BAB
V. MANGROVE
A. Pendahuluan
1. Latar
Belakang
Mangrove adalah tanaman
pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang
dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air
laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar.
Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon
mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau. Mangrove merupakan
karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuary atau muara
sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan subtropis.
Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat diantara
daratan dan lautan dan
pada kondisi yang sesuai
mangrove akanmembentuk hutan yang ekstensif dan
produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove
sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau,atau
hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama
dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga
dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove
maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk
menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai.
Definisi ekosistem mangrove
merupakan vegetasi pohon didaerah tropis yang terdapat didaerah intertidal (
pasang surut ) dan mendapat pasokan air laut dan air tawar ( payau ).
Karakteristik hutan mangrove diantaranya yaitu memiliki habitat disubstrat yang
berlumpur, lempung, dan berpasir, karena substrat ini mempengaruhi species yang
tinggal ditempat tersebut. Mangrove hidup diperairan yang bersalinitas payau
antara 0,5-30 ppt.
Hutan mangrove memiliki fungsi dan
manfaat yang sangat besar, baik ditinjau secara fisik, kimia, biologi, ekonomi,
bahkan wahana wisata. Secara fisik hutan mangrove dapat menjaga garis pantai
agar tidak terjadi abrasi, menahan sedimen, tiupan angin, dan menyangga
rembesan air laut kedarat. Secara kimia hutan mangrove mampum mengolah limbah
agar kemungkinan pencemaran sedikit dan yang paling utama menghasilkan oksigen.
Secara biologi hutan mangrove merupakaan habitat biota darat dan laut, sebagai
daerah asuhan, mencari makan, dan tempat menghasilkan bibit ikan, batangnya
dapat dijadikan bahan bakar, bahkan dapat dijadikan suplemen. Dan sebagai
fungsi wahan wisata, hutan mangrove dijadikan sebagai tempat penelitian dan
tempat wisata.
Secara alami tumbuhan mangrove
berkembang biak dengan propagule. Produsen
utama dihutan mangrove ini adalah serasah dari daun atau ranting pohon
mangrove.
2. Tujuan
Mengetahui struktur dan komposisi dari
vegetasi mangrove berdasarkan nilai penting, indeks keragaman, indeks
keseragaman, dan indeks dominansnya.
B. Tinjauan
Pustaka
Kata
‘mangrove’ merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan
bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove
digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang
surut dan untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas
tersebut. Sedang dalam bahasa Portugis kata ’mangrove’ digunakan untuk
menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata ’mangal’ digunakan
untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Sedangkan menurut FAO, kata
mangrove sebaiknya digunakan untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas
tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut.
Menurut
Snedaker (1978) dalam Kusmana (2003), hutan mangrove adalah kelompok
jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis
yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan
bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Sedangkan
menurut Tomlinson (1986), kata mangrove berarti tanaman tropis dan komunitasnya
yang tumbuh pada daerah intertidal. Daerah intertidal adalah wilayah dibawah
pengaruh pasang surut Sepanjang garis pantai, seperti laguna, estuarin, pantai
dan river banks. Mangrove merupakan ekosistem yang spesifik karena pada
umumnya hanya dijumpai pada pantai yang berombak relatif kecil atau bahkan
terlindung dari ombak, di sepanjang delta dan estuarin yang dipengaruhi oleh
masukan air dan lumpur dari daratan.
Ekosistem
hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks
karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan
habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya
termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai
kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar
kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium
termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian
arah daratan (Kusmana, 2002).
Bersifat
dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami
suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena
mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala. Dari sudut
ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada
kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang fundamental, yaitu
daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki ciri ekologis yang
khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan biasanya terdapat
sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 2004).
Ciri-ciri
terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik
menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (2008) adalah:
•
Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;
•
Memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan
menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal
seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia
spp.;
•
Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya,
khususnya pada Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul.
•
Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.
Menurut Bengen (2001) flora mangrove
umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman
daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan
mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi
yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks
(beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang
bersangkutan.
Menurut Departemen Kehutanan
(1992), kondisi ekologis yang mengatur dan memelihara kelestarian ekosistem
mangrove sangat tergantung pada kondisi berimbangnya jumlah ketersedian air
tawar dan air masin yang cukup. Menurut Parcival and Womersley (1975) dalam
Kusmana (1995) lebih lanjut menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang
mempengaruhi hutan mangrove adalah kondisi sedimentasi, erosi laut dan sungai,
penggenangan pasang surut dan kondisi garam tanah serta kondisi akibat
eksploitasi.
C. Metodelogi
1. Waktu
dan Tempat
Hari/tanggal
: 18-19 Mei 2013
Waktu : 08.00 - selesai
Tempat : Pulau Tegal
2. Alat
dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu:
a. Transek kuadran berukuran 10x10 m, 5x5
m, dan 1x1 m.
b. Meteran
c. Alat tulis
d. Buku identifikasi
3. Cara
Kerja
Langkah kerja yang dilakukan dalam praktikum
ini yaitu:
o
Ditentukan stasiun untuk menentukan plot
o
Diletakakan tiga plot pengamatan (substasiun) vegetasi
mangrove disepanjang transseck garis
o
Diguanakan tali rafia yang telah ditentukan ukurannya 10 m x
10 m untuk melakukan pengamatan
o
Dicatat jumlah, jenis, dan diameter batang pohon yang ada didalam plot
o
Diukur dimeter pohon menggunakan dimeter kain
o
Dtentukan plot berukuran 5m x 5 m untuk anakan, dan plot 1 m
x 1m untuk semai yang masih didalam plot 10m x 10 m.
o
Diamati jenis biota yang terdapat didalam plot pengamatan
o
Dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali
o
Dihitung kerapatan jenis ( Di ), frekuensi jenis (Fi), luas
area penutupan jenis (Ci), dan nilai penting jenis (INP) yang terdapat didalam
plot pengamatan .
D. Hasil
dan Pembahasan
1. Hasil
Pengamatan
No.
|
No.
Plot
|
Pohon
|
Anakan
|
Semai
|
substrat
|
||||||
SP
|
IND
|
DB
|
SP
|
IND
|
DB
|
SP
|
IND
|
DB
|
|||
1
|
10x10
|
Aigeceras corniculatum
|
1
|
9 cm
|
Aigeceras corniculatum
|
4
|
1 cm
|
berpasir
|
|||
1.2 cm
|
|||||||||||
1 cm
|
|||||||||||
1,3 cm
|
|||||||||||
Avirennia alba blume
|
1
|
10,14 cm
|
Averennia alba blume
|
1
|
3 cm
|
|
|||||
Bruguiera cylindrica
blume
|
2
|
9,14cm
|
Bruguiera cylindrica
blume
|
1
|
3cm
|
Bruguiera cylindrica
blume
|
2
|
1 cm
|
|||
9 cm
|
1 cm
|
||||||||||
5x5
|
Aigeceras corniculatum
|
3
|
12,5 cm
|
Aigeceras corniculatum
|
1
|
2 cm
|
Aigeceras corniculatum
|
2
|
1 cm
|
||
5,7 cm
|
1 cm
|
||||||||||
4,9 cm
|
|||||||||||
1x1
|
Rhizopora apiculata
|
1
|
6 cm
|
||||||||
2
|
10x10
|
Bruguiera cylindrica
blume
|
1
|
12 cm
|
berpasir
|
||||||
5x5
|
Rhizopora apiculata
|
4
|
5 cm
|
Bruguiera cylindrica
blume
|
2
|
3 cm
|
|||||
7 cm
|
2 cm
|
||||||||||
5,5 cm
|
|||||||||||
9 cm
|
|||||||||||
Rhizopora x lamarckii
|
2
|
4,5 cm
|
|||||||||
7 cm
|
|||||||||||
1x1
|
Rhizopora apiculata
|
1
|
3 cm
|
Rhizopora apiculata
|
1
|
0,9 cm
|
2. Pembahasan
Praktikum kali ini kami mengamati ekosistem mangrove yang bertempat
di Pantai Ringgung. Pada daerah ini substrat yang kami temukan adalah berpasir
dan berlumpur, dan tempat yang kami amati dalam keadaan yang masih alami.
Pada praktikum kali ini kami menghitung
ekosistem mangrove dengan menggunakan metode Plot Transect Garis. Dimana metode
ini terdiri dari 3 plot yakni plot 10 x 10 m yang masuk dalam kategori pohon,
kemudian plot 5 x 5 m untuk kategori anakan, dan plot 1 x 1 m untuk kategori
semai.
Disini kami melakukan 3 kali pengulangan
, dengan tujuan untuk akurasi data. Data yang kami dapatkan masing-masing plot
itu sama, tapi jumlah spesies nya yang berbeda-beda. Spesies yang paling mendominan
adalah Rizopora apyculata. Spesies ini banyak terdapat di tempat praktek kami
yaitu di daerah Ringgung.
Dari ke-3 plot untuk kategori pohon (10 x
10 m), kami menemukan species Aigeceras corniculatum,
berjumlah 1, dengan Di = 0,01 , RDi = 6,25% , Fi = 0,3 , RFi = 5,56 % , Ci =
1,76 , RCi = 1,76 % , sedangkan untuk species
Avirennia
alba blume, berjumlah 1, dengan
Di = 0,02 , RDi = 6,25 % , Fi = 0,3 , RFi = 5,5 % , Ci = 12,56 , dan RCi =
12,56 %, dan untuk species Bruguiera cylindrica blume,yang
berjumlah 2, dengan Di = 0,02 , RDi = 12,5% , Fi = 0,6 , RFi = 11,1 % , Ci =
1,53 , dan RCi = 1,53 %. Untuk kategori anakan kami menemukan Averennia alba blume, dengan jumlah 1 , Di = 0,01 , RDi =
6,25 % , Fi = 0,31 , RFi = 5,5 % , Ci = 0,28 , RCi = 0,28 %, sedangkan untuk
species anakan Bruguiera cylindrica blume,berjumlah 1 , dengan Di = 0,03 RDi =
18,75 % , Fi = 1 , RFi = 18,5 % , Ci = 0,06 , RCi = 0,06 % dan untuk kategori semai kami tidak
menghitung penutupan jenis dan penutupan jenis relative karena pada semai tidak
di ukur diameternya, dan species yang kami dapatkan pada kategori semai adalah menemukan
Aigeceras corniculatum, Bruguiera cylindrica
blume, dan Aigeceras corniculatum.
Setelah didapat RDi, RFi, RCi, maka kami
dapat mencari indeks nilai pentingnya (INP). Untuk kategori pohon, kategori
anakan dan untuk kategori semai memiliki INP sebesar 221,55 %.
Berikut kami akan menjelaskan ciri – ciri
umum untuk species Rhizopora apiculata yaitu pohon dengan ketinggian mencapai 3
M dengan diameter batang mencapai 50 cm. memiliki perakaran yang khas hingga
mencapai 5 M dan kadang –kadang memiliki akar udara dan keluar dari cabang.
Kulit kayu berwarna abu abu tua dan berubah – ubah.
Rhizophora x lamarckii a itu sendiri memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
Ciri
umum: pohon dengan ketinggian
mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang
khas hingga mencapai 5 m, dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar
dari cabang. Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah.
Daun:
berkulit, warna hijau tua dengan hijau
muda di bagian tengah dan kemerahan di bagian bawah. Gagang daun panjangnya
17-35 mm dan warnanya kemerahan. Unit dan letak: sederhana dan berlawanan. Bentuk: elips
menyempit. Ujung: meruncing. Ukuran:
7-19 x 3.5-8 cm.
Bunga:
biseksual, kepala bunga
kekuningan yang terletak pada gagang berukuran <14 mm. Letak: di ketiak
daun. Formasi: kelompok (2 bunga perkelompok). Daun mahkota: 4; kuning-putih,
tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm. Kelopak bunga: 4; kuning kecoklatan,
melengkung. Benag sari: 11-12; tak
bertangkai.
Buah:
buah kasar berbentuk bulat memanjang
hingga seperti buah pir, warna coklat, panjang 2-3, 5 cm, berisi satu biji
fertil. Hipokotil silindris, berbintil, berwarna hijau jingga. Leher kotiledon
berwarna merah jika sudah matang. Ukuran: hipokotil panjang 18-38 cm dan
diameter 1-2 cm.
Ekologi:
tumbuh pada tanah berlumpur,
halus dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang
lebih keras yang bercampur dengan pasir. Tingkat dominasi dapat mencapai 90%
dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang
memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen.
Beberapa hewan mangrove beradaptasi
hidup melekat pada akar mangrove (crasostrea sp.) bisa menempel pada akar
rhizophora dan kerang, kepiting, udang, teritip, isopoda, amphipoda, cacing,
dan ikan. Hewan-hewan yang membuat lubang di dalam substrat yang lunak termasuk
genera umum seperti: Ucha sp.,
kepiting laga (fiddler crab), yang ditemukan di dalam lumpur.Pada pada derah
mangrove sedimentasi banyak mengandung unsur-unsur Nutriens yang tinggi fungsi
yaitu sebagai bantuan dalam mencari makan.
Fungsi
mangrove sangatlah banyak, yang diantaranya adalah, mangrove berfungsi sebagai
penahan sedimen tanah, sebagai garis pantai, sebagai penahan ombak, penahan
penjorokan air ke darat, sebagai tempat pemijahan berbagai biota yang hidup
pada habitat tersebut, tempat biota-biota tersebut melindungi diri, mangrove
berfungsi juga sebagai penyerap karbon, penghasil O2 pada perairan
tersebut oleh sebab itu banyak di temukan biota laut didaerah persisir pantai.
E. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh
adalah sebagai berikut:
1.
Substrat
yang kami temukan sebagai tempat tumbuh mangrove adalah berpasir dan berlumpur.
2.
Spesies
yang paling mendominan adalah Rizopora apiculatas.
3.
Untuk
kategori pohon, kategori anakan dan untuk kategori semai memiliki INP
sebesar 221,55 %.
Daftar
Pustaka
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut
Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Budiman, A. dan D. Darnaedi. 1984. Struktur komunitas moluska di hutan mangrove
Morowali, Sulawesi Tengah. Pros. Sem. II Ekos. Mangrove. MAB-LIPI:
175-182.
Budiman, A., M. Djajasasmita dan F.
Sabar. 1977. Penyebaran keong dan
kepiting hutan bakau Wai Sekampung, Lampung. Ber. Biol. 2:1-24.
Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia,
Frorestry Statistics of Indonesia 2003. Badan Planologi Kehutanan,
Departemen Kehutanan, Jakarta.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S.
Soemodihardjo dan I. G. M. Tantra 1979. Status
pengetahuan hutan bakau di Indonesia Pros. Sem. Ekos. Hutan
Mangrove: 21-39.
Kusmana, C., S. Takeda, and H.
Watanabe. 1995. Litter
Production of Mangrove Forest in East Sumatera, Indonesia.
Prosidings Seminar V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus 1994:
247-265. Kontribusi MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.
Soemodihardjo, S. 1977. Beberapa segi biologi fauna hutan payau dan
tinjanan komunitas mangrove di Pulau Pari. Oseana 4 & 5:24-32.
Soerianegara, I. 1987. Masalah penentuan jalur hijau hutan mangrove.
Pros. Sem. III Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 3947.
Tomlinson, P.B. 1986. The botany of mangrove. Cambridge
University Press. Cambridge, London, New York, New Rochelle, Melbourne,
Sydney: p. 413.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar