RESPON
ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN
(Laporan
Praktikum Fisiologi Hewan Air)
Oleh:
Widi
Indra Kesuma
1114111058
JURUSAN
BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ikan
merupakan organisme akuatik yang sebagian atau seluruh hidupnya di lingkungan
perairan, baik ait tawar, payau maupun laut. Organisme akuatik akan sering
sekali menghadapi kondisi lingkungan yang sering sekali berfluktuasi, baik
karena faktor alam, maupun karena aktivitas manusia. Perubahan lingkungan
inilah yang harus dihadapi dan disiasati oleh organisme akuatik agar mampu
bertahan hidup. Organisme akuatik akan memberikan respon yang bermacam-macam,
tergatung pada jenis atau kondisi perubahan lingkungan yang dihadapi.
Secara
umum, habitat ikan terdiri dari faktor biotik dan abiotik, yang semuanya saling
berinteraksi satu sama lain membentuk suatu ekosistem perairan yang seimbang.
Ketika salah satu faktor diganggu, maka faktor yang lain juga mengalami
gangguan. Sehingga otomatis, ketika habitat perairan tempat ikan hidup diberi
pelakuan, maka ikan yang berada di perairann tersebut akan melakukan perubahan-perubahan
sistem dan perubahan fisiologis di dalam tubuh masing masing individu agar
mampu menyesuaikan diri dengan kondisi perairan yang baru agar mampu bertahan
hidup. Besarnya upaya untuk mempertahankan kondisi yang stabil tentunya
membutuhkan energi.
Respon
yang terjadi dalam tubuh organisme akuatik sehubungan dengan adanya perubahan
lingkungan dapat berupa respon biokimia, respon struktur sel, respon fisiologis
dan tingkah laku. Melalui praktikum ini, maka akan diketahui jenis respon yang
diberikan oleh organisme akuatik ketika diberikan berbagai macam perlakuan
lingkungan perairan yang berbeda-beda.
B. Tujuan
Tujuan praktikum yaitu untuk
mengetahui respon organisme akuatik (ikan) terhadap vatiabel lingkungan (suhu,
pH,dan kekeruhan) serta untuk mengetahui kisaran toleransi organisme akuatik
terhadap variabel tersebut.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Biologis Ikan
Ikan nila (Oreochromis
niloticus) merupakan jenis ikan yang berasal dari sungai nila dan
danau-danau yang menghubungkan sungai tersebut. Ikan nila didatangkan ke
Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun
1969, bibit ikan nila yang ada di Indonesia berasal dari Taiwan adapun dengan
ciri berwarna gelap dengan garis-garis vertikal seanyak 6-8 buah dan Filipina
yang berwarna merah (Suyanto 1998).
Menurut Saanin
(1982), klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah sebagai
berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub
Filum : Vertebrata
Kelas
: Osteichtes
Sub
Kelas : Acanthoptherigii
Ordo
: Percomorphii
Sub
Ordo : Percoidae
Famili
: Cichlidae
Genus
: Oreochromis
Spesies
: Oreochromis niloticus
Ikan nila pada umumnya mempunyai bentuk tubuh panjang dan
ramping, perbandingan antara panjang dan tinggi badan rata-rata 3 : 1.
Sisik-sisik ikan nila berukuran besar dan kasar. Ikan nila berjari sirip keras,
sirip perut torasik, letak mulut subterminal dan berbentuk meruncing. Selain
itu, tanda lainnya yang dapat dilihat adalah dari ikan nila adalah warna
tubuhnya yang hitam dan agak keputihan. Bagian bawah tutup insang berwarna
putih, sedangkan pada nila lokal putih agak kehitaman bahkan ada yang kuning. Sisik
ikan nila besar, kasar, dan tersusun rapi. Sepertiga sisik belakang menutupi
sisi bagian depan. Tubuhnya memiliki garis linea lateralis yang terputus antara
bagian atas dan bawahnya. Linea lateralis bagian atas memanjang mulai dari
tutup insang hingga belakang sirip punggung sampai pangkal sirip ekor. Ukuran
kepalanya relatif kecil dengan mulut berada di ujung kepala serta mempunyai
mata yang besar (Merantica 2007).
Ikan nila memiliki karakteristik sebagai ikan parental care
yang merawat anaknya dengan menggunakan mulut (mouth breeder) (Effendie 1997
dalam Prasetiyo 2009). Ikan ini dicirikan dengan garis vertikal yang berwarna
gelap pada sirip ekornya sebanyak 6 buah. Selain pada sirip ekor, garis
tersebut juga terdapat pada sirip punggung dan sirip anal (Suyanto 1994 dalam
Saputra 2007 dalam Prasetiyo 2009).
Seperti halnya ikan nila yang lain, jenis kelamin ikan nila
yang masih kecil, belum tampak dengan jelas. Perbedaannya dapat diamati dengan
jelas setelah bobot badannya mencapai 50 gram. Ikan nila yang berumur 4-5 bulan
(100-150 g) sudah mulai kawin dan bertelur Tanda-tanda ikan nila jantan adalah
warna badan lebih gelap dari ikan betina, alat kelamin berupa tonjolan (papila)
di belakang lubang anus, dan tulang rahang melebar ke belakang. Sedangkan
tanda-tanda ikan nila betina adalah alat kelamin berupa tonjolan di belakang
anus, dimana terdapat 2 lubang. Lubang yang di depan untuk mengeluarkan telur,
sedang yang di belakang untuk mengeluarkan air seni dan bila telah mengandung
telur yang masak,dan perutnya tampak membesar (Suyanto, 2003).
Ikan nila merupakan ikan omnivora yang memakan fitoplankton, perifiton, tanaman air, avertebrata kecil, fauna bentik, detritus, dan bakteri yang berasosiasi dengan detritus. Ikan nila dapat menyaring makanannya dengan menangkap partikel tersuspensi, termasuk fitoplankton dan bakteri, pada mukus yang terletak pada rongga buccal. Tetapi sumber nutrisi utama ikan nila diperoleh dengan cara memakan makanan pada lapisan perifiton (FAO, 2006).
Ikan nila merupakan ikan tropis yang menyukai perairan yang dangkal. Ikan nila dikenal sebagai ikan yang tahan terhadap perubahan lingkungan tempat hidupnya. Nila hidup di lingkungan air tawar, air payau, dan air asin. Kadar garam air yang disukai antara 0-35 ppt. Ikan nila air tawar dapat dipindahkan ke air asin dengan proses adaptasi bertahap. Kadar garam air dinaikkan sedikit demi sedikit. Pemindahan ikan nila secara mendadak ke dalam air yang kadar garamnya sangat berbeda dapat mengakibatkan stress dan kematian ikan (Suyanto, 2004).
Tempat hidup Ikan nila biasanya berada pada perairan yang dangkal dengan arus yang tidak begitu deras, ikan ini tidak suka hidup di perairan yang bergerak (mengalir),akan tetapi jika dilakukan perlakuan terhadap ikan nila seperti pengadaptasian terhadap lingkungan air yang mengalir maka ikan nila juga bisa hidup baik pada perairan yang mengalir. (Djarijah, 2002).
Lingkungan tumbuh (habitat) yang paling ideal adalah perairan air tawar yang memiliki suhu antara 14oC – 38 oC, atau suhu optimal 25oC – 30oC. Keadaan suhu yang rendah yaitu suhu kurang dari 140C ataupun suhu yang terlalu tinggi di atas 300C akan menghambat pertumbuhan nila. Ikan nila memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan hidup. Batas bawah dan batas atas suhu yang mematikan ikan nila berturut-turut adalah 11-12oC dan 42oC. Keadaan pH air antara 5 – 11 dapat ditoleransi oleh ikan nila, tetapi pH yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkan ikan ini adalah 7- 8. Ikan nila masih dapat tumbuh dalam keadaan air asin pada salinitas 0-35 ppt. Oleh karena itu, ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan laut, terutama untuk tujuan usaha pembesaran (Rukmana, 1997).
B.
Respon Organisme Terhadap Perubahan
Lingkungan
Suhu
Menurut
Dumairy (1992) dalam
Mulyadi (1999), suhu air dapat mengendalikan peneluran dan penetasan
makhluk-makhluk air, mengatur kegiatannya serta merangsang atau menekan
pertumbuhan dan perkembangannya. Air yang hangat pada umumnya akan memacu
metabolisme, sedangkan air yang yang relatif dingin pada umumnya akan
mengendurkan aktivitas organisme air.
Suhu
berpengaruh pada kejenuhan (kapasitas air menyerap oksigen). Makin tinggi suhu
maka, makin sedikit oksigen dapat larut (Lesmana dan Irwan 2001). Suhu air
sangat berperan untuk kenyamanan ikan (Nasution dan Supranoto, 2001). Menurut
Clark (1974) dalam
Mulyono (1999), suhu berpengaruh terhadap keberadaan suatu spesies dan keadaan
seluruh kehidupan komunitas cenderung bervariasi dengan berubahnya suhu. Suhu
dapat menjadi suatu faktor pembatas bagi beberapa fungsi biologis hewan air
seperti migrasi, pemijahan, efisiensi makanan, kecepatan renang, perkembangan
embrio, dan kecepatan metabolisme.
Suhu pada air
mempengaruhi kecepatan reaksi kimia, baik dalam media luar maupun air (cairan)
dalam tubuh ikan. Suhu makin naik maka reaksi kimia akan makin cepat, sedangkan
konsentrasi gas dalam air akan makin turun, termasuk oksigen. Akibatnya, ikan
akan membuat reaksi toleran atau tidak toleran (sakit sampai mati). Ikan
merupakan binatang berdarah dingin, sehingga metabolisme dalam tubuh tergantung
pada suhu lingkungannya, termasuk kekebalan tubuhnya. Suhu luar atau eksternal
yang berfluktuasi terlalu besar akan berpengaruh pada sistem metabolism.
Konsumsi oksigen dan fisiologi tubuh ikan akan mengalami kerusakan atau
kekacauan sehingga ikan akan sakit. Suhu rendah akan mengurangi imunitas
(kekebalan tubuh) ikan, sedangkan suhu tinggi akan mempercepat ikan terkena
infeksi bakteri. Pengaruh aklimatisasi atau adaptasi dapat ditoleransi oleh
ikan tertentu. Penurunan atau kenaikan suhu yang terjadi perlahan-lahan tidak
akan terlalu membahayakan ikan. Sementara perubahan yang terjadi secara
tiba-tiba akan membuat ikan stress. Akibatnya, ikan menjadi stres, tidak ada
keseimbangan dan menurun sistem sarafnya (Lesmana, 2002).
Asam
dan Basa
Hubungan
derajat keasaman (pH) dengan kehidupan ikan sangat erat. Titik kematian ikan
biasanya terjadi pada pH 4 (asam) dan pH 11 (basa). Sementara reproduksi atau
perkembangbiakan ikan biasanya akan baik pada pH 6,5 walaupun masih
tergantung pada jenisnya. Idealnya kebanyakan ikan hias air tawar akan
hidup baik pada kisaran pH 6,5-7,0.
Adanya
penyakit ikan pun berhubungann dengan naik turunnnya nilai pH. Biasanya bakteri
akan tumbuh baik pada pH basa, sementara jamur tumbuh baik pada pH asam. Nilai
pH air pada siang hari berbeda dengan malam hari. Pada pagi hari, pH air akan
turun, sedangkan pada sore hari akan naik. Hal ini disebabkan gas
karbondioksida banyak diproduksi pada malam hari. Banyaknya produksi gas karbondioksida
karena malam hari tidak ada sinar matahari. Karbondioksida sangat berpengaruh
pada penurunan nilai pH atau nilai asam (Lesmana dan Dermawan, 2001).
Setiap
jenis ikan memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap pH. Bahkan, ikan
dewasa akan lebih baik toleransinya terhadap pH dibanding ikan ukuran lebih
kecil, larva, ataupun telur. Selain itu, setiap jenis ikan memiliki nilai pH
optimal tergantung asal atau habitat aslinya. Pada lingkungan yang berubah
terlalu asam atau tidak tertoleransi di bawah 5,5 atau terlalu alkali atau di
atas 8,0 maka akan terjadi reaksi di dalam tubuh ikan sehingga mempengaruhi
perilakunya. Perubahan pH secara mendadak akan menyebabkan ikan meloncat-loncat
atau berenang sangat cepat dan tampak seperti kekurangan oksigen hingga mati
mendadak. Sementara perubahan pH secara perlahan akan menyebabkan lendir keluar
berlebihan, kulit menjadi keputiihan dan mudah terkena bakteri (Lesmana, 2002).
Pesccod
(19730 dalam
Mulyadi (1999) menyebutkan bahwa masing-masing organisme mempunyai kemampuan
yang berbeda untuk mentolerannsi pH perairan tergantung dari suhu, oksigen
terlarut, adanya aktifitas kation, dan anion serta aktifitas biologi.
Perubahan
asam atau basa di perairan laut dapat mengganggu sistem keseimbangan ekologi. Sebagiann
besar material-material yang bersifat racun akan meningkat toksisitasnya pada
kondisi pH rendah (Williams, 1979
dalam Anggraeni, 2002)
Daya
tahan tubuh organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara cairan tubuh
dengan lingkungan hidupnya. Pengaturan osmotik ini dilakukan melalui mekanisme
osmoregulasi. Mekanisme ini dapat dinyatakan sebagai pengaturan keseimbangan
total konsentrasi elektrolit yang terlarut dalam air media hidup organisme
(Ferraris, 1987 dalam
Affandi dan Tang, 2002)
C.
Survival Rate dan Mortalitas
Survival rate atau biasa dikenal dengan SR dalam
perikanan budidaya merupakan indeks kelulushidupan suatu jenis ikan dalam suatu
proses budidaya dari mulai awal ikan ditebar hingga ikan dipanen.
nilai SR ini dihitung dalam bentuk angka persentase,
mulai dari 0 – 100 %.
rumusnya yaitu : SR
x
100 %
SR ini merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
dalam kegiatan budidaya ikan. jika ikan yang hidup saat panen banyak dan
yang mati hanya sedikit tentu nila SR akan tinggi, namun sebaliknya jika jumlah
ikan yang mati banyak sehingga jumlah ikan yang masih hidup saat dilakukan
pemanenan tinggal sedikit tentu nilai SR ini akan rendah (zulan, 2010).
Mortalitas
atau kematian merupakan salah satu dari tiga komponen demografi selain
fertilitas dan migrasi, yang dapat mempengaruhi jumlah dan komposisi umur
penduduk.Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kematian sebagai suatu
peristiwa menghilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa
terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup.
Mortalitas adalah ukuran jumlah kematian (umumnya, atau karena akibat yang spesifik) pada suatu populasi, skala besar suatu populasi, per dikali satuan. Mortalitas khusus mengekspresikan pada jumlah satuan kematian per 1000 individu per tahun, hingga, rata-rata mortalitas sebesar 9.5 berarti pada populasi 100.000 terdapat 950 kematian per tahun. Mortalitas berbeda dengan morbiditas yang merujuk pada jumlah individual yang memiliki penyakit selama periode waktu tertentu (Junaidi. 2009).
III. METODELOGI
A. Waktu
dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada hari
Kamis tanggal 13 April 2013 pukul 11.00 WIB bertempat di Laboratorium Perikanan
Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
B. Alat
dan Bahan
Alat-alat yang
digunakan dalam praktikum ini adalah akuarium, aerator, termometer, timbangan
digital, turbidimeter, ember, gayung, heater,
lap, stopwatch,
gelas cup, dan
terminal listrik. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah
ikan, HCl dan NaOH, es batu, aquades dan air, kertas lakmus, dan
deterjen.
C. Metode
Kerja
1. Adaptasi
Organisme Terhadap Suhu
Disiapkan 5
buah akuarium. dua buah akuarium untuk perlakuan suhu panas dan dua yang lain
untuk perlakuan suhu dingin. Akuarium 1 untuk perlakuan control, akuarium 2, 3
untuk perlakuan dengan suhu yang berbada-beda, sedangkan akuarium 5 untuk
perlakuan gradual.
Masing-masing
akuarium diisi air 3 liter. Sebagian air dari akuarium 2, 3, untuk perlakuan
suhu panas diambil dan dipanaskan, kemudian dikembalikan lagi ke dalam
akuarium. Sedangkan untuk akuarium 3, 4 perlakuan suhu dingin air, sebagian
airnya diganti dengan es batu. Kemudian air di dalam akuarium 2, 3, 4
masing-masing perlakuan suhu diukur dengan menggunakan thermometer. Perlakuan
suhu 40 oC, 20 oC, dan 10 oC, Lima ekor ikan
yang sebelumnya telah ditimbang dimasukkan ke dalam masing-masing akuarium
ketika suhu air telah sesuai dengan perlakuan yang diberikan.
Tingkah laku
ikan diamati dan dicatat setiap 10 menit sampai menit ke 60. Ikan yang mati
dicatat dan diakhir praktikum ditimbang bobot akhir ikan untuk masing-masing
akuarium.
2. Adaptasi
Organisme Terhadap pH
Disediakan 6
buah akuarium sebagai tempat uji coba. tiga buah akuarium digunakan untuk
percobaan perlakuan asam, sedangkan tiga buah yang lainnya untuk perlakuan
basa. Masing-masing akuarium diisi dengan air sebanyak 3 liter.
Akuarium 1, 2
untuk perlakuan pH berbeda sedangkan akuarium 3 untuk perlakuan gradual.
Akuarim 1, 2, untuk perlakuan asam ditambahkan HCl masing-masing 40, 55, 80
tetes. Begitu juga dengan akuarium untuk perlakuan basa ditambahkan masing
masing 40, 50, 80 tetes NaOH.
Semua akuarium
diberi aerator, kemudian pada masing-masing akuarium dimasukkan lima ekor ikan
yang terlebih dahulu ditimbang bobot awal ikan tersebut dengan timbangan
digital. Tingkah laku ikan diamati setiap 10 menit sampai menit ke 60. Jika ada
ikan yang mati, maka dicatat. Kemudian pada akhir percobaan, ikan dari
masing-masing akuarium ditimbang dan dicatat.
3. Adaptasi
Organisme Terhadap surfaktan Deterjen
Siapkan
3 buah akuarium beserta aeratornya, tiap akuarium diisi 3 liter air,
kemudian masukkan lima ekor ikan yang sudah ditimbang bobotnya.
Akuarium
1 untuk kontrol, akuarium 2, 3, 4, dan 5 diberi deterjen 10 ppm, 30 ppm, 50
ppm, dan 70 ppm yang dilarutkan terlebih dahulu dengan air yang diambil dari
masing-masing akuarium. Amati tiap 15 menit selama 1 jam, setelah itu ikan yang
mati selama percobaan dicatat. Bobot akhir ikan ditimbang diakhir praktikum.
Parameter
yang diamati lama bertahan ikan, tingkah laku ikan selama percobaan, kondisi
tubuh ikan, frekuensi kontraksi operculum/menit, sekresi mukus, dan kondisi
insang serta kondisi sirip, survival
rate ikan selama percobaan. Dan konsentrasi deterjen (LAS) yang
mematikan (lethal).
Rumus yang digunakan:
Keterangan
:
M
= Mortalitas
Nt =
Jumlah akhir
No =
Jumlah awal
SR =
Survival rate
IV. HASIL
DAN PEMBAHASAN
A. Hasil.
Kelompok
|
Perlakuan
|
Aquarium
|
Waktu
|
Respon
|
SR
|
Mortalitas
|
(menit)
|
||||||
1
|
kontrol
|
A1
|
15
|
Ikan terlihat aktif, Ikan tidak menunjukkan gejala adanya gangguan
|
100%
|
0%
|
Suhu 100C
|
A2
|
15
|
Waktu ikan dimasukan terlihat normal, operkulum terlihat lemah dan ikan
akhirnya mati
|
0%
|
100%
|
|
Suhu 200C
|
A3
|
15
|
Ikan masih dalam keadaan normal
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Bukaan perculum melambat
|
100%
|
0%
|
|||
45
|
Ikan mulai mengeluarkan feses,
terlihat lemas dan mengalami penurnan berat badan
|
100%
|
0%
|
|||
|
Suhu 400C
|
A4
|
15
|
Gerakan cepat,berenang miring, gerakan overculum semakin cepat
|
100%
|
0%
|
2
|
30
|
Gerakan melambat,berenang miring didasar, gerakan overculum semakin
lambat berwarna pucat dan ada ikan
mati
|
100%
|
0%
|
||
Gradual dari panas 400C ke dingin 100C
|
A5
|
15
|
Berenang di dasar gerakan masih normal .
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Berenang di dasar gerakan masih normal .
|
100%
|
0%
|
|||
60
|
Berenang didasar gerakan lambat diam didasar.
|
100%
|
0%
|
|||
Gradual dari dingin 100C ke panas 400C
|
A6
|
15
|
Gerakan masih normal.
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Gerakan semakin cepat dan ikan mulai kejar-kejaran.
|
100%
|
0%
|
|||
60
|
Gerakan semakin cepat dan ikan mulai pucat
|
100%
|
0%
|
|||
3
|
Pemberian As. HCL sebanyak 40 tetes
|
A7
|
15
|
Ikan masih aktif bergerak, ditandai dengan ikan yang saling
kejar-kejaran.
|
100%
|
0%
|
30
|
Ikan mulai bergerak tenang, ada yang terlihat aktif dan yang lain
pergerakannya pasif.
|
100%
|
0%
|
|||
60
|
Gerakan ikan mulai pasif, sirip anal ikan tampak merah, mengeluarkan
gelembung-gelembung di mulut.
|
100%
|
0%
|
|||
Pemberian As. HCL sebanyak 55 tetes
|
A8
|
15
|
Ikan masih bergerak aktif, berkejar-kejaran, pergerakan sirip ventralnya
cepat.
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Ikan mulai mengeluarkan feses, dan mulai bergerak lambat, diam didasar.
|
100%
|
0%
|
|||
60
|
Ikan mulai mengeluarkan feses, mengeluarkan gelembung udara, dibagian
mulut ikan berwarna kuning.
|
100%
|
0%
|
|||
Pemberian As. HCL sebanyak 80 tetes
|
A9
|
15
|
Ikan tenang, mengeluarkan banyak feses.
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Ikan masih tenang dan mengeluarkan banyak feses.
|
100%
|
0%
|
|||
60
|
Berat badan ikan menurun.
Pergerakan operculum semakin cepat.
|
100%
|
0%
|
|||
4
|
Pemberian
NaOH 40 tetes
|
A10
|
15
|
Ikan masih bergerak aktif dan bukaan operculum cepat
|
100%
|
0%
|
30
|
Ikan masih dapat bergerak cepat dan gerakan operculum masih cepat
|
100%
|
0%
|
|||
45
|
Ikan mulai mengeluarkan feces berwarna hitam dan keras
|
100%
|
0%
|
|||
60
|
Gerakan mulai melambat, masih mengeluarkan feces dan bobot badan
berkurang
|
100%
|
0%
|
|||
Pemberian NaOH 55 tetes
|
A11
|
15
|
Gerakan operculum semakin cepat dan masih bergerak aktif
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Ikan mulai mengeluarkan feses dan produksi lendir sedikit
|
100%
|
0%
|
|||
45
|
Feces semakin banyak, berwarna hitam dan keras, serta mengeluarkan lendir
yang bersifat asam
|
100%
|
0%
|
|||
60
|
Ikan banyak mengeluarkan feses mengalami penurnan berat badan
|
100%
|
0%
|
|||
Pemberian NaOH 80 tetes
|
A12
|
15
|
Ikan masih aktif bergerak dan gerakan operculum cepat namun bukaan kecil
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Bukaan perculum melambat
|
100%
|
0%
|
|||
45
|
Bukaan operculum semakin besar dan melambat, tubuh ikan berlendir yang
bersifat asam
|
100%
|
0%
|
|||
60
|
Ikan mengeluarkan banyak feces dan berat badan menurun
|
100%
|
0%
|
|||
5
|
Penaikan pH secara gadual/bertahap dengan penambahan
NaOH
|
A13
|
15
|
Ikan terlihat setres, mengeluaran feses dan muntah dan bukaan operculum
lambat
|
100%
|
0%
|
30
|
Ikan terlihat setres, mengeluarkan feses dan ikan saling menyerang
|
100%
|
0%
|
|||
45
|
Bukaan mulut semakin cepat dan ikan banya mengeluarkan feses
|
100%
|
0%
|
|||
Penurunan pH secara gradual/bertahap dengan
penambahan HCl
|
A14
|
15
|
Ikan tidak menunjukkan gejala adanya gangguan
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Ikan mulai mengeluarkan feses dan produksi lendir sedikit
|
100%
|
0%
|
|||
60
|
Ikan mulai mengeluarkan feses, produksi lendir semakin sedikit, ikan terasa kesat dan mengalami penurnan
berat badan
|
100%
|
0%
|
|||
Pemberian detergen sebanyak 1 gram
|
A15
|
15
|
Ikan berenang cepat dan melompat ke permukaan serta katup ingsang berba
warna menjadi biru
|
100%
|
0%
|
|
30
|
Bukaan perculum melambat
|
100%
|
0%
|
|||
60
|
Ikan mengalami kematian secara bertahap
|
0%
|
100%
|
|||
|
Pemberian detergen sebanyak 3gr
|
A16
|
3
|
Gerakan operkulum melemah, pendarahan pada insang, gerakan melambat
|
100%
|
0%
|
6 (enam)
|
5
|
Gerakan operkulum semakin melemah, pendarahan pada insang semakin banyak,
ikan mulai diam dan tidak bergerak
|
100%
|
0%
|
||
9
|
Semua ikan mati
|
0%
|
100%
|
|||
Pemberian detergen sebanyak 6gr
|
A17
|
3
|
Ikan mulai mengalami pendarahan pada operkulumnya, ikan mulai tidak
bergerak
|
100%
|
0%
|
|
5
|
Salah satu ikan bergerak ke atas untuk mengambil oksigen
|
100%
|
0%
|
|||
10
|
Semua ikan mati
|
0%
|
100%
|
|||
Pemberian detergen sebanyak 1gr + 3gr + 6gr (diberi selang
waktu 10 menit dalam penambahan detergen)
|
A18
|
10 (1gr)
|
Ikan susah bernafas dan gerakannya pasif
|
100%
|
0%
|
|
20 (1gr pertama + 3gr)
|
Gereken operkulum melemah, ikan mulai gelisah, 2 ikan mulai tidak
bergerak dan 1 ikan mati
|
100%
|
0%
|
|||
30 (1gr pertama+3gr kedua + 6gr)
|
Ikan mengalami pendarahan, ikan bergerak ke atas untuk mencari oksigen,
lalu ikan mulaimati dan mengeluarkan banyak lendir
|
0%
|
100%
|
B. Pembahasan
Telah
dilakukan praktikum mengenai adaptasi organism akuatik terhadap perubahan
variable lingkungan. Adapun bentuk adaptasi yang dilakukan adalah adaptasi
terhadap suhu, pH, dan surfaktan deterjen. Dalam setiap perlakuan dan perubahan
lingkungan tersebut, ikan mengalami respon yang berbeda-beda terhadap setiap
perlakuan. Hal tersebut berkaitan dengan cara ikan menanggapi perubahan
variable lingkungan dan kondisi tubuh ikan, berikut pembahasannya:
Adaptasi
Organisme Terhadap Suhu
Organisme
akuatik seperti ikan telah beradaptasi pada suhu lingkungan tertentu. Suhu rendah
di bawah normal dapat menyebabkan ikan mengalami lethargi, kehilangan nafsu
makan, dan menjadi menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Dan sebaliknya pada
suhu yang tinggi membuat ikan mengalami stress pernapasan dan bahkan dapat
menyebabkan kerusakan insang permanen.
Peningkatan
suhu perairan sebesar 100C menyebabkan terjadinya peningkatan
konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun,
peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga
keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi
organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi (Effendi
2003).
Pada
percobaan kali ini digunakan ikan nila(Oreochromis niloticus). Pada perlakuan terhadap suhu panas, ternyata
suhu panas memberikan pengaruh terhadap perubahan bobot ikan dimana pada suhu
350C dan 400C ikan mengalami pertambahan bobot. Tetapi
pada suhu 450C ikan justru mengalami penurunan bobot. Berarti ikan
masih dapat beradaptasi pada suhu 350C dan 400C tetapi
pada suhu 450C ikan sudah tidak bisa beradaptasi lagi sehingga
menyebabkan bobotnya turun. Hal ini disebabkan karena suhu tinggi dapat
menyebabkan kekeringan sel akibat penguapan, sehingga kekentalan protoplasmanya
meningkat (Effendi 2003).
Tingkah
laku ikan nila pada suhu 350C, 400C, 450C
cenderung aktif namun pada suhu 450C ikan banyak yang kulitnya
mengalami kerusakan dan ikan mendekati aerator. Kulit yang mengalami kerusakan
disebabkan karena pada suhu tersebut terjadi pengeringan sel pada ikan karena
penguapan dan ikan mendekati aerator karena kandungan oksigen terlarut di
akuarium mulai berkurang sehingga ikan mendekati aerator. Pada tabel 3
diketahui bahwa pada kontrol, suhu mortalitasnya sebesar 100%. Dari data ini
berarti diketahui bahwa kisaran toleransi suhu pada ikan yang mematikan adalah
pada suhu suhu tersebut. Pada suhu 350C kandungan oksigen terlarut
sudah mulai sedikit dan tidak cukup untuk kebutuhan ikan yang ada di akuarium
sehingga ikan menjadi mati.
Pada
perlakuan suhu panas terhadap ikan lele (Clarias
batracus) suhu panas juga memberikan pengaruh pertambahan bobot
dimana pada kontrol dan gradual bobotnya bertambah sedangkan pada suhu 350C,
400C, dan 450C bobotnya tetap. Hal ini berarti ikan lele
masih bisa beradaptasi pada suhu 400C sekalipun dan bobotnya
juga tidak turun. Tingkah laku ikan lele pada suhu panas masih bisa untuk
bergerak namun perlahan lahan bagian kulitnya ada yang rusak atau terluka. Pada
suhu 450C ikan lele mati dalam waktu kurang dari 1 menit. Selain itu
pada suhu 400C ikan lele mati dalam waktu di atas 1 menit. Hal ini
disebabkan adanya penguapan sehingga selnya menjadi kering dan oksigen terlarut
yang sudah sedikit akibat suhu yang panas sehingga menyebabkan ikan menjadi
mati. Pada tabel 6 diketahui bahwa pada kontrol dan suhu 350C
kelangsungan hidup ikan lele sebesar 100%. Tapi pada suhu 400C dan
450C mortalitasnya sebesar 100%. Pada gradual kelangsungan hidup
sebesar 33,3% dan mortalitasnya sebesar 66,6%. Hal ini menunjukkan bahwa
kisaran toleransi suhu panas pada ikan lele yaitu sebesar 400C. Bila
dibandingkan dengan ikan mas, kisaran toleransi ikan lele lebih besar yakni
40%. Hal ini disebabkan karena ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan
yaitu arboresen yang menyebabkan ikan lele bisa beradaptasi pada kondisi yang
lebih ekstrim dibandingkan dengan ikan mas dan juga memiliki kisaran toleransi
yang lebih baik.
Pada
perlakuan suhu dingin memberikan pengaruh terhadap bobot ikan yang bisa dilihat
pada tabel. Bobot ikan mengalami penurunan akibat respon ikan terhadap
lingkungannya yang baru dan adanya aktivitas yang berlebihan dalam rangka
beradaptasi terhadap lingkungan yang baru. Penurunan suhu akan menghambat
proses fisiologis bahkan menyebabkan hewan tidak aktif dan lebih jauh dapat
menyebabkan kematian karena proses fisiologis menurun maka kandungan air dalam
tubuh berkurang dan menyebabkan penurunan bobot tubuh ikan (Effendi 2003).
Tingkah laku ikan pada suhu dingin lebih banyak diam dan pingsan. Hal ini
terjadi karena terhambatnya proses fisiologis ikan sehingga ikan lebih banyak
diam dan pingsan. Kelangsungan hidup pada kontrol, suhu 200C, dan
gradual sebesar 100% namun pada suhu 100C dan 50C
mortalitasnya mencapai 100%. Hal ini berarti suhu 100C merupakan
kisaran toleransi yang mematikan untuk ikan.
Bobot ikan
mengalami penurunan kemungkinan terjadi karena aktivitas ikan yang semakin
meningkat. Ketika suhu dinaikkan, maka metabolisme tubuh ikan meningkat pula.
Hal ini didukung oleh pendapat Dumairy (1992) dalam Mulyadi (1999), yang menyatakan bahwa
air yang hangat pada umumnya akan memacu metabolisme. Sehingga ikan memerlukan
energi untuk melakukan pergerakan, sedangkan di lain pihak ikan tidak mendapat
asupan energi dari luar (misalnya : pakan). Akibatnya energi yang tersedia di
dalam tubuh ikan habis dan tidak cukup untuk mempertahankan hidup hingga
akhirnya ikan mati. Selain itu, kemungkinan lain adalah karena ketersediaan
oksigen yang terlarut di dalam air sedikit. Sehingga proses metabolisme tubuh
ikan yang membutuhkan oksigen tidak berlangsung efektif. Peristiwa ini terjadi
karena ketika suhu dinaikkan maka DO akan semakin sedikit. Hal ini didukung
oleh pendapat Lesmana (2001) yang menyebutkan bahwa makin tinggi suhu maka
makin sedikit oksigen dapat larut. Akhirnya ikan-ikan yang berada dalam
akuarium kekurangan oksigen, metabolisme terhambat, bobot tubuh berkurang.
Tingkah laku
ikan pada kondisi suhu kontrol 27oC maupun 35oC terlihat
normal. Hal ini dikarenakan kondisi suhu perairan yang sesuai dengan habitat
hidup ikan. Sehingga segala aktivitas masih berjalan normal. Hal ini didukung
oleh pendapat Lesmana (2002) yang menyebutkan bahwa penurunan atau kenaikan
suhu yang terjadi perlahan-lahan tidak akan terlalu membahayakan ikan. Ikan.
Berbeda halnya ketika ikan diberi perlakuan suhu 40oC, 45oC
bahkan perlakuan gradual. Ikan mengalami stress, kemudian mengalami suffocation bahkan mati.
Perisitwa ini dimungkinkan karena ikan stress ketika menghadapi kondisi suhu
perairan yang berbeda dengan kondisi habitat aslinya. Metabolisme tubuh yang meningkat
pula menyebabkan konsumsi oksigen juga semakin bertambah, sehingga DO menjadi
rendah. Hal ini didukung oleh pendapat Lesmana (2002) bahwa suhu makin naik
maka reaksi kimia akan makin cepat, sedangkan konsentrasi gas dalam air akan
makin turun, termasuk oksigen. Akibatnya, ikan akan membuat reaksi toleran atau
tidak toleran (sakit sampai mati). Selain itu, diakibatkan karena ikan
stress, ketika kondisi perairan berubah ekstrim dan mendadak. Sehingga ikan
akhirnya mati. Alasan ini didukung oleh Arinardi (1989) dalam Mulyadi (1999) yang
menggambarkan bahwa kenaikan temperature 2-3oC akan mengakibatkan
organisme perairan mengalami stress.
Ikan-ikan
mengalami penurunan bobot tubuh ketika diberi perlakuan suhu rendah mungkin
karena ikan mengalami kekurangan oksigen. Ketika suhu lingkungan diturunkan,
maka kerja fisiologis di dalam tubuh ikan terganggu, detak jantungnya menurun,
sehingga kemampuan Hb mengikat oksigen menurun, akhirnya metabolisme tubuh
terganggu. Akibatnya ikan tidak mampu bertahan hidup. Hal ini sesuai dengan
pendapat Lesmana (2002), yang menyatakan bahwa pengaruh suhu
rendah terhadap ikan adalah rendahnya kemampuan mengambil oksigen. Kemampuan
rendah ini disebabkan oleh menurunnya detak jantung. Pengaruh lain ialah proses
osmoregulasi terganggu. Pada suhu yang turun mendadak akan terjadi degenerasi
sel darah merah sehingga proses respirasi (pernapasan atau pengambilan
oksigen) terganggu.
Tingkah laku
ikan yang tidak normal, bahkan mati ketika ditempakan di suhu air yang rendah
akan menyebabkan aktifitas fisiologis di dalam tubuh ikan terhambat. Aktifitas
ikan menurun, ikan menjadi tidak aktif bahkan tidak mau berenang. Daya
tahan tubuh ikan menurun ketika suhu diturunkan sehingga ikan pingsan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Lesmana (2002) bahwa suhu rendah dapat
menyebabkan ikan tidak aktif, bergerombol, serta tidak mau berenang dan makan.
Selain itu, metabolisme dalam tubuh ikan tergantung pada suhu lingkungannya,
termasuk kekebalan tubuhnya. Namun ketika ikan diberi perlakuan denga suhu 20oC
ikan tidak ada yang pingsan, hal ini dimungkinkan karena ikan nila masih mampu
mentolerir penurunan suhu tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi
(2001) yang menyatakan bahwa ada ikan yang mampu mentolerir perubahan
lingkungan tersebut, bahkan yang mendadak sekalipun, tetapi adapula yang tidak.
Ikan diberi perlakuan gradual pada saat suhu air diturunkan menjadi 5oC
langsung menyebabkan ikan pingsan. Hal ini juga dimungkinkan karena ikan
mengalami stress. Hal ini sesuai dengan pendapat Cech (2005) dalam Cordova (2008) yang
menyebutkan bahwa perubahan suhu secara ekstrim dapat mematikan biota.
Ikan
memiliki lendir dipermukaan kulitnya karena lendir tersebut merupakan cairan
yang dapat melindungi ikan dari suhu air yang panas. Bilamana suhu suatu
perairan meningkat melebihi kisaran toleransinya sebagai akibat masuknya limbah
yang bersuhu tinggi, maka akan menyebabkan menurunnya kandungan O2 terlarut,
meningkatnya daya toxik dari suatu bahan beracun. (Brotonidjoyo. 2001)
Adaptasi Organisme Terhadap pH
Dalam
menentukan kualitas air pH berperan sangat penting sebagai parameter karena pH
mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di air. .Pada
perlakuan asam terhadap perubahan bobot ikan mempunyai pengaruh terhadap bobot
ikan. Bobot ikan mengalami penurunan pada pH asam. Hal ini mungkin disebabkan
respon ikan terhadap pH asam dan adanya aktifitas fisiologis yang berlebihan
dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Agar proses fisiologis
dalam tubuh berjalan normal, maka diperlukan suatu tekanan osmotic yang
konstan. Pertumbuhan ikan dapat berlangsung dengan baik jika salinitas media
mendekati konsentrasi ion dalam darahnya (Rahardjo 1980 dalam Damayanti 2003).
Tingkah laku ikan yang paling terlihat yaitu ikan mengeluarkan lendir. Tingkat
kelangsungan hidup ikan pada kontrol sebesar 100% namun pada pH 2, 3, dan 4
mortalitasnya sebesar 100%. Hal ini berarti pH 4 merupakan kisaran toleransi
yang mematikan bagi ikan mas. Dengan adanya penurunan pH menyebabkan ikan
keracunan dan mati. Kisaran pH perairan yang cocok antara 5 – 8,7. Pada kisaran
pH tersebut cukup memenuhi syarat untuk kehidupan ikan (Cahyono 2001).
Pada
perlakuan pH basa terhadap, memberikan pengaruh terhadap perubahan bobot ikan. Pada
tabel 18 dan 21 terlihat bahwa bobot ikan mengalami penurunan. Tingkah laku
dari ikan cenderung melemah dari waktu ke waktu. Tingkat kelangsungan hidup
ikan pada kontrol, pH 7, 8, 9 sebesar 100% namun pada gradual mortalitasnya
sebesar 100%. Hal ini disebabkan karena pH tersebut masih dalam kisaran pH yang
cocok untuk ikan sehingga kelangsungan hidupnya tinggi namun tidak pada gradual.
Pada ikan tingkat kelangsungan hidup pada kontrol sebesar 100%, pH 7 dan 8
sebesar 80 %, pH 9 sebesar 60% dan gradual sebesar 20%, pH 7, 8, 9 masih merupakan
kisaran toleransi yang baik bagi ikan lele dan ikan mas dimana ikan ikan
tersebut masih bisa untuk beradaptasi.
Dilihat pada
tabel di atas, ikan yang berada pada air yang ditambahkan dengan 40 tetes dan
50 tetes HCl tidak berubah atau tetap. Sedangkan ikan yang berada di air yang
tidak ditetesi HCl, ditetesi HCL 80 tetes dan perlakuan pemberian HCl secara
bertahap menunjukkan kenaikan bobot tubuh. Hal ini dimungkinkan karena ikan
ikan ketika ditempatkan di kondisi perairan yang asam atau pH rendah akan
mencoba beradaptasii untuk perubahan pH ini. Ikan akan mengeluarkan lendir dari
dalam tubuh untuk mempertahankan diri. Sehingga bobot ikan tidak berkurang
maupun bertambah. Namun, bobot tubuh ikan ada yang meningkat ketika diberi
kondisi lingkungan air yang sangat ekstrim. Hal ini dimungkinkan karena ketika
ikan terlalu banyak mengsekresikan lendir, sehingga lendir yang terlampau
berlebihan menutupi aliran air yang keluar tubuh ikan. Sehingganya air akan
mengisi rongga sel yang ada di dalam tubuh ikan. Bobot ikan akhirnya bertambah.
Hal ini didukung oleh pendapat Lesmana (2002) bahwa perubahan pH secara
perlahan akan menyebabkan lendir keluar berlebihan.
Ikan ketika
diberi perlakuan dengan kondisi perairan yang asam akan semakin aktif bergerak
dan menuju permukaan air untuk mengambil oksigen. Ikan beradaptasi dengan
kondisi perairan yang asam dengan cara mengeluarkan lemdir. Hal ini didukung
oleh Pesccod (19730 dalam Mulyadi (1999) yang menyebutkan bahwa masing-masing
organisme mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mentolerannsi pH perairan
tergantung dari suhu, oksigen terlarut, adanya aktifitas kation, dan anion
serta aktifitas biologi.
Adaptasi Organisme Terhadap surfaktan
Deterjen
Deterjen
mengandung bahan kimia yang disebut surfaktan deterjen. Surfaktan adalah bahan
kimia organik sintetis yang banyak digunakan dalam deterjen, produk perawatan,
dan bahan pembersih dalam rumah tangga. Surfaktan di dalam perairan dapat
menimbulkan rusaknya organ kemoreseptor, berubah pola makan, pertumbuhan lambat
dan tingkat kelangsungan hidup larva yang rendah (Abel, 1974).
Menurut
Wilbert (1971) pada konsentrasi 5 mg/L Dodecylbenzene
Sulfonate dapat menyebabkan pengurangan epitel insang pada ikan.
Pada konsentrasi yang sama, lamella insang cenderung bersatu. Semakin besar
konsentrasi surfaktan yang diberikan maka semakin besar pula kerusakan sel
epitelnya. Efek negatif tersebut dapat bersifat akut atau kronis/subkronis,
tergantung pada jangka waktu pemaparan zat yang dapat mematikan 50% atau lebih
populasi biota yang terpapar (Mangkoedihardjo, 1999). Bila surfaktan deterjen
tersebut sudah melebihi ambang batas bisa menyebabkan kematian pada biota.
Penyebab
ikan mati pada air datergen:
·
Detergen merupakan larutan yang
bersifat basa. Pada saat dimasukkan ke dalam air, pH air akan meningkat dan
dapat menyebabkan larutan buffer. Sehingga pada saat ikan berada pada air
detergen, ikan tidak akan dapat beradaptasi di dalamnya.
·
Detergen mengandung senyawa pospat
yang bersifat racun, senyawa pospat tersebut tidak dapat terurai di air
sehingga senyawa tersebut akan menggumpal. Hal ini menyebabkan daya tahan tubuh
ikan akan berkurang, padahal sebelumnya daya tahan tubuhnya masih normal.
·
Detergen memiliki berat jenis yang
lebih kecil daripada air, sehingga detergen menutupi permukaan air. Karena
detergen menutupi permukaan air, air tidak dapat mengikat O2 dari udara. Kadar
O2 di air menjadi berkurang akibatnya ikan yang ada di air menjadi kekurangan O2
dan akhirnya mati.
(Brotonidjoyo. 2001).
Penyebab ikan mengeluarkan lendir
pada saat berada di air detergen: Hal ini dapat membuat ikan-ikan
tersebut kepanasan sehingga mengeluarkan lendir yang lebih banyak lagi. Inilah
yang membuat air detergen mengental dipenuhi oleh lendir-lendir ikan tersebut.
Selain itu, perbedaan konsentrasi juga membuat ikan tersebut mengeluarkan
lendir. Karena konsentrasi air detergen lebih tinggi daripada konsentrasi
cairan dalam tubuh ikan, maka terjadi proses osmosis (perpindahan cairan dari
konsentrasi yang lebih rendah ke konsentrasi yang lebih tinggi) untuk
menyeimbangkan konsentrasi antara air dan ikan. Hal ini mengakibatkan air
detergen mengandung lendir dan tubuh ikan akan meyusut karena terlalu banyak
mengeluarkan cairan tubuhnya.
(Brotonidjoyo. 2001)
Faktor-faktor yang mempengaruhi
adaptasi hewan air terhadap lingkungannya.
Faktor-faktor
lingkungan sering berfluktuasi, baik yang bersifat harian maupun musiman,
kadang-kadang ditemukan kondisi yang ekstrim. Fluktuasi faktor lingkungan
akan mempengaruhi kehidupan organisme, proses-proses fisiologis, tingkah
lakunya dan mortalitas. Untuk mengurangi pengaruh buruk dari
lingkungannnya maka ikan melakukan adaptasi. Adaptasi adalah suatu proses
penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap
kondisi baru (Anonim, 2011).
Dalam
rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya, hewan memiliki toleransi dan
resistensi pada kisaran tertentu dari variasi lingkungan. Kemampuan mentolerir
variable lingkungan ini erat kaitannya dengan faktor genetik dan sejarah hidup
sebelumnya. Kisaran ekstrim dari variable lingkungan yang menyebabkan kematian
bagi organisme disebut zone lethal. Kisaran intermedier dimana suatu organisme
masih dapat hidup disebut zone toleransi. Namun demikian posisi dari zone-zone
tersebut dapat berubah selama hidup suatu organism (Anonim, 2011).
Ikan
akan melakukan mekanisme homeostasi yaitu dengan berusaha untuk membuat keadaan
stabil sebagai akibat adanya perubahan variabel lingkungan. Mekanisme
homeostasis ini terjadi pada tingkat sel yaitu dengan pengaturan metabolisme
sel, pengontrolan permeabilitas membran sel dan pembuangan sisa metabolism
(Anonim, 2011).
Suhu
ekstrim, perbedaan osmotik yang tinggi, racun, infeksi dan atau stimulasi
sosial dapat menyebabkan stress pada ikan. Jika terjadi stress, maka ikan akan
merespon dengan cara:
1.
penurunan volume darah,
2.
penurunan jumlah leucosit,
3.
penurunan glikogen hati,
4.
peningkatan glukosa darah,
5.
menyusutnya diameter lambung
6.
menipisnya lapisar mukosa (Anonim,
2011).
V. KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil praktikum, maka dapat disimpulkan bahwa ikan ketika diberikan kondisi
perairan (suhu, pH dan kekeruhan) yang berbeda-beda maka akan memberikan respon
tingkah laku dan fisiologis yang berbeda-beda pula. Setiap ikan memiliki
kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan perairan dan
fluktuasi perairan tergantung jenis dan besarnya pengaruh variabel lingkungan
tersebut.
B.
Saran
Sebaiknya
digunakan ikan yang lebih besar agar dapat teramati dengan jelas yang terjadi
pada tubuh ikan selama pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abel PD. 1989. Water
Pollution Biology. Chichester: Ellis Horwood Ltd.Brotonidjoyo, M.D. 2001. Zoologi
Dasar. Erlangga. Jakarta.
Anonim.
2011. http://www.duniakam pus.co.cc/11/. Diakses pada April 2013.
Arinardi,
O. H. 1989. Pengaruh Curah Hujan
Terhadap Pertumbuhan Fitoplankton di Teluk Jakarta Pada Tahun 1978. dalam
Penelitian Oseanologi Perairan
Indonesia Buku I: Biologi, Geologi, Lingkungan & Oseanologi. LIPI.
Jakarta Cech (2005) dalam Cordova
(2008)
Cahyono,
Bambang. (2001).
Budi Daya Ikan di
Perairan Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Djarijah,
AS. 1995. Nila Merah Pembenihan dan Pembesaran Secara Intensif. Kanisius.
Yogyakarta.
Effendie,
M. I. 1997. Biologi perkanan. Yayasan Pustaka nusantara. Yogyakarta. 163 hal.
Effendi,
H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Jakarta.
Junaidi,
Wawan. 2009. Media Pembelajaran: Definisi mortalitas.
http://wawan-junaidi.blogspot.com. Diakses pada April 2013.
Lesmana
Darti S. 2002. Kualitas Air untuk Ikan
Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rukmana
R.1997.Ikan Nila. Budidaya dan Prospek Agribisnis. Kanisius. Yogyakarta.
Saanin,
H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Bina Cipta.
Bandung.
Suyanto,
SR. 1994. Nila. penebar swadaya. jakarta.
Suyanto,
A. 1998. Mammals of Flores. Dalam Herwint Simbolon (Ed.): The Natural Resources
of Flores Island, pp. 78-87. Research and Development Centre for biology, The
Indonesian Institute of Sciences, Bogor.
Zulan,
Usmi. 2010. Survival Rate dalam Perikanan: http://zonaikan.wordpress.com.
Diakses pada April 2013.
.
LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar