KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Perubahan Kelamin pada Ikan Tetra Kongo (Micralestes interruptus)”.
Makalah ini ditujukan untuk mempelajari lebih
lanjut tentang perubahan kelamin pada ikan tetra kongo. Perubahan kelamin
tersebut merupakan suatu metode dalam merubah kelamin ikan untuk menjadikannya
lebih berkualitas dan lebih bermanfaat.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh anggota kelompok yang telah bekerja keras dalam penyusunan makalah ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan memberikan dukungan pada kami.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan baik dari segi
materi, ilustrasi, contoh, dan sistematika penulisan dalam pembuatan makalah
ini. Oleh karena itu, saran dan kritik dari para pembaca yang bersifat
membangun sangat kami harapkan. Besar harapan kami proposal ini
dapat diapresiasi
sehingga dapat bermanfaat baik bagi kami sebagai penulis dan bagi
pembaca pada umumnya
terutama bagi dunia perikanan Indonesia.
Bandar Lampung,
20 April 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................
i
DAFTAR ISI.......................................................................................................
ii
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Tujuan............................................................................................... 2
II.
ISI
2.1 Ikan Tetra Kongo............................................................................. 3
2.2 Seks Reversal..................................................................................... 3
2.3 Seks Reversal pada Ikan Tetra Kongo........................................... 6
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................... 11
3.2 Saran................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ikan hias dewasa
ini merupakan salah satu objek strategis di bidang perikanan. Hal ini telah
mendorong meningkatnya kebutuhan ikan hias baik di dalam maupun di luar negeri,
yang selanjutnya mendorong pula perkembangan usaha budidaya ikan hias. Pada
ikan hias tertentu terdapat perbedaan morfologis antara jantan dan betina,
terutama pada nilai estetikanya yang menyebabkan perbedaan harga jual. Ikan
tetra Kongo (Micraleptus intterruptus) merupakan salah satu spesies ikan
hias yang cukup banyak diminati dan bernilai ekonomis tinggi. Ikan Kongo tetra
jantan memiliki nilai jual jauh lebih tinggi daripada ikan betina, karena
morfologi tubuhnya yang tampak lebih menarik terutama warnanya yang lebih cerah
serta memiliki bentuk sirip yang panjang seperti ikan kumpay. Salah satu
program yang bisa dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan tetra Kongo
ini adalah menghasilkan individu jantan secara masal, yaitu dengan teknik seks
reversal.
Seks
reversal merupakan satu teknik yang dapat dilakukan untuk memperoleh keturunan
monoseks, yang dalam hal ini adalah ikan jantan. Metode ini dilakukan tujuan
utama biasanya untuk memperoleh jenis kelamin jantan secara dini,dimana benih
ikan jantan spesifikasi ikan nila lebih cepat tumbuh dan bereproduksi,tidak
tergantung dengan faktor alam,lain halnya dengan betina. Selain fungsi
diatas,sex reversal juga berfungsi untuk pengendalian pemijahan
liar,mendapatkan jenis kelamin yang bernilai ekonomis tinggi.
Metode
perubahan kelamin atau sering disebut dengan seks reversal pada ikan tetra
kongo ini masih sedikit sekali yang mengetahuinya. Sehingga diperlukannya
alternative pemberitahuan yang lebih pada metode perubahan kelamin ikan tetra
kongo. Salah satunya adalah dengan makalah atau tulisan yang harapannya bisa
dibaca oleh orang lain. Oleh sebab itu, maka dibuatlah makalah perubahan
kelamin (seks reversal) ini dengan maksud sebagai media pembelajaran bagi orang
lain.
1.2
Tujuan
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Untuk mengetahui metode dalam proses
perubahan kelamin ikan tetra kongo.
b.
Untuk mengetahui tujuan dilakukannya
seks reversal pada ikan tetra kongo.
c.
Sebagai media pembelajaran bagi orang
lain mengenai seks reversal pada ikan tetra kongo.
II.
ISI
2.1
Ikan Tetra Kongo
Ikan
tetra kongo Micralestes interruptus termasuk dalam famili Charachidae
dan berasal dari Afrika. Ikan ini merupakan salah satu jenis yang mudah
berkembang biak. Hidupnya baik di lingkungan yang bersuhu antara 23,9o
C sampai 26.7OC. Ikan ini memilki sisik yang memantulkan warna
pelangi yang cerah dan sangat indah. Saat matang gonad sirip punggung ikan
jantan berkembang dan memanjang menyerupai rumbai-rumbai yang dapat menyentuh
sirip ekor. Ikan ini memilki telur yang sifatnya nonadhesive dan tenggelam di
dasar akuarium (Bird, 1986 dalam Kurniawan, 1996).
Taksonomi
ikan tetra kongo menurut Anonim (2005) adalah sebagai berikut :
Filum
: Chordata
Sub
Filum : Craniata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Neoptergi
Ordo
: Cypriniformes
Famili
: Characidea
Genus
: Micralestes
Spesies
: Micralestes interruptus
2.2
Seks Reversal
Sex reversal merupakan cara
pembalikan arah perkembangan kelamin ikan yang seharusnya berkelamin jantan
diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina atau sebaliknya. Teknik ini
dilakukan pada saat belum terdiferensiasinya gonad ikan secara jelas antara
jantan dan betina pada waktu menetas. Sex reversal merubah fenotif ikan tetapi
tidak merubah genotifnya. ( Masduki, 2010).
Teknik sex reversal mulai dikenal
tahun 1937 ketika estradiol 17 b disintesis untuk pertama kalinya di Amerika
Serikat. Pada mulanya teknik sex reversal ini diterapkan pada ikan Guppy (Poecilia
reticulata), kemudian teknik ini dikembangkan oleh Yamamoto di Jepang pada
ikan Medaka (Oryzias latipes). Ikan Medaka betina yang diberi metil
testosteron akan berubah menjadi jantan. Dalam perkembangannya, sex reversal
tidak hanya dilakukan beberapa hari setelah menetas yaitu sebelum gonad
berdeferensiasi tetapi teknologi ini dapat diterapkan pula melalui embrio dan
bahkan induk yang sedang bunting. Teknik sex reversal juga dapat diterapkan
baik pada ikan konsumsi maupun ikan hias. Sex reversal dilakukan pada budidaya
ikan untuk mendapatkan ikan dengan pertumbuhan cepat, mencegah pemijahan liar,
mendapatkan penampilan baru serta menunjang genetika ikan (pemurnian ras
ikan).( Zairin,2002).
Sedangkan Menurut
Gusrina (2008) keuntungan sex reversal dijabarkan sebagai berikut :
1. Mendapatkan ikan dengan pertumbuhan
yang cepat
Pada beberapa jenis ikan
konsumsi ada beberapa jenis ikan dimana pertumbuhan ikan jantan mempunyai
pertumbuhan yang lebih cepat dari pada ikan betina, misalnya ikan nila, tetapi
pada jenis ikan lainnya yaitu ikan mas pertumbuhan ikan betinanya justru lebih
cepat dibandingkan dengan ikan jantan. Oleh karena itu bagi para pembudidaya
yang akan memelihara jenis ikan tersebut dengan menggunakan populasi tunggal
kelamin akan lebih menguntungkan daripada menggnakan populasi dua kelamin.
2. Mencegah pemijahan liar
Dalam kegiatan budidaya
ikan jika memelihara ikan jantan dan betina dalam satu wadah budidaya, maka
tidak menutup kemungkinan ikan tersebut pada saat matang gonad akan melakukan
pemijahan yang tidak diinginkan pada beberapa jenis ikan yang memijahnya
sepanjang masa, seperti ikan nila, ikan mas.
3. Mendapatkan penampilan
yang baik
Hampir semua jenis ikan
hias yang berkelamin jantan mempunyai warna tubuh yang lebih indah dibandingkan
dengan ikan bentinanya. Oleh karena itu, jika yang dipelihara pada ikan hias
adalah ikan jantan maka akan diperoleh hasil yang lebih menguntungkan karena
nilai jualnya lebih mahal.
4. Menunjang genetika ikan
yaitu teknik pemurnian ras ikan
Pada kegiatan rekayasa
genetika misalnya ginogenesis akan diperoleh induk ikan yang mempunyai jalur
murni. Induk ikan yang jalur murni ini akan mempunyai gen yang homozigot
sehingga untuk melakukan perkawinan pada induk yang homozigot tanpa
mempengaruhi karakter jenis kelamin ikan tersebut dilakukan aplikasi seks
reversal pada induk galur murni sehingga pemurnian gen itu masih tetap
bertahan.
Penerapan sex reversal dapat
menghasilkan populasi monosex (kelamin tunggal). Kegiatan budidaya secara
monosex (monoculture) akan bermanfaat dalam mempercepat pertumbuhan ikan. Salah
satu tahap perkembangan ikan adalah larva dan post larva. Pada masa larva,
kenampakan luar maupun struktur internal belum berbentuk seperti ikan dewasa.
Sedangkan post larva, gonadnya belum berkembang. Perkembangan kelamin (deferensiasi
kelamin) selanjutnya dipengaruhi oleh hormon kelamin. Menurut Yamazaki (1983),
hormon kelamin merupakan perangsang utama pada gejala reproduksi seperti :
diferensiasi gonad, gametogenesis, ovulasi, spermiasi dan pembentukan
tanda-tanda kelamin sekunder.
Salah satu cara memperoleh ikan
jantan dalam jumlah banyak adalah pembalikan kelamin (sex reversal)
dengan pemberian hormon androgen selama masa deferensiasi. Sasaran pembalikan
ini adalah ikan bergenotip betina, sebab untuk ikan jantan otomatis akan
menjadi bergenotip jantan. Hormon androgen yang diberikan selama masa labil
perkembangan gonad mempunyai pengaruh yang lebih dominant disbanding pengaruh
hormon estrogen yang dihasilkan oleh gonad. Hormon yang dapat digunakan untuk
membuat ikan genotip betina menjadi fenotip jantan adalah 17α metiltestosteron,
11-ketotestosteron, 17α-etiltestosteron, testosterone propionate, androsteron,
androtenedione dan metal-androstenedione (Yamamoto 1953).
Metode Sex
Reversal:
1. Hormon
Steroid
Salah satu
teknik reversal adalah dengan memberikan hormon steroid pada fase labil
kelamin. Pada beberapa spesies iakn teleost gonochoristic, fisiologo kelamin
dapat dengan mudah dimanipulasi melalui pemberian hormone steroid (piferrer et
al. 1994). Nagy et al. (1981) menjelaskan bahwa keberhasilan manipulasi kelamin
pada ikan menggunakan hormn dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain :
jenis dan umur ikan, dosis hormon, lama waktu, dan cara pemberian hormon serta
lingkungan tempat pemberian hormon dilakukan
Ditekankan
oleh Hunter dan Donaldson (1983), bahwa keberhasilan pemberian hormone sangat
tergantung pada interval waktu perkembangan gonad, yaitu pada saat gonad dalam
keadaan labil sehingga mudah dipengaruhi oleh hormon. Hrmon steroid yang
dihasilkan oleh jaringan steroidogenik pada gonad terdiri atas hormone androgen
untuk maskulinasi, esterogen untuk feminisasi dan progestin yang berhubungan
dengan proses kehamilan (Hadley 1992).
Namun pada
tahap perkembangan gonad belum terdeferensiasi menjadi jantan atau betina,
hormone steroid belum terbentuk sehingga pembentukan gonad dapat diarahkan
dengan menggunakan hormone steroid sintetik (Hunter & Donaldson 1983).
Salah satu
jenis hrmon steroid sintetik yang banyak digunakan untuk proses sex reversal
pada ikan (khususnya ikan nila) adalah hormon 17a-methyltestosterone(mt).
Hormon
17a-methyltestosterone(mt) merupakan hormone androgen yang bersifat stabil dan
mudah dalam penanganan (Yamazaki 1983). Pemberiannya dapat dilakukan
secara oral (Misnawati 1997), perendaman embrio alevin maupun larva (Laining
1995) maupun implantasi dan injeksi (Mirza & Shelton 1988).
2. Aromatase
dan Aromatase Inhibitor
Selain
dengan hormn steroid, diferensiasi kelamin juga dipengaruhi oleh ekspresi dari
gen yang menghasilkan enzim aromatase (Patino 1997). Aromatase adalah enzim
cytochrome P-450 yang mengkatalis perubahan dari androgen menjadi esterogen.
Aktivitas enzim aromatase terbatas pada daerah dengan target estradiol dan
berfungsi untuk mengatur jenis kelamin, reproduksi dan tingah laku (Callard et
al. 1990). Ada 2 bentuk gen aromatsae pada ikan yaitu : aromatase otak dan
armatase ovari. Aromatase ota berperan sebagai pengatur perilaku sex spesifik
pada mamalia dan burung (Schlinger & Callard 1990, diacu dalam Melo & Ramsdell
2001) dan juga mengatur reproduksi pada ikan (Pasmanik et al. 1988, diacu dalam
Melo & Ramsdell 2001).
Aktivitas
enzim aromatase pada otak teleostei 100-1000 kali lebih tinggi disbanding pada
mamalia. Aktivitas enzim aromatase ovary kurang dari 1/10 kali aktivitas enzim
aromatase otak. Fungsi cytocrome P-450 pada determinasi jenis kelamin telah
teruji Karen merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam proses aromatisasi
dari androstenedinione menjadi estrone atau testosterone menjadi estradiol 17ß.
Aktivitas enzim aromatase berkorelasi dengan struktur gonad, yaitu larva dengan
aktivitas aromatase rendah akan mengarah pada terbentuknya testis, sedangkan
aktivitas aromatase yang tinggi akan mengarah pada terbentuknya ovary.
Aromatase
inhibitor berfungsi untuk menghambat kerja enzim aromatase dalam sintesis
estrogen. Adanya penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan
konsentrasi estrogen yang mengarah kepada tidak aktifnya transkripsi gen
aromatasenya sebagai feedbacknya (Server et al. 1999). Penurunan rasio estrogen
terhadap androgen menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina
menjadi menyerupai jantan (terjadi maskulinasi karakteristik seksual
sekunder). Secara umum, aromatase inhibitor menghambat aktivitas enzim melalui
2 cara, yaitu dengan menghambat proses transkripsi gen aromatase sehingga mRNA
tidak terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada (Server et
al 1999). Cara kedua adalah melalui cara bersaing dengan substrat selain
testosterone sehingga aktivitas enzim aromatase tidak berjalan (Brodie 1991).
2.3
Seks Reversal
pada Ikan Tetra Kongo
Ikan tetra Kongo (Micraleptus
intterruptus) merupakan salah satu spesies ikan hias yang cukup banyak
diminati dan bernilai ekonomis tinggi. Ikan Kongo tetra jantan memiliki nilai jual
jauh lebih tinggi daripada ikan betina, karena morfologi tubuhnya yang tampak
lebih menarik terutama warnanya yang lebih cerah serta memiliki bentuk sirip
yang panjang seperti ikan kumpay. Salah satu program yang bisa dilakukan untuk
meningkatkan nilai ekonomis ikan tetra Kongo ini adalah menghasilkan individu
jantan secara masal, yaitu dengan teknik seks reversal (Harton. 2002).
Seks
reversal merupakan satu teknik yang dapat dilakukan untuk memperoleh keturunan
monoseks, yang dalam hal ini adalah ikan jantan. Pengubahan jenis kelamin
melalui pemberian hormon 17-metil-testosteron (MT) dapat dilakukan dengan
beberapa cara diantaranya dengan penyuntikan (Mirza & Shelton 1988),
perendaman atau secara oral (melalui makanan) (Eckstein & Spira dalam Hepher
& Pruginin 1981).
Pemberian
hormon dilakukan sebelum ikan mengalami diferensiasi kelamin, yang biasanya
mulai terjadi saat telur akan menetas (Baker et al. 1988), setelah telur
menetas dan sebelum atau sesudah ikan mulai makan (Yamazaki 1983). Pemberian secara
oral dapat dilakukan dengan mencampurkan hormon dengan pakan buatan atau dengan
pakan alami melalui bioenkapsulasi naupli Artemia sp.
Dewasa
ini, pemberian hormon melalui pakan banyak dilakukan, tetapi hanya terbatas
pada ikan yang dapat menerima pakan buatan dan memerlukan waktu yang cukup
lama. Disamping itu, hormon steroid yang digunakan kemungkinan dapat mengalami
pencucian (leaching) selama di dalam air (Tan-Fermin et al.
1994). Pemberian hormon melalui bioenkapsulasi naupli Artemia sp.
membutuhkan hormon yang lebih sedikit tetapi dari segi teknis, cara ini kurang
praktis karena perendaman naupli perlu dilakukan setiap waktu saat larva akan
diberi pakan. Disamping itu, penanganan sulit dan memerlukan waktu yang relatif
lama dalam proses perendaman.
Bila
dilihat dari segi efisiensi waktu dan penanganan serta jumlah hormon yang
digunakan maka cara yang paling baik adalah dengan sistem perendaman.
Perendaman telur dilakukan pada saat setelah terbentuk bintik mata (eyed
eggs). Hal ini sesuai dengan percobaan yang dilakukan oleh Baker et al.
(1988) pada telur ikan chinook (Oncorhunchus tshawytcha) yang baru
membentuk bintik mata dan akan menetas. Percobaan ini berhasil memperoleh ikan
jantan 100% pada konsentrasi hormon MT 0,2 ppm selama 120 menit (Harton. 2002).
Dalam
proses perubahan kelamin ini, hal-hal yang perlu dilakukan diantarnya yaitu:
Pengadaan Telur dan Larva
Induk
ikan tetra Kongo dipelihara dalam akuarium secara terpisah antara jantan dan
betina. Induk diberi makan berupa larva Chironomus
beku dengan frekuensi dua kali sehari secara ad libitum. Setelah matang gonad, pada ikan betina dicirikan
oleh bagian perut yang gendut, induk dipijahkan secara masal dalam akuarium
berukuran 60x30x40 cm dengan perbandingan jantan-betina 1 : 3. Telur yang
diperoleh diinkubasi sampai menetas dan larva kemudian dipelihara sampai
berumur tujuh hari.
Pemeliharaan Larva
Larva dipeliharan dalam akuarium dan diberi pakan ketika kuning telurnya
(yolk sac) akan habis. Larva
yang telah berumur tujuh hari diberi perlakuan dengan merendamnya di dalam
larutan hormon 17-metiltestosteron dengan dosis 1, 2 dan 4 mg/l. Pelarutan
hormon dilakukan dengan cara memasukkan hormon ke dalam 1 ml alkohol 70%,
kemudian dimasukkan ke dalam wadah perendaman. Larva yang direndam sebanyak 60
ekor/l dan selama 8 jam. Setelah perendaman, larva dipindahkan ke akuarium
pemeliharaan. Setelah berumur empat hari, larva diberi ekstrak kuning telur
ayam yang telah direbus. Setelah itu diberi naupli Artemia sp. sampai larva berumur tujuh hari. Pemberian pakan
dilakukan 2 kali sehari. Setiap pemberian dilakukan secara terus menerus sampai
kenyang. Untuk menjaga kualitas air tetap optimal bagi larva dilakukan
penyifonan setiap dua hari dan penggantian air sebanyak sepertiga volume air setiap
minggu. Air yang digunakan telah diendapkan selama satu hari(Harton. 2002).
Penentuan
jenis kelamin ikan berdasarkan morfologi dapat dilakukan setelah ikan berumur
tiga bulan. Bagian spesifik yang dapat membedakan jenis kelamin ikan tetra
Kongo adalah sirip ekor. Sirip ekor ikan jantan memiliki satu rumbai pendek,
sedangkan pada ikan betina berlekuk tunggal dan tidak memiliki rumbai (Harton.
2002).
Pemberian
hormon MT pada stadia larva ikan tetra Kongo dapat merangsang maskulinisasi
dilihat dari berkembangnya gonad menjadi ikan berfenotip jantan. Persentase
ikan jantan tertinggi yaitu 87,17 % diperoleh pada perendaman larva dalam MT
dengan dosis 4 mg/l. Persentase jantan terendah terjadi pada ikan yang tidak
diberi MT (kontrol) yaitu sebesar 38,96%. Tingginya persentase jantan pada ikan
tetra Kongo yang diberi MT dengan dosis 4 mg/l diduga karena semakin banyak
dosis hormon yang diberikan semakin besar pula pengaruhnya terhadap
perkembangan alat kelamin (Harton. 2002).
Yamamoto
(1969), Nagy et al. (1981) serta Hunter & Donaldson (1983) yang
menyatakan bahwa keberhasilan pengubahan kelamin dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu jenis dan dosis hormon yang digunakan, lama perlakuan, spesies
ikan, umur ikan saat dimulainya perlakuan dan suhu air pada saat perlakuan.
Pada suhu 250C hormon MT akan bekerja secara efektif Nagy et al. (1981).
Perubahan
kelamin pada ikan tetra kongo juga dapat menyebabbkan ikan tersebut bersifat
hemaprodit, yang dikarenakan adanya proses perkembangan gonad ikan yang kurang
stabil dari hormone MT. Jenis hermafrodit ini ditemukan pada ikan tetra Kongo
yang diberi MT untuk semua dosis, sedangkan pada ikan yang tidak diberi MT
(control) tidak ditemukan. Persentase jenis hermafrodit tertinggi terjadi pada
ikan yang diberi MT dengan dosis 4 mg/l yaitu sebesar 17,58%. Hal ini
disebabkan pada dosis ini semua individu mengalami perubahan pada perkembangan
gonadnya akibat introduksi hormon, namun proses pengubahan kelamin tersebut
belum berlangsung sempurna sehingga menghasilkan individu hermafrodit (Harton.
2002).
Proses
penyerapan hormon pada tubuh larva diduga terjadi melalui difusi. Penambahan
hormon ke dalam media perendaman menyebabkan adanya perbedaan konsentrasi
hormon dalam cairan tubuh larva dengan konsentrasi di dalam media. Perbedaan
ini selanjutnya menyebabkan terjadinya proses difusi (Harton. 2002).
Dalam
pemberian hormone MT juga harus diperhatikan juga berapa banyak hormone yang
harus deberikan. Karena jika pemberian hormone yang berlebihan akan berdampak
buruk juga pada ikan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Keadaan ini sesuai
dengan pernyataan Katz et al. (1976) dalam Hunter & Donaldson
(1983), yang menyatakan bahwa pemberian hormon yang berlebihan dapat
menyebabkan tingkat kematian yang tinggi atau ikan steril (hermafrodit).
Meningkatnya
dosis MT yang diberikan menyebabkan meningkatnya pertumbuhan bobot dan panjang
ikan tetra Kongo. Menurut Crus & Barry (1988), steroid anabolik seperti MT
dapat memacu pertumbuhan melalui tiga cara yaitu merangsang nafsu makan,
merangsang sintesa protein dan menekan perkembangan gonad.
Hormon
steroid memiliki molekul yang berukuran kecil sehingga dapat menyebar bebas ke
dalam sebagian besar sel badan dan dapat menembus membran plasma. Steroid dapat
masuk ke dalam semua sel, tetapi hanya sel sasaran yang memiliki reseptor
khusus yang dapat mengikat hormon. Komplek- steroid menembus ke dalam inti sel
dan melekat pada daerah akseptor kromosom. Pada daerah efektor,
kompleks–steroid–reseptor menyebabkan terjadinya modifikasi sintesis ARN (asam
ribo nukleat) kurir yang secara alami ditentukan oleh gen tersebut. Pengarahan
sintesis protein dilakukan oleh ARN kurir yang tiap tiga basa berurutannya
bekerja sebagai sandi bagi suatu asam amino tunggal. Proses penerjemahan dari
bahan nukleotida ke susunan asam amino dilakukan oleh ARN transfer dan
keseluruhan proses penerjemahan berlangsung di ribosom (Harton. 2002).
III.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Adapun
kesimpulan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
a. Ikan
tetra kongo merupakan salah satu ikan hias yang dapat dirubah kelaminnya untuk
mendapatkan hasil yang lebih bagus.
b. Perubahan
kelamin ikan tetra kongo dapat dilakukan salah satunya dengan memberikan hormon
MT saat stadia larva.
c. Perubahan
kelamin ikan dengan hormone MT akan menyababkan ikan berkelamin jantan
(maskulinasi).
3.2
Saran
Adapun
saran yang dapat kami berikan yaitu perlu adanya penelitian-penelitian lebih
lanjut mengenai perubahan kelamin pada ikan tetra kongo agar diperoleh hasil
dan kualitas yang bagus dari tetra kongo.
DAFTAR
PUSTAKA
Baker, I.J., I.I. Solar & E.M.
Donaldson. 1988. Masculinization of chinook salmon (Onchorhynchus tshwytscha) by immersion treatment using
17-methyltestosterone around the time of hatching. Aquaculture, 72: 359-367.
Crus, P.F.S. & T.P. Barry. 1988.
Dietary Use of 17-Metiltestosteron, Estradiol-17 and 3,5,3’-Triiodo-L-Thyronine
as Potential Growth Promotores for the Spotted Scat (Scatophagus argus L.) in the Philippines. Hawaii Institute of
Marine Biology. University of Hawaii at Manos. p: 98-114.
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan
Jilid I. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Direktorat jendral
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional.
Jakarta.
Harton, Arfah., dkk.2002. Jurnal Akuakultur Indonesia: Seks Reversal pada Ikan Tetra Kongo Stadia
Larva. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hepher, B. & Y. Pruginin. 1981.
Commersial Fish Farming. John Willey and Sons, New York. 261p.
Masduki,E.Sex
Reversal.http://www.supm-bone/index.php?aption =com_content dan view= article
& id=72;sex-reversal. Diakses 2 November 2011
Mirza, J.A. & W.L. Shelton. 1988. Induction of
gynogenesis and sex reversal in silver carp. Aquaculture, 68: 1-14.
Nagy, A., M. Beresenyi & V. Csanyi. 1981. Sex
reversal in carp, Cyprinus carpio by
oral administration of methyltestosterone. Canadian Journal of Fisheries and
Aquatic Science, 38: 725-728.
Tan-Fermin, I.D., L.M.B. Garcia &
A.R. CastilloJr. 1994. Induction of sex invertion in juvenile grouper, Ephinephelus svillus (Valenciennes)
by injections of 17-methyltestosteron. Japanese Journal of Ichthyology, 40:
413-420.
Yamamoto,
T. 1953. Artificial Induction of Functional
Sex Reversal in Genotipe Males of The Medaka (Oryzias latipes). Jurnal
Exp. Zool., 123.
Yamazaki,
F. 1983. Sex Control and Manipulation
in fish. Aquaculture. 33.
Zairin.2002. Pengaruh Lama Waktu Perendaman Induk dari Dalam
Larutan Hormon 17α-metiltetosteron terhadap nisbah koloni Ikan Guppy. Jurnal
Aquakultur Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar