dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Semakin rendah pH (keasaman tinggi)
maka akan menyebabkan penurunan oksigen terlarut dalam air. apabila CO2
terlarut tinggi pada maka pH cenderung rendah dan kandungan oksigen juga rendah
2. Semakin tinggi temperatur, kelarutan
oksigen semakin berkurang
3. Peningkatan
padat penebaran ikan tanpa disertai dengan peningkatan jumlah pakan yang
diberikan dan kualitas air terkontrol akan mempengaruhi kelangsungan hidup
ikan.
4. Peningkatnya
pH, suhu, dan bahan organic di perairan akan meningkatkan kadar amoniak di
perairan tersebut.
5. Kualitas
air yang baik bagi suatu perairan yaitu suatu keadaan diamana parameter yang
ada dalam perairan tersebut dapat terjaga dan terkontrol dengan baik serta
tetap stabil setiap saat sehingga tercapainya keadaan yang optimal bagi
kegiatan budidaya dan tempat hidup ikan.
B.
Saran
Adapun saran yang dapat
diberikan pada praktikum ini yaitu perlu digunakannya peralatan penunjang
praktikum yang lebih baik lagi, agar praktikan dapat bekerja dengan maksimal.
Selain itu dalam
manajemen kualitas air, agar didapatkan hasil yang maksimal dari budidaya ikan
maka diperlukan manajemen yang baik pada kolam budidaya ikan terutama dalam hal
manajemen kualitas air yang merupakan faktor penting karena air merupakan media
hidup bagi organisme yang dibudidayakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Affiati NA, Lim. 1986. Pengaruh saat
awal pemberian pakan alami terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih
ikan gurami Osphronemus goramy. Bull. Penel. Perik. Darat. 5(1) : hlm
66-69.
Bardach JE, Ryther JH, McLarney WO.
1972. Aquaculture : The Farming and Husbandry of Fresh Water and Marine
Organism. John Wiley and Sons. New York. hlm 868.
Barus, T. A, 2002. Pengantar Limnologi.
Jurusan Biologi FMIPA USU. Medan
Boyd, C. E., 1982. Water
Quality in Ponds for Aquaculture.
Birmingham Publishing Co.
Birmingham, Alabama.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air.
Kanisius. Yogyakarta
Fajri,
Nur El dan Agustina. 2013. Penuntun Praktikum dan Lembar Kerja Praktikum
Ekologi Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UR. Pekanbaru.
Goddard S. 1996. Feed Management in Intensive
Aquaculture. Chapman and Hall. New York. hlm 194.
Hepher
B, Pruginin Y. 1981. Commercial Fish Farming with Special Reference to Fish
Culture in Israel. John Willey and Sons, New York. hlm 261.
Hickling CF. 1971. Fish Culture. Faber and
Faber, London. hlm 348.
Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Lloyd 1992
Painter 1970 in Novotny & Olem
1994
Sarah
S. 2002. Pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup
benih ikan gurame (Osphronemus goramy Lac.). [Skripsi]. Program Studi
Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Institut Pertanian Bogor. hlm 39.
Sihotang,C.
dan Efawani. 2006. Penuntun Praktikum Limnologi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan UR. Pekanbaru.
Slembrouck J, Komarudin O, Maskur, Legendre
M. 2005. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Patin Indonesia, Pangasius djambal.
IRD-PRPB, Jakarta. hlm 143.
Subarijanti, H. U. 2005. Pemupukan dan
Kesuburan Perairan. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang
Tim Praktikum Limnologi. 2008. Petunjuk
Praktikum Limnologi Analisis Air. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya. Malang
Wardoyo, S.T.H., 1981, Kriteria Kualitas Air untuk
Keperluan Pertanian dan Perikanan, Makalah Training AMDAL, Kerjasama
PPLH-UNDEP-PUSDL¬PSL, 19-31, Januari, 1981, Bogor.
Wetzel 2001
Wedemeyer GA. 1996. Physiology of Fish in
Intensive Culture Systems. Northwest Biological Science Center National
Biological Service U. S Departement of the Interior. Chapman ang Hall. hlm 232.
Wijanarko, P. 2005. Catatan Kuliah Manajemen
Kualitas Air. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang
Wiryanto dan Pitoyo. 2001. Produktifitas
Primer Perairan Waduk Cengklik Boyolali. Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
57126. Diterima: 20 Pebruari 2001
LAMPIRAN
A.
Data
Kelas
Suhu
No
|
Perlakuan
|
||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
|
1
|
27
|
28
|
28
|
29
|
29
|
29
|
36
|
31
|
34
|
2
|
27.5
|
27
|
27,5
|
30
|
29.5
|
29
|
29
|
34.5
|
34
|
3
|
27.5
|
27.5
|
27,5
|
30.6
|
29.5
|
29.5
|
34.5
|
34.5
|
34
|
4
|
27.5
|
28
|
30
|
30.5
|
30
|
29.5
|
32.5
|
34.5
|
34.5
|
5
|
27
|
26.5
|
27
|
28.5
|
29.5
|
29.5
|
32
|
33
|
34
|
6
|
27
|
28
|
26,5
|
27.5
|
29.5
|
29
|
32.5
|
32
|
-
|
7
|
26
|
27
|
25,5
|
28.5
|
29
|
28.5
|
35
|
34
|
35
|
8
|
25
|
26
|
25,5
|
27.5
|
29.5
|
28
|
36
|
34
|
34
|
9
|
25
|
27
|
26
|
26.5
|
28.5
|
29.5
|
33
|
34
|
33.5
|
10
|
25
|
28
|
26
|
30.5
|
30
|
29
|
35
|
34
|
34
|
11
|
|
26
|
27
|
27
|
29
|
29.5
|
34
|
33.5
|
35
|
12
|
|
27.5
|
26
|
|
28.5
|
|
32.5
|
35
|
34.5
|
13
|
|
27
|
|
|
29
|
|
35
|
33.5
|
34.5
|
14
|
|
|
|
|
|
|
34
|
|
34
|
pH
No
|
Perlakuan
|
||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
|
1
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
2
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6,5
|
6
|
6
|
6
|
3
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
4
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
5
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6
|
6,5
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6
|
5,5
|
6
|
6,5
|
6
|
8
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6,5
|
5,5
|
6
|
6
|
6
|
9
|
6
|
6
|
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
10
|
6
|
6
|
7
|
6
|
6,5
|
5,5
|
5,25
|
5,5
|
5,5
|
11
|
|
6
|
|
6
|
6
|
5,5
|
|
6
|
6
|
12
|
|
6
|
|
|
6
|
|
6
|
|
6
|
13
|
|
7
|
|
|
6
|
|
|
|
6
|
14
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
DO
No
|
Perlakuan
|
||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
|
1
|
|
|
|
|
|
5.33
|
|
|
|
2
|
5.5
|
|
8.48
|
5.65
|
5.35
|
5.57
|
|
5.4
|
5.77
|
3
|
5.2
|
6.75
|
5.46
|
5.77
|
5.25
|
5.6
|
6.27
|
5.32
|
5.42
|
4
|
5.3
|
5.54
|
5.46
|
5.08
|
5.65
|
6.6
|
8.09
|
5.26
|
5.33
|
5
|
8.2
|
5.4
|
4.77
|
3.37
|
5.36
|
5.4
|
4.72
|
5.16
|
5.81
|
6
|
7.7
|
4.84
|
7.91
|
4.29
|
5.18
|
8.49
|
7.84
|
6.74
|
5.73
|
7
|
8,75
|
5.3
|
8.67
|
3.98
|
9.41
|
8.92
|
9.53
|
8.86
|
7.93
|
8
|
9.3
|
7.23
|
9.5
|
6.16
|
10.55
|
8.87
|
9.87
|
9.88
|
10.35
|
9
|
8.4
|
9.83
|
9.77
|
7.26
|
9.02
|
8.78
|
7.48
|
7.86
|
9.24
|
10
|
|
9.04
|
8.24
|
5.42
|
8.98
|
8.77
|
9.06
|
9.57
|
9.25
|
11
|
|
8.78
|
9
|
3.73
|
8.84
|
|
9.63
|
7.25
|
7.78
|
12
|
|
9.75
|
18.33
|
|
10.68
|
|
10.73
|
7.96
|
9.82
|
13
|
|
9.51
|
9.72
|
|
|
|
10.42
|
9.42
|
8.37
|
14
|
|
10.4
|
|
|
|
|
|
|
|
Biomassa
No
|
Perlakuan
|
||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
|
1
|
0.87
|
2.5
|
0.4
|
3
|
4.3
|
2.54
|
5.3
|
5.3
|
2
|
2
|
5
|
4.2
|
0.52
|
3
|
5.5
|
4.63
|
5.67
|
5.12
|
6.7
|
3
|
|
3
|
8
|
2
|
3
|
7.5
|
6
|
4.94
|
3
|
4
|
|
|
|
|
|
6
|
|
|
4
|
5
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ammonia
No
|
Perlakuan
|
||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
|
1
|
0.5
|
0.13
|
0.127
|
0.123
|
0.045
|
0.128
|
0.151
|
0.017
|
0.142
|
2
|
|
0.83
|
0.52
|
0.081
|
0.031
|
0.107
|
0.95
|
0.0124
|
0.074
|
3
|
|
0.85
|
0.7
|
0.98
|
0.026
|
0.085
|
0.083
|
0.018
|
0.089
|
4
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
B.
Foto
Praktikum
C.
Format
Laporan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar